Persuasi Visual pada Iklan Rokok, antara Regulasi dan Menyiasati
Persuasi Visual pada Iklan Rokok, antara Regulasi dan Menyiasati |
contoh iklan produk menggunakan b.inggris - Didit Widiatmoko Suwardikun
diditw@bdg centrin.net.id
Cigarette’s health hazard element makes its marketing and commercial limited by a set of rules, however, this limitation has made some ad workers think more creatively. A cigarette has no clear functional benefits because this product has a floating character, so it needs a post to moor their variety of characters due to the indistinctive products character. When there’s a limitation, then a cigarettes ad would easily change its anchoring point. Some of their points are pop culture, as the relation between pop culture and cigarettes has become an exchange of meanings and values. Pop culture needs capital for its festival and cigarettes needs a mount for its marketing. Several streams from pop culture defines its communities, so, for segmentation interest, pop culture has the ability to gathering a mass. Masculinity is also used in a cigarettes ad, shown by extreme sport activities.
The ad itself doesn’t show the cigarette, nor a smoking person, but by sticking out its company’s name and logo and its brand – also by persuasive visualization that could represent the target audience pride – thus by watching its activity and logo, the spectator could recognize and remember everything that the ad maker presenting.
Keywords : visual persuasion, anchoring point, masculinity
Hampir dipastikan, akan kita jumpai teks yang berbunyi; ” Merokok Dapat Menyebabkan Kanker, Serangan Jantung, Impotensi dan Gangguan Kehamilan dan Janin”, dalam kotak khusus di tiap kemasan rokok. Ada kandungan – kandungan tertentu seperti Tar dan Nikotin yang berbahaya bagi tubuh, menyebabkan rokok mendapat regulasi khusus. Uniknya walaupun regulasi tersebut dihadirkan dengan tujuan membatasi, dalam prakteknya justru menguntungkan ketika sebuah produk mampu menyiasati dengan konsep-konsep kreatif beriklan baik komunikasi verbal maupun visual.
Rokok biasanya dimasukkan dalam kategorisasi produk-produk yang sensitif. Hal ini berkaitan erat dengan adanya regulasi khusus yang dikenakan terhadap brand tersebut. Produk – produk yang terkategorisasi sebagai produk sensitif meliputi: rokok, kondom pharmaceutical dan alkohol. Dalam dunia praktisi periklanan menyebutnya sebagai produk AKROBAT, akronim dari: Alkohol, Kondom, Rokok dan Obat-obatan. Sebutan tersebut juga mewakili bagaimana biro iklan harus memutar otak ( ber-AKROBAT) dalam menyiasati regulasi-regulasi yang ada.
Dalam beriklan salah satu hal yang patut dipahami dengan jelas adalah karakteristik sebuah produk yang akan diiklankan. Pada umumnya sebuah produk diproduksi untuk mengisi sebuah kebutuhan tertentu. Lebih jelasnya sebuah produk muncul karena memiliki atau memenuhi fungsi – fungsi tertentu.
Spesifikasi fungsi tersebut diolah lebih lanjut dalam strategi-strategi khusus beriklan. Functional Benefit biasanya diolah menjadi Unique Selling Point sebagai wahana diferensiasi diantara para kompetitornya. Kejelasan fungsi dan kelebihan-kelebihan yang dimiliki sebuah produk akan mempertegas posisioning diantara produk di ceruk yang sama. Hal ini akan memudahkan Pengiklan dalam mengomunikasikan seperti apa produk yang ditawarkan.
Rokok dari sudut pandang ini justru memiliki keunikan tersendiri. Sebagai sebuah produk tidak memiliki functional benefit secara jelas. Rokok telah memenuhi kebutuhan tertentu yang juga sulit untuk di deskripsikan dengan pasti. Dalam kehidupan keseharian kita, rokok sudah membentuk sebuah symptom tertentu (bagi para perokok ) yang siklusnya mirip dengan kebutuhan konsumsi primer, seperti minum dan makan. Ada saat-saat tertentu dimana seseorang merasa membutuhkannya dan harus dipenuhi. Tetapi adakalanya rokok juga memenuhi kebutuhan konsumsi yang sifatnya lebih sekunder. Seperti kudapan atau ’cemilan’, rokok mengisi ruang-ruang senggang di kehidupan kita. Produk rokok memiliki kelenturan dalam banyak hal. Kelenturan tersebut menjadikan rokok melampaui produk – produk di area sensitif lainnya.
