Iklan, Gaya Hidup, dan Perilaku Konsumsi
contoh iklan gaya hidup - Pengertian Iklan
Masyarakat sesungguhnya bukanlah kelompok manusia yang tanpa perubahan, apalagi mandek. Masyarakat senantiasa tumbuh dan berkembang, serta mengalami berbagai pergeseran, bahkan perubahan sosial budaya, ekonomi, dan politik yang dinamis. Jika di zaman industrialisasi awal di masyarakat berkembang politik ekonomi komoditas, maka di era kapitalisme lanjut berkembang politik ekonomi tanda dimana yang lebih dikedepankan adalah makna simbolis dari tnda-tanda yang dihasilkan kekuatan industri budaya. Sementara itu, di era masyarakat post-modern yang berkembang adalah apa yang disebut politik libido. Artinya, apa yang mendorong dan mempengaruhi sekaligus menjadi energi penggerak roda perekonomian adalah libido, yakni hasrat masyarakat untuk terus mnegkonsumsi seuatu yang seolah tak pernah terpuaskan. Libido berbeda dengan kebutuhan, libido lebih didorong karena hasrat atau keinginan dari pada kebutuhan rasional.
Iklan secara sederhana adalah instrumen atau sarana untuk mempromosikan dan memasarkan barang dalam masyarakat industrial. Ketika industri berkembang makin masif, dan berbagai produk industri budaya yang ditawarkan ke masyarakat konsumen makin beragam dan kompetitif, maka yang terjadi kemudia adalah masing-masing kekuatan komersial mau tidak mau harus memanfaatkan iklan dan mengembangkan strategi yang benar-benar efektif untuk menembus pasar dan memperluas pangsa pasar yang menjadi pelanggan setia produk-produk yang mereka hasilkan.
Iklan menurut Bekhouver adalah setiap pernyataan yang secara sadar ditujukan kepada publik dalam bentuk apapun, yang dilakukan peserta lalu lintas perniagaan untuk memperbesar penjualan barang-barang dan jasa. Di era masyarakat post-modern, iklan memang bukan sekedar media untuk mempromosikan sebuah produk, tetapi iklan boleh dikata telah menjadi sistem ide yang mampu mempengaruhi dan mengkonstruksi cita rasa atau selera masyarakat. Lebih dari sekedar referensi psikologis sebagai dasar acuan konsumen untuk memutuskan membeli atau mengkonsumsi produk-produk mana yang sesuai keinginannya. Iklan sebenarnya memiliki nilai-nilainya sendiri secara otonom yang menghegemoni, dan bahkan menentukan status sosial masyarakat yang menjadi konsumen dan melakukan tafsir atas nilai-nilai yang ditawarkan iklan. Masyarakat yang sehari-hari hidup dalam kepungan media massa, khusunya budaya populer biasanya tanpa sadar akan sulit membedakan apa sebenarnya yang menjadi kebutuhan dan keinginan mereka. Iklan yang setiap hari bahkan setiap detik ditanyangkan di televisi , disiarkan di radio, dan ditampikan di media cetak, termasuk pula dipajang dalam ukuran besar dalam bentuk baliho di jalan-jalan raya. Maka, cepat atau lambat akan menjadi ibaratnya akan menjadi menu sehari-hari yang dikunyah terus-menerus sehingga orang akan makin sulit membedakan mana realitas sosial yang nyata dan mana pula yang sebenarnya impian-impian semu yang ditawarkan kekuatan industri budaya.
Perkembangan Iklan
Iklan pada awalnya bukanlah bagian dari strategi kekuatan kapitalis untuk meningkatkan laju pemasaran produk-produk yang mereka hasilkan bagi pasar. Pada zaman Yunani kuno, iklan diibaratkan pengumuman yang ditulis pada lembaran papirus dan dipasang di dinding-dinding kota dengan tujuan mempromosikan ide tertentu atau mengiformasikan sesuatu hak yang dianggap penting. Pada masa Romawi kuno, iklan sering tampil dalam bentuk ajakan atau seruan untuk hadir di suatu acara ditempelkan di tembok-tembok pengumuman kot Roma, seperti undangan melihat pertempuran berdarah para gladiator di Coloseum. Di masa kapitalisme awal mulai berkembang, iklan umumnya lebih banyak berupa poster-poster yang ditempel di berbagai sudut kota, dengan warna yang menarik perhatian masyarakat. Di masyarakt Inggris, penyebaran informasi melalui iklan yang lebih terorganisasi dimulai pada abad ke-17, yang mana pada abad tersebut perkembangan surat kabar yang semakin masif di Inggris menyebabkan perkembangan iklan ikut terdongkrak. Di masa itu, iklan yang ditampilkan di media massa memang sifatnya masih informatif, sekedar menawarkan komoditas tertentu, pengumuman ringan, dan sejenisnya. Namun pada masa kini, iklan yang tampil umumnya adalah iklan baris yang sekedar menyampaikan nformasi tentang spesifikasi produk, manfaat, dan harganya.