Sebagai bandingan, produk pharmaceutical memiliki karakteristik yang lebih kaku. Hal ini sangat menyulitkan biro iklan dalam menyiasati regulasi yang ada. Banyak hal seperti kata-kata dan visual yang tidak boleh digunakan, ada juga kata-kata yang justru harus dicantumkan, seperti kandungan bahan, kontra indikasi atau efek samping. Akibatnya iklan pada produk obat-obatan dan sejenisnya menjadi paritas satu dengan lainnya. Begitu juga yang terjadi pada produk minuman beralkohol. Karena karakteristik produknya jelas dengan segala fungsi dan value-nya, produk alkohol sama sekali dilarang di media elektronik dan sebagian besar media lainnya. Walaupun iklan-iklan produk alkohol sangat inspiring bagi biro iklan dalam mengomunikasikannya, pada akhirnya hanya terbatas dalam media above the line saja.
Ketidakjelasan functional benefit dari rokok menjadikan produk tersebut cenderung floating karakteristiknya. Sehingga membutuhkan nilai-nilai tertentu sebagai tempat berlabuh (anchoring) konsep produk untuk dikomunikasikan pada konsumennya. Nilai-nilai yang diangkat sebagai tempat berlabuhnya konsep-konsep tersebut menjadi sangat terbuka karena ketidakjelasan karakteristik produk. Hal ini menjadikan ide –ide pengiklan melanglang buana tak terbatasi sebagai landasan kreatifnya. Batasan-batasan yang selama ini dihadirkan dalam regulasi seperti larangan tegas memperlihatkan produk rokok dan asap rokok justru dengan mudah disiasati.
Dengan terbukanya kemungkinan-kemungkinan yang ada pembuat iklan produk rokok juga mampu melampaui mandatori-mandatori konservatif yang sering dipatok oleh klien ( para produsen rokok).
Iklan Rokok dan Persuasi melalui Budaya Pop
Keleluasaan pengembangan konsep kreatif pada iklan rokok menjadikan iklan-iklan yang muncul lebih kreatif dan variatif. Salah satu tempat berlabuh konsep dan nilai-nilai produk rokok adalah wilayah budaya pop. Pemilihan budaya pop sebagai tempat berlabuh dapat disidik dari kelebihan-kelebihan dan kemampuan wilayah tersebut dalam men-deliver ide-ide dan nilai-nilai produk kepada konsumennya. Budaya pop memberi ruang yang mampu menghimpun massa dan sekaligus mudah dipahami oleh massa yang lebih luas.
Budaya menurut Raymond Williams bisa berarti ”pandangan hidup tertentu dari masyarakat, periode, atau kelompok tertentu ”. Jika kita membahas dengan definisi ini maka perkembangan sastra, hiburan, olah raga, dan upacara ritus keagamaan termasuk di dalamnya. Selanjutnya, Williams mendefinisikan budaya juga sebagai praktik-praktik penandaan ( signifying practices). Dengan definisi ini, kita dapat menyebut puisi, novel, opera, lukisan, sebagai contohnya. Maka, berbicara tentang budaya pop berarti menggabungkan kedua makna budaya tersebut. Makna pandangan hidup tertentu memungkinkan kita untuk berbicara tentang praktik – praktiknya. Praktik kebermaknaan memungkinkan kita untuk membahas tentang opera sabun, musik pop, ataupun komik sebagai contoh lain dari budaya pop. Praktik-praktik budaya menghadirkan teks-teks budaya. Dan selanjutnya teks-teks budaya tersebut diadopsi oleh Pengiklan dalam pengembangan konsep kreatifnya.
Budaya pop seringkali dikontraskan dengan budaya tinggi. Batas-batas kultural tinggi-rendah akhirnya mereproduksi budaya populer yang dianggap sebagai ”inferioritas”. Argumen tersebut cenderung memandang budaya yang berbasis komoditas sebagai sesuatu yang tidak autentik, manipulatif. Dasar pemikirannya adalah budaya massa kapitalis terkomodifikasi tidaklah autentik karena tidak diproduksi oleh orang kebanyakan, dan bersifat manipulatif karena tujuan utamanya adalah supaya laku dijual. Budaya pop juga akhirnya memunculkan istilah ”Industri Budaya” untuk menunjukkan bahwa budaya tersebut tidak bisa lepas dari politik ekonomi dan produksi kebudayaan oleh perusahaan-perusahaan kapitalis.