Format iklan dan subtansi yang ditampilkan dalam iklan berkembang semakin kreatif dengan adanya dukungan dari kehadiran teknologi informasi yang semakin pesat. Banyak perusahaan telah menyadari bahwa upaya untuk mendongkrak omzet penjualan dan memperluas pangsa pasar, niscaya akan sulit dilakukan bila tidak didukung dengan iklan yang kratif.
Di era masyarakat post-modern, iklan telah berkembang dari sekedar pengumuman ringan, penyebarluasan informasi, dn promosi barang menjadi organisasi bisnis raksasa para kapitalis. Di neagara manapun kehadiran dan peran iklan telah menguasai seluruh lapian komunikasi di media massa baik cetak mauoun elektronik sehingga keduanya tidak dapat hidup tanpa iklan. Iklan kini tidak lagi beda dengan penyihir sakti yang memiliki mantra-mantra untuk mempengaruhi konsumen. Melalui perantara iklan, maka kekuatan kapitalis dengan cepat akan dapat mengenalkan produk komoditas yang mereka hasilkan ke pasar, mengumbar berbagai macam janji yang sering kali tidak relevan dengan manfaat yang sebenarnya. Namun justru di situlah sebenarnya kekuatan lebih iklan. Karena iklan, tidak jarang terjadi orang menjadi percaya manfaat dan khasiat sebuah produk, dan kemudian membeli begitu saja seolah mereka mengunyah mentah-mentah janji-janji dan impian yang ditawarkan iklan tanpa sekali pun berusaha mengkritisnya.
Di era post-modern, iklan mampu mengeksploitasi nilai guna dengan nilai tukar yang semu, dengan serangkaian image untuk menyebarkan benda-benda ke konsumen. Melalui iklan, para produsen tidak hanya memberkan informasi tentang produk yang bisa dikonsumsi masyarakat, melaikan secara menerus mempengaruhi, membujuk, merangsang, dan menciptakan kebutuhan baru dalam masyarakat kontemporer secara seragam dan universal.
Iklan yang sesekali tampil dan diperdengarkan kepada khalayak, tentu tidak akan banyak berarti karena dengan cepat akan dilupakan orang. Tetapi iklan yang secara intensif terus diucapkan dan ditayangkan, seolah tidak ada jeda tanpa iklan yang sama, maka kata-kata yang disiarkanpun akan membuat pemirsa atau pendengar seolah tersugesti dan menjadikan iklan itu sebagai refernsi terpenting sebelum mereka memutuskan mengkonsumsi produk atau membeli jasa apa yang ditawarkan kekuatan komersial pasar. Bahasa dalam iklan adalah bahasa yang sugestif dan manipulatif. Ketika bahasa iklan terus menerus diperdengarkan kepada khalayak, maka pelan namun pasti bahasa itu akan mengalami metamorfosis menjadi ideologi yang diyakini banyak orang sebagai layaknya sebuah kebenaran.
Bagi kekuatan komersial dan pelaku industri budaya, iklan merupakan sarana yang sangat efektif, bukan saja untuk mempromosikan produk yang mereka hasilkan kepada khalayak ramai, namun juga menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru yang terus diburu konsumen. Di mata pelaku ekonomi, iklan menjadi bagian yang sangat penting dalam sistem industri kapitalisme yang mampu mencuri perhatian dan menghegemoni para konsumen, yang pada akhirnya pelaku ekonomi tersebut mengharapkan keuntungan dari para konsumen yang mengkonsumsi sebuah produk.