Hubungan tersebut menjadikan sebuah simbiosis yang mutualis antara produk-produk rokok yang akan diiklankan dengan mengambil idiom-idiom budaya pop. Iklan-iklan rokok dengan mudah mendeliver nilai-nilai yang ingin disampaikan pada target marketnya. Transfer nilai-nilai tersebut menjadi sangat mudah karena terjadi proses Mimikri, sebuah proses perpindahan nilai-nilai karena didasari oleh kesenangan. Budaya pop membawa kesenangan tersendiri karena sifat hiburannya. Hiburan menjadi pintu utama masuknya nilai-nilai sebuah produk rokok melalui ikon-ikon populer seperti aktris/aktor, atau musisi yang biasa menghibur massa. Proses pengidolaan terhadap orang-orang yang menjadi ikon budaya pop atau praktik-praktik budaya pop, seperti musik, dan olah raga menjadi hal yang penting.
Antara budaya pop dan produk-produk rokok terjadi barter nilai dan makna. Di satu sisi dalam praktiknya kelangsungan budaya pop membutuhkan pemodal ( pengiklan/ produsen rokok), dan vice versa-nya, pengiklan (produsen rokok) membutuhkan wahana untuk mendeliver nilai-nilai produknya pada konsumen yang menyenangi budaya pop. Event budaya pop seperti konser musik adalah wahana yang sering dipakai untuk menanamkan nilai-nilai produk rokok kepada target marketnya. Persuasi yang bersifat asosiatif antara karakter produk dan karakter musik yang disponsori menjadi pertimbangan utama. Nilai-nilai yang mewakili sebuah genre musik tertentu berarti juga mewakili nilai-nilai sebuah produk yang mensponsorinya. Musik Jazz memiliki nilai-nilai tertentu yang melekat menjadi citra yang khas dan telah memiliki posisi tersendiri diantara genre musik lainnya. Kualitas musikalitasnya menjadikan musik Jazz mengkhususkan pada tingkat apresian tertentu. Tingkat sophistikasi yang tinggi membawa Jazz pada kategori musik yang ’High Class’. Nilai-nilai tersebut menjadi tempat melabuhkan nilai-nilai beberapa produk rokok seperti Dji Sam Soe Super Premium. Karakter produk yang diposisikan bercita rasa tinggi memiliki korelasi nilai dengan musik Jazz. Diharapkan subtitusi nilai tersebut dengan mudah diapresiasi oleh target market dari produk rokok yang bersangkutan.
Rokok Djarum mencoba melekatkan nilai-nilai produknya melalui genre musik yang berbeda, sesuai dengan karakter musik yang mewakilinya. Musik Rock menjadi wahana penyampai aspirasi nilai-nilai dari produk Djarum Super. Dalam All Out Tour ,Rockstar yang merepresentasikan nilai-nilai tersebut adalah Band Jamrud, Dewa dan Padi. Cita rasa musikalitas baik lirik lagu maupun partitur lagu, plus performance panggung bermuara pada karakter tiap band. Band terpilih berarti mewakili juga cita rasa produk Djarum Super sebagai sponsornya.
Kaum muda menjadi target market yang paling disasar oleh beberapa iklan rokok Djarum. Hal ini terjejak melalui pemilihan genre musik yang dijadikan tempat berlabuh nilai-nilai dan makna dari produk mereka. Selain musik-musik beraliran Rock, pada produk rokok L.A Lights juga mulai menggarap ceruk anak muda yang menyukai musik Indie. Musik Indie mempunyai tempat khusus di kalangan anak muda. Semangat perlawanan terhadap jalur mainstream yang di bawa oleh musik indie seakan mewakili semangat kalangan tersebut. Komunitas-komunitas yang menggemari musik indie menjadi diaspora yang penting dan tidak bisa diabaikan begitu saja. Melalui L.A Indiefest dengan tema ” Black Amplifier Concert ” , varian produk Djarum ini menggarap target market ini melalui sponsorship konser musik dengan aliran Indie.
Sampoerna A Mild sebagai sebuah produk rokok yang mengawali munculnya rokok mild di Indonesia pertama kali, mencoba meramu konsep konser musik yang berbeda. A Mild mencoba mengidentikkan dirinya sebagai leading brand yang selalu terdepan termasuk dalam penyelenggaraan konser musik. Konsep konser musik Soundrenalin sangat mirip dengan konser musik legendaris Woodstock di Amerika. Citra ’yang mengawali’ atau yang telah ’melegenda’ menjadi nilai-nilai yang coba diraih oleh A Mild. Disamping pemilihan musisi pengisi acara konser tersebut yang juga mensubtitusi nilai-nilai dari produk A Mild. Aksi panggung spektakuler puluhan musisi terkenal, A Mild Live Soundrenaline juga menghadirkan beberapa hiburan lain selain musik, misaInya games, permainan basket, barisan stand-stand yang menarik, dan berbagai atraksi lainnya. Ini menjadikan A Mild Live Soundrenaline sebagai sebuah festival “musik plus” yang merepresentasikan juga kreatifitas penciptaan sebuah produk rokok mild yang mereka sandang.
Selain musik, ranah budaya pop yang tidak kalah kemampuannya dalam menghimpun massa dan berpeluang untuk penetrasi nilai-nilai dari sebuah produk rokok adalah ritus olah raga. Berbagai jenis olah raga menjadi wahana yang sangat menguntungkan bila dapat dipergunakan untuk mendeliver nilai dan makna melalui sponsorship. Dari sepak bola yang sangat mendunia sampai bulutangkis yang menjadi kebanggaan nasional tak luput dari sponsorship produk rokok. Intinya budaya pop memberi ruang yang luar biasa dalam mendeliver nilai dan makna dari sebuah produk rokok. Kemampuan menghimpun massa yang luas sekaligus tersegmentasi dengan sangat baik menjadikan tempat berlabuh yang ideal bagi iklan rokok pada umumnya. Walaupun dengan akal jernih akan kita temukan adanya ketidaksinambungan antara produk rokok yang cenderung merusak kesehatan dengan ritual olah raga yang justru sebaliknya, dipercaya menjaga kesehatan.
Iklan Rokok dan Representasi Maskulinitas
Maskulinitas seperti sekeping mata uang dalam iklan – iklan rokok. Produk rokok selalu diasumsikan dengan nilai – nilai kejantanan, pemberani, petualang, macho. Nilai- nilai ini diangkat dengan dalih target market terbesar produk tersebut adalah kaum Adam. Beberapa contoh tagline, seperti : ”Pria Punya Selera”, ”Selera Pemberani”, ” Tunjukkan Merahmu”, ”Yang Penting Rasanya Bung !”. Sederet key word tersebut kental sekali warna maskulinitasnya. Terkadang disubtitusikan dalam bentuk warna (merah= berani = laki-laki) atau sifat-sifat yang identik dengan kelelakian seperti sifat pemberani. Walaupun warna merah atau sifat pemberani tidak selalu menjadi milik pria, tetapi iklan tersebut memanfaatkan pola pikir stereotip yang ada di masyarakat sekarang ini. Pola-pola pikir bahwa pria adalah sosok yang aktif, dinamis, berani, kuat. Sedangkan wanita adalah sosok yang pasif, makhluk domestik, lemah, dimanfaatkan sebagai referensi utama para pembuat iklan rokok.
Kuatnya maskulinitas dalam iklan rokok dapat kita telusuri dari banyak aspek. Pertama, adalah dari produk rokok itu sendiri, rokok adalah sebuah habit impor. Budaya merokok dari awalnya memang dikhususkan untuk pria. Oleh pria-pria dewasa suku Indian di Amerika. Di Indonesia tidak mengenal budaya menghisap tembakau dengan cara dibakar ( merokok ), tetapi dengan cara dikunyah dicampur daun sirih ( menyirih ). Kegiatan menyirih tersebut dilakukan baik pria maupun wanita di Indonesia.
Sifat-sifat ”khusus pria” tersebut selanjutnya melekat pada produk rokok. Secara karakteristik morfologis dari rokok sekarang ini, mewakili bentuk ’Phallus’ yang identik dengan milik pria. Sadar atau tidak, produk rokok membawa nilai-nilai kelelakian sejak awalnya.