Makna Ganda dan Mitos dalam Iklan
Iklan yang efektif tidak selalu iklan yang “main tembak lansung”, tetapi iklan yang efektif adalah iklan yang penuh makna simbolis namun mudah dicerna masyarakat. Dua makna yang melekat dalam setiap iklan antara lain:
Pertama, makna visual. Artinya, produk apa pun yang ditawarkan dalam iklan dengan cepat harus dapat dilihat konsumen secara visual, paling tidak efek atau manfaat apa yang dijanjikan dalam iklan itu atas produk yang ditawarkannya. Tampilan produk yang diiklankan tidak harus selalu sama persis seperti produk aslinya, melainkan bisa berbentuk grafis, sketsa, gambar, cerita atau apapun yang dengan cepat akan mengasosiasikan pikiran konsumen pada produk yang tengah ditawarkan.
Kedua, makna simbolis. Artinya, berkaitan dengan cara dan kemampuan konsumen untuk menafsirkan tujuan yang hendak dicapai oleh pihak produsen melalui iklan yang dikemas. Misalnya, sebuah iklan yang menawarkan air mineral yang menyegarkan, tidak selalu harus diperlihatkan adegan orang yang sedang minum melepas rasa dahaganya, tetapi cukup dengan memperlihatkan seorang remaja putri yang sedang melompat dengan tubuhnya yang langsing, sementara disisinya tampak gambar galon air mineral merek tertentu, maka yang disini pada akhirnya adalah penafsiran masing-masing konsumen. Seseorang bisa saja menafsirkan iklan itu bermaksud memberi tahu bahwa jika ingin langsing, maka minumlah air mineral merek ini, namun orang lain mungkin ada yang menafsirkan jika kita selesai berolahraga lari-lari atau senam, maka minuman yang sehat adalah air mineral.
Dalam iklan, konten yang terpenting selain simbol adalah mitos dan ikon-ikon industri budaya. Mitos adalah sesuatu hal yang dipercaya sebagai sebuah kebenaran, tetapi sebenarnya tidak benar. Mitos tentang kecantikan perempuan, misalnya adalah sesuatu yang sering kali dimanfaatkan kekuatan industri budaya untuk memasarkan produk-produk yang mereka hasilkan. Iklan-iklan yang mempromosikan produk kecantikan seperti minyak wangi, sabun wangi, lipstik, krim pemutih kulit, perawatan tubuh, semua pada dasarnya selalu mencoba untuk mengkonstruksi pikiran perempuan tentang bagaimana perempuan harus menampilkan dirinya, dan bagaimana perempuan dapat tampil cantik layaknya peragawati atau artis yang mempesona. Para pemilik modal seolah paham dengan yang diinginkan kaum perempuan, dan melalui iklan yang ditayangkan mereka seolah ingin membantu kaum perempuan dalam mewujudkan apa yang mereka inginkan.
Untuk mempercepat dan meningkatkan daya tarik konsumen terhadap produk yang ditawarkan, sudah lazim terjadi jika dalam iklan biasanya akan digunakan bintang-bintang iklan dari berbagai kalangan, baik bintang olahraga, artis film, penyanyi terkenal atau tokoh yang berpengaruh dengan tujuan pemasangan tokoh-tokoh idola seperti itu akan membuat konsumen menjadi lebih mudah terpengaruh dalam iklan, terutama fans atau penggemar fanatik dari bintang iklan yang dipilih perusahaan sebagai ikon idola produk mereka.
Dalam konteks dunia periklanan, posisi dan peran idola atau selebritas umumnya bukan hanya sebagai simbol ekspresi diri sekaligus pembangkit aspirasi konsumen, tetapi sekaligus juga sebagai acuan untuk membentuk identitas yang diilhami selebritas, dan acuan untuk mengembangkan perilaku yang imitative layaknya para fandom yang selalu berburu apapun yang dikenakan idolanya.
Iklan, Gaya Hidup dan Perilaku Konsumsi
Menurut kajian sosiologi, ada dua pandangan dari para ahli mengenai iklan, yaitu:
Iklan dipandang sebagai sarana membujuk orang untuk membeli dan mengonsumsi barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Misalnya tokoh Adorno dan Marcuse dari mazhab Frankfurt yang berpendapat bahwa iklan berpengaruh dalam memelihara masyarakat kapitalis dengan menciptakan kebutuhan palsu terhadap orang-orang yang dirayu dengan aliran barang-barang. Para teoritis non-Marxian sering kali bersikap kritis dan menyatakan bahwa iklan cenderung menciptakan dan mengekalkan nilai-nilai materialis di masyarakat, serta mempromosikan barang-barang berbahaya seperti rokok dan alcohol kepada orang-orang yang masih rentan.