Kedua, adalah pada sifat-sifat Periklanan yang juga kita impor dari barat. Pola pikir barat sangat dipengaruhi oleh pemikiran Yunani dan Romawi. Maskulinitas dan budaya Patriarkal sangat kuat tercermin pada pola pikir keduanya. Akar ’keperkasaan’ dalam konteks Periklanan Modern dapat kita telusuri lebih lanjut dalam tradisi Yunani dan tentu saja Romawi. Kedua budaya tersebut telah teradopsi ke dalam kebudayaan kapitalistik Barat modern. Kebudayaan Yunani berkembang melalui unsur-unsur maskulinitas penggambaran dewa-dewa dalam lukisan maupun patung-patungnya. Mitos-mitos dewa mereka selalu digambarkan tampan, gagah, berotot kawat, pandai, dan perkasa. Selanjutnya mitos tersebut ter-representasi dalam wujud kegagahan kaisar-kaisar Romawi. Julius Caesar (102-44 SM ) salah satu yang paling dikenal namanya. Dan beberapa kisah lainnya, seperti Mark Anthony salah seorang panglima Caesar yang ditugaskan di Mesir dan kemudian terlibat asmara dengan Cleopatra. Keperkasaan, kekuasaan, penaklukan selalu menyertai kisah – kisah dalam sejarah Romawi.
Hal ini menjadi wajar, bila mulai dari organisasi politik, kesenian, dan kesusastraan, sampai alfabetikal Romawi sangat mempengaruhi kebudayaan yang muncul di Eropa dan berimbas pula ke Amerika. Kedua kebudayaan tersebut kian menampakkan wujudnya terutama ketika di Eropa dan kemudian di Amerika Serikat muncul sebuah gerakan kebudayaan pop pada pertengahan 1950-an. Salah satu dampak yang perlu dicatat adalah munculnya seni beriklan indah. Iklan harus tampil mempesona, cantik, indah, menarik dan atraktif. Pada akhirnya cara manipulasi iklan dalam pengolahannya tidak hanya berperan sebagai ”sihir” pengolah kesadaran masyarakat tetapi juga penerus tongkat estafet semangat maskulinitas budaya Romawi dan Yunani.
Ketiga, adalah faktor media. Persoalan dominasi pria erat bertalian dengan fungsi media massa. Fungsi media massa sebagai sarana memberi informasi, hiburan, dan juga mendidik sangat berperan dalam membangun imajinasi atau fantasi masyarakat pembacanya. Implikasinya, persepsi dan konsep tentang ”keperkasaan” lelaki sebagai bagian dari fantasi khalayak pembacanya, bukan menjadi sesuatu yang sulit untuk ditemukan dan dijadikan komoditas iklan.
Selanjutnya aktivitas jurnalistik, terutama dalam meneropong wanita seringkali didominasi lelaki. Pandangan – pandangan media terhadap wanita terkooptasi dalam bingkai khas lelaki. Contoh konkret adalah cover majalah atau tabloid yang kita jumpai setiap hari lebih sering menampilkan gambar wanita sebagai hiasan (point of interest). Dalam konteks ini cara pandang wanita dalam media massa seringkali tereduksi sebatas makhluk biologis.
Dalam iklan rokok penggambaran tersebut lebih jelas tampak. Sosok pria menjadi subyek utama penokohan dalam iklan-iklannya. Beberapa seri iklan rokok Djarum Super menampilkan beberapa lelaki melakukan olah raga alam bebas. Olah raga alam bebas selain tentu merepresentasikan kebebasan ( keleluasaan kehendak ) juga berarti kekuasaan untuk memilih yang dinginkan. Hal ini jelas identik dengan semangat maskulinitas. Belum pemilihan aktifitas alam bebas dengan kategori ekstrim; panjat tebing, paralayang, menyusur sungai, off road identik dengan keberanian dalam level tertentu dan selalu berafiliasi dengan citra lelaki. Kebebasan ( kegiatan alam bebas / outdoor adventure ) juga berarti posisi negasi dari citra domestifikasi perempuan. Citra perempuan yang hanya tinggal di rumah saja, terjejak dalam sejarah perkembangan peradaban manusia. Ketika manusia mengenal piranti untuk berburu, maka terjadi pembagian tugas kaum pria pergi keluar berburu sedangkan kaum wanita tinggal di rumah untuk menunggu dan memasak hasil buruan. Kegiatan eksplorasi keluar selanjutnya identik dengan pekerjaan lelaki.
Maskulinitas juga muncul dalam iklan rokok Dji Sam Soe dengan pendekatan yang berbeda. Pria tegap masih menjadi subyek utama, profesi pilot jet tempur menjadi simbol representasinya. Profesi pilot hampir dipastikan didominasi oleh pria. Jet tempur ( F-16 ) sebagai kendaraan membawa sifat-sifat agresifitas lelaki. Menyerang, menghabisi dan mengalahkan adalah simbol kelelakian. Tagline ”Kesempurnaan dari Keahlian” semakin menegaskan sifat – sifat maskulin yang terbangun. Kata ”sempurna” dan ”ahli” bermuara pada kepandaian atau kecerdasan dalam tingkat tertentu. Secara referensial dunia ilmu pengetahuan yang mengkonstitusi orang-orang pandai dan cerdas juga didominasi oleh pria. Sebut saja Einstein, Newton, Copernicus dan masih banyak lagi adalah ber-gender pria. Sedangkan ilmuwan wanita selalu hanya jadi subordinan, seperti Merie Currie misalnya.
Iklan rokok Gudang Garam merepresentasikan citra maskulin melalui sosok pria dan menyandingkannya dengan seekor harimau. Pria dan harimau disandingkan untuk saling mensubtitusi makna diantara keduanya. Pria dengan ekspresi raut muka tegas, secara gestural mendongak cenderung frontal, menyiratkan makna menantang dan berani. Atribut pakaian berlidah dipundak menandakan peruntukkan di lapangan, dalam hal ini konteksnya adalah hutan rimba. Sedangkan harimau sendiri mewakili simbol kekuatan dan kekuasaan. Harimau adalah mamalia carnivora terbesar yang ada di hutan tropis. Menempati struktur tertingi dalam rantai makanan, menjadikan harimau sebagai raja rimba belantara di sebagian besar wilayah Indonesia.
Figur pria atau penampilan sosok pria dalam sebuah iklan tidak hanya simbolisasi dominasi pria, melainkan lebih ke arah simbolisasi Maskulinitas dalam pengertian yang lebih luas. Maskulinitas kapitalistik memberi makna dominasi pria dalam terminologi apa saja yang memungkinkan untuk dijual. Wajah Indo ( campuran keturunan asing ) atau sosok bule ( keturunan asing ). Implikasinya, adalah melahirkan pahlawan idola, sebagaimana pernah dilakukan orang di zaman Yunani dan Romawi.
Iklan Rokok , Representasi Tubuh Individual dan Kelompok
Tubuh hari ini tereksposisi demikian intensif sekaligus ekstentif. Menurut I. Bambang Sugiharto dalam Penjara Jiwa, Mesin Hasrat ( Jurnal Kalam, 2000: 26): ”ekstensif, sebab tubuh kini telah menjadi lingkungan visual kita di mana pun kita berada. Di televisi, pada billboard iklan, di majalah, koran, ataupun tabloid, di segala tempat dan saat kita mencerap dalam perjumpaan dengan citraan tubuh, kita merasa dikepung oleh tubuh, seakan tubuh adalah satu-satunya bahasa komunikasi yang paling mudah dimengerti ”.
Tubuh yang tercitrakan dalam iklan rokok menampilkan tubuh-tubuh yang paradoks. Di satu sisi produk rokok memiliki kandungan yang membahayakan tubuh bila terus-menerus terhisap. Tetapi tubuh-tubuh yang terepresentasi dalam iklan-iklan rokok adalah mewakili tubuh yang terkategorikan sehat. Tubuh yang penuh integritas, semangat, bergerak dinamis.
Tubuh dalam iklan adalah tubuh-tubuh rekayasa, objek penyampai pesan komunikasi yang disiapkan oleh Tim Kreatifnya. Ideologi iklan memperlakukan tubuh sebagai simbol-simbol yang membawa dan mewakili nilai dan makna produk yang diiklankan. Meminjam istilah Mary Douglas, tubuh adalah kode atau metafor pemetaan sosio-kognitif tertentu tentang realitas, yang seringkali bersifat ideologis. Tubuh seringkali digunakan sebagai simbol hubungan sosial, bahkan dari sisi tertentu juga politis. Dalam masyarakat pra-modern stabilitas ataupun instabilitas tubuh bahkan memantulkan stabilitas atau instabilitas sistem sosial yang lebih luas. Tubuh yang sakit mengisyaratkan adanya ketidakberesan dalam masyarakat. Dengan kesadaran itulah tubuh dalam iklan rokok dibangun. Sosok tubuh yang kuat, kokoh dinamis, bersosialisasi dalam bentuk kegiatan atau gaya hidup tertentu menjaga stabilitas makna yang diinginkan.