Iklan dipandang sebagai bentuk komunikasi yang membantu menciptakan budaya kemasyarakatan tertentu dimana iklan berperan dalam proses pembentukan budaya konsumen dengan membuat konsumen mencari barang-barang yang posisional. Selain itu, iklan juga membantu warga masyarakat mencari dan memapankan identitas sosialnya, serta mendorong perkembangan dan arti penting citra dan gaya hidup. Iklan membentuk dan mengukuhkan cita rasa budaya masyarakat bahwa memiliki jenis atau barang tertentu berarti mencapai status social tertentu.
Di era globalisasi dan perkembangan teknologi yang semakin massif, berbagai kajian membuktikan bahwa yang berperan besar membentuk gaya hidup; budaya citra dan budaya cita rasa adalah gempuran iklan yang menawarkan gaya visual yang acap kali mampu mempesona dan memabukkan. Iklan mempresentasikan gaya hidup dengan menanamkan secara halus arti penting citra diri dalam tampil di hadapan public. Iklan juga mempengaruhi pilihan cita rasa yang kita buat, terutama ketika kita terlibat dalam pergaulan dan relasi social dengan orang atau kelompok lain(Ibrahim, dalam Chaney, 2004: 19).
Dalam iklan, tanda-tanda yang digunakan secara aktif dan dinamis, sehingga orang tidak lagi membeli produk untuk pemenuhan kebutuhan (needs), melainkan membeli makna-makna simbolis, yang menempatkan konsumen dalam struktur komunikasi dan dikonstruksi secara social oleh system produksi atau konsumsi. Consumer dikondisikan untuk lebih terpesona dengan makna-makna simbolis, tanda, citra, atau tema yang ditawarkan di balik sebuah produk, ketimbang fungsi utilities suatu produk(Piliang, 003:287).
Iklan telah menjadi saluran hasrat manusia sekaligus saluran wacana mengenai konsumsi dan gaya hidup. Melalui iklan, masyarakat dikonstruksi untuk dapat membaca pesan-pesan komersial secara keliru, karena selain terjadi hiperbola, dalam iklan juga dikembangkan bentuk hegemoni budaya konsumen yang menawarkan impian-impian palsu. Seperti dikatakan oleh Charles(2004) bahwa iklan adalah penampakan luar yang menyesatkan yang membuat subjeknya berkilau.
Secara lebih terperinci, karakteristik iklan yaitu : Pertama, iklan cenderung terus menerus berusaha memanupulasi cita rasa konsumen dengan cara melebih-lebihkan, mendramatisasi, mensimplifikasi persoalan dan menjanjikan seolah-olah semua persoalan dan kebutuhan konsumen akan teratasi hanya dengan cara membeli produk yang diiklankan. Seorang yang berambut kusut cukup dengan sekali karmas maka rambutnya akan berkilau. Orang yang kulitnya hitam, maka hanya dengan memakai produk tertentu selama enam minggu kulitnya dijamin akan putih bersinar. Contoh-contoh iklan seperti itu, jelas mendramatisasi persoalan, karena dalam kenyataannya yang terjadi tentu tidak semudah sebagaimana dijanjikan dalam iklan. Herbert Mercuse(1968) menyatakan bahwa iklan akan mendorong tumbuhnya kebutuhan palsu, menyebabkan orang berkeinginan untuk menjadi orang tertentu.
Kedua, iklan cenderung menggeser nilai guna menjadi nilai simbolis. Apapun produk yang diiklankan dan apa kegunaan atau manfaat produyk itu, dalam iklan sering menjadi persoalan nomor dua, karena yanglebih ditonjolkan pada akhirnya adalah nilai simbolisnya, yaitu bagaimana konsumen ketika menghadapi persoalan atau situasi yang kurang lebih sama seperti yang ditampilkan dalam iklan, maka tanpa berpikir panjang ia langsung ingat dengan apa yang dijanjikan dalam iklan dan langsung mengkonsumsi produk induatri budaya yang ada di iklan. Ketika seorang lapar, sementra keburu harus berangkat ke kantor atau ke sekolah, maka otomatis dalam kepalanya akan berpikir minum susu kental merk tertentu sebagai pengganjal perutnya seperti yang setiap hari dia lihat dalam iklan di televise.