Tubuh yang sendiri, mandiri mewakili citra individualistik. Tubuh yang mandiri mendeliver makna kepercayaan diri (chauvinisme pada diri). Sebuah sifat yang dalam konvensi makna selama ini diidentikkan dengan milik lelaki. Gestur dan anatomi tubuh tertentu sengaja dipilih untuk menguatkan konsep komunikasi yang dimaksudkan. Bentuk tubuh yang ideal menurut konvensi umum dan semangat zamannya (zeitgeist), otot-otot yang kokoh, pose tertentu akan membingkai makna ideologis dari sebuah iklan rokok. Kemandirian yang cenderung individualistik adalah cerminan gaya hidup urban kosmopolit sekaligus sifat-sifat modernis yang dibawa oleh budaya barat. Tubuh-tubuh yang lain tergambarkan bersosialisasi dalam kelompok. Kelompok tubuh tersebut di ikat dalam kegiatan tertentu seperti: berolah raga, bermain musik, ataupun yang besifat gaya hidup kosmopolit ’dugem’ di pub atau diskotik. Tubuh-tubuh tersebut mewakili semangat guyub dunia timur ( dalam hal ini konteksnya Indonesia), ataupun semangat percaya pada kelompok/ pertemanan yang berafiliasi dengan kalangan muda. Keduanya terepresentasi dan menjalin makna sesuai dengan ideologi iklan rokok yang diwakilinya.
Daftar Pustaka
• Abbot, David, Cutting Edge Advertising, Prentice Hall, Singapore 1999Aland, Jenny and Darby, Max, Art Connection, Heinemann Educational Australia, Melbourne, 1992.
• Belch, George E and Michael A., Advertising and Promotion : An Integrated Marketing Communications Perspective, Irwin/ McGraw-Hill, International Edition, Boston, 1998.
• Chaney, David, Lifestyles : Sebuah Pengantar Komprehensif, Jalasutra, Yogyakarta, 1996.
• Hanusz, Mark, Kretek : The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes, Equinox Publishing (Asia) Pte. Ltd. Singapore, 2003.
• Kotler, Phillip. Advertising Insights From A Z, Erlangga, Jakarta 2004.
• Krugman, Reid, Dunn, Barban, Advertising, its role in modern marketing, The Dryden Press, Forth Worth, Texas, 1994.
• Ritonga, Jamiludin M., Tipologi Pesan Persuasif, Indeks, Jakarta 2005.
• Rourkes, Nicholas, Design Synectics, Stimulating Creativity in Design, Davis Publications, Massachusetts, 1988
• Storey, John, Teori Kebudayaan dan Budaya Pop, Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies, Qalam, Yogyakarta, 2003
• Sutopo, H.B. , Metodologi penelitian Kualitatif, dasar teori dan penerapannya dalam penelitian, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 2002.
• Sutrisno, M; Putranto, H; (editor), Teori-Teori Kebudayaan, Kanisius Yogyakarta, 2005.
Sumber Lain
Budi Handojo, Merek dan Produk. Majalah Media Kawasan, Desember 2005
http://www.pppi.co.id
http://www.indonesianonsmokesociety.co.id
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?.id
http://www.kompas.com
www.phillipmorris.com
www.pdpersi.co.id
Tulisan ini cuplikan dari kesimpulan penelitian tentang “persuasi pada iklan rokok keretek”. Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2006, bersama Doddy Ahmad dan Triyadi Guntur.
Dengan adanya informasi yang kami sajikan tentang contoh iklan produk menggunakan b.inggris
, harapan kami semoga anda dapat terbantu dan menjadi sebuah rujukan anda. Atau juga anda bisa melihat referensi lain kami juga yang lain dimana tidak kalah bagusnya tentang Kumpulan Contoh Motto Hidup Terbaik + Terbaru 2016
. Sekian dan kami ucapkan terima kasih atas kunjungannya.
buka contoh marketing : dgi-indonesia.com/wp.../persuasi-visual-pada-iklan-rokok-2006.do...
No comments:
Post a Comment