Ketiga, iklan pada dasarnya adalah agen sosialisasi dan imitasi. Melalui iklan, konsumen disosialisasi dan diarahkan untuk mengembangkan perilaku imitative, yaitu mencontoh apa yang dilakukan idola atau ikon budaya yang menjadi bintang iklan. Jika seorang bintang iklan ditampilkan lebih suka memilih shampoo merk tertentu, maka otomatis konsumen yang melihat iklan itu akan memilih produk yang sama karena bintang pujaannya memilih produk itu. Logika iklan senantiasa mengandalkan kekuatan bahasa atau kata-kata bernada sugestif, agitatif, sloganistis, dan tidak jarang bombastis (Ibrahim,2011:291).
Keempat, iklan pada dasarnya adalah agen utama sekaligus instrument paling efektif untuk memasyarakatkan ideology pasar. Seseorang yang tumbuh di tengah gencar-gencarnya televise menayangkan iklan dan lingkungan di sekitarnya juga penuh dengan poster serta baliho iklan, maka jangan heran jika dia akan tumbuh menjadi seseorang yang konsumtif. Seorang konsumen yang tidak pernah puas hanya membeli satu dua produk sesuai kebutuhan, tetapi menjadi orang yang senantiasa haus untuk jalan-jalan ke mall, berbelanja dan tanpa berpikir panjang sangat mudah menggesek kartu kreditnya untuk membayar barang-barang yang dikonsumsinya karena diiming-imingi iklan.
Bukan sekali dua kali, seseorang yang tanpa rencana berbelanja, ketika tiba di mall dan melihat tawaran iklan diskon dan lain sebagainya, tiba-tiba tanpa sadar pulang sudah menenteng sekian banyak tas belanjaan dan menghabiskan uang jutaan rupiah untuk membeli barang-barang yang sebetulnya tidak pernah ia ketahui apa benar mendesak dibutuhkan atau tidak.
Piere Bourdieu yang mengkaji secara terinci mengenai pola konsumsi dan gaya hidup, seperti makanan, music, buku bacaan, surat kabar, dan majalah, menyatakan bahwa ekonomi barang budaya memiliki logika dan otonomi tersendiri; lepas dari determinisme dan memiliki otonomi dalam membentuk tingkat dan perbedaan selera (lihat: Evers, 1988: 60). Konsumen, meskipun dalam beberapa kasus tertentu sama-sama menjadi korban iklan, namun mereka bukanlah kelompok yang serba homogeny. Masing-masing memiliki hasrat yang berbeda, selera yang beragam, dan juga cita rasa yang tidak selalu harus sama. Dalam skala yang terbatas, mungkin benar bahwa selera konsumen terhadap jenis produk industry yang popular dikonstruksi atau merupakan hasil bentukan kekuatan kapitalis yang dipopulerkan lewat kekuatan iklan dan tawaran gaya hidup yang menggoda. Tetapi, yang namanya konsumen, bagaimanapun tetap memiliki ruang dan peluang untuk melakukan dialog, dan m,engembangkan pertimbangan sendiri berdasarkan pengalaman dan pilihan-pilihannya yang mandiri.
SIMPULAN
Di era masyarakat postmodern yang berkembang adalah apa yang disebut dengan politik ekonomi libido. Artinya apa yang mendorong dan memengaruhi sekaligus menjadi energy penggerak roda perekonomian adalah libido, hasrat masyarakat untuk terus mengkonsumsi sesuatu yang seolah tak pernah terpuaskan. Dalam politik ekonomi libido, energi penggerak utama aktivitas perekonomian adalah iklan yang ,merupakan ujung tombak kekuatan industry budaya untuk terus memperluas pasar dan mendongkrak omset serta keuntungan dalam iklim persaingan usaha yang makin kompetitif.
Iklan mempresentasikan gaya hidup dengan menanamkan secara halus arti penting citra diri dalam tampil di hadapan public. Iklan juga mempengaruhi pilihan cita rasa yang kita buat, terutama ketika kita terlibat dalam pergaulan dan relasi sosial dengan orang atau kelompok lain.
Studi Kasus 1
Perilaku Konsumen Indonesia Terhadap Merk Motor Honda
Honda merupakan produk motor roda dua yang sudah mempunyai pangsa pasar yang besar. Kondisi persaingan yang semakin ketat perusahaan dituntut untuk mampu menarik konsumen baru dan mempertahankan konsumen. Dalam upaya memperoleh dan mempertahankan konsumen dibutuhkan kepercayaan merek yang tinggi, karena dengan kepercayaan merek maka akan dapat membuat konsumennya terus loyal pada merek Honda.
Honda telah memiliki kosumen dengan tingkat kepercayaan yang tinggi sehingga mereka pun tidak diragukan lagi. Sampai sekarang merek motor honda masih tetap diminati masyarakat karena sudah teruji kuwalitasnya, irit bahan bakarnya dan ramah lingkungan. sementara merk lain dengan jenis produk yang sejenis penjualannya masih dibawah rata-rata penjualan motor honda . Meskipun demikian, Astra Honda Motor selaku produsen terus meningkatkan tingkat penjualan dengan berbagai strategi misal dari segi pemasaran yaitu melalui iklan di tv yang dibuat semenarik mungkin. Dengan seringnya iklan yang ditayangkan di televisi, maka konsumen akan lebih mudah mengingat produk tersebut. Para konsumen yang sebelumnya telah memiliki kepercayaan atas produk ini akan semakin meningkatkan loyalitas pada produk ini karena mereka telah yakin oleh kualitas yang telah dipertahankan dan ditingkatkan dari dulu sampai saat ini.
Studi Kasus 2
Kasus Perkembangan Teknologi Informasi
Berjalanya waktu makin pesatnya perkembangan teknologi informasi saat ini, penggunaan komputer dalam kehidupan sehari-hari semakin penting. Komputer saat ini bukanlah kebutuhan tersier tapi seperti sudah menjadi kebutuhan sekunder masyarakat. Pengguna komputer kini makin berkembang. Tidak hanya orang dewasa namun pelajar dan anak-anak sudah paham dengan pemakaian komputer.
Trend yang berkembang saat ini adalah komputer jinjing atau yang lebih dikenal sebagai notebook atau laptop. Dengan adanya notebook, masyarakat dapat lebih simpel menggunakan komputer di luar rumah atau kantor. Notebook membantu masyarakat yang mengharuskan bekerja dengan komputer namun dengan tingkat mobilitas yang tinggi.
Dengan makin tingginya frekuensi permintaan dan penggunaan notebook oleh masyarakat, banyak produsen komputer memanfaatkan peluang untuk memproduksi notebook, dengan berbagai macam merek dan spesifikasi. Merek-merek notebook yang sudah awam di telinga masyarakat seperti HP, DELL, Asus, Acer, Lenovo, Toshiba, Axioo, MSI, Apple, dan masih banyak lagi.
Dari kondisi tersebut di atas, dan semakin tingginya tingkat pendidikan dan kebutuhan masyarakat, maka membawa pengaruh terhadap perilaku konsumen dalam pembelian laptop. Di samping itu konsumen memiliki kebebasan dalam memilih produk. Untuk itu produsen memerlukan strategi dengan tujuan mencapai keunggulan bersaing dan memerlukan informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen dalam melakukan pembelian suatu produk.
Dalam melakukan pembelian, konsumen tidak terlepas dari karakteristik produk baik mengenai penampilan, spesifikasi, dan harga dari produk tersebut. Selain itu, faktor sosial juga berperan penting. Faktor sosial dalam hal ini adalah dorongan teman atau keluarga. Faktor promosi perusahaan juga berperan penting
Dengan adanya informasi yang kami sajikan tentang contoh iklan gaya hidup
, harapan kami semoga anda dapat terbantu dan menjadi sebuah rujukan anda. Atau juga anda bisa melihat referensi lain kami juga yang lain dimana tidak kalah bagusnya tentang 20 Iklan-Iklan Kocak Versi Gue
. Sekian dan kami ucapkan terima kasih atas kunjungannya.
buka contoh marketing : http://blog.unnes.ac.id/norafifah/2015/11/20/iklan-gaya-hidup-dan-perilaku-konsumsi/
Iklan, Gaya Hidup, dan Perilaku Konsumsi |
No comments:
Post a Comment