CHAPTERS SUMMARY BINA NUSANTARA UNIVERSITY
contoh slogan suatu produk - Faculty of Letters English Department Strata I Program2005
Analysing Advertisement Slogan from the Stylistic Features
Mira Meliza Arijanto
NIM :05005855611
Dewasa ini perik:lanan telah menjadi hll1 yang mnum dalam masyarakat. &lmpai timbul pandangan ba:hwa ldta hidup dikelilingi iklan. Kemana pun ldta pergi, ldta akan menemukan ikl.an. Di jalan-jalan mya, kantor pusat layanan masyarakat, sekolah., pusat perbelanjaan atau kantor-kantor pemerintahan penuh dengan iklan-iklan. Seolab-olah ik:lan telah menjadi budaya di masyamkat.
CHAPTERS SUMMARY BINA NUSANTARA UNIVERSITY |
Ikhm adalah sarana komunikasi komersial dan nonpersonal tentang sebuah produk, barang at-au jasa, yang bertjnan untuk menarik minat pemirsruJ.ya untuk mengkonsumsi produk tertentu. Penyrunpaian ildan kepada masyarakat biasanya melalui bermacam-macam media, misalnya televisi, radio, koran, majalah, dan lain-lain.
Sebuah ildan yang baik akan mencantu.mkan nama pernsahaan atau produknya,
sebagai identitas untllk membedakan dengan produk yang sejeuis. Iklan terdiri dari beberapa UllSur, diantaranya Headline atau judul dari iklan itu sendiri; Image atau grunbar yang mendukung tercapainya tujnan ildan tersebut; dan Slogan atau jargon.
Penman slogan atau jargon dalrun iklan sangat besar, karena slogan yang berhasil akoo sangat identik dengan produk yang diwakili. Akan soogat mungkin masyarakat mengingat slogan suatu produk melebihl prodllk itu sendiri. Sebagai contoh slogan prodllk susu Dancow, soogat sering kita dengar di masyarakat orang mengucapkan slogan nya: "Aku dan kau suka Dancow".
Dari contoh di atas, kita dapat menyimpolkan bahwa ildan yang memiliki irruna akan lebih mudah untuk diingat. Selain itu, slogan yang baik juga hams unik dan singkat serta tidak membingungkan pemirsal!.ya.
Dalrun karya ilmiah ini, penulis akan berosaha menganalisa 50 slogan dari segi bentuk atau penggunaoo gaya bahasanya. Gaya bahasa yang dimaksud adalah penggunaoo Rhyme, Alliteration,dan Coined Word.
Slogan yang menggunakan Rhyme atau irama adalah slogan yang kalimatuya bersajak. Slogan yang menggunakan Alliteration adalah slogan yang menggunakoo kata-kata yang pennulaannya sama bunyinya
Sedangkan penggunrum Coined Word atau kata-kata yang di ciptakan dengan menggabWlgkan kata-kata yang sudah. ada. Biasanya Coined Word diciptakan bila orang tidak menemukan kata yang tepat Ulltuk menggambarkan sesuatu benda atau perasaan.
Alasan penulis memilili ketiga gaya babasa tersebut untuk di analisa ada!ah karena ketiga gaya bahasa tersebut sering digunakan dalam pembuatan slogan. Dan hal tersebut membuat slogannya menjadi lebih efektif dan berhasil.
Dari analisa terhadap 50 slogan dari perusahaan menengah dan besar, penulis memperoleh kesimpulan umum. Slogan yang menggunakan rhyme atau bersajak ada!ah type slogan yang paling sering digunakan dengan 21 slogan dari 50 slogan. Sedangkan slogan yang menggunakan alliteration adalah. gaya bahasa yang paling jarang digunakan dengan hanya delapan slogan dari total 50 slogan.
Untuk penggunaan slogan dengan coined word dan slogan yang tidak menggunakan ketiga gaya bahasa tersebut memiliki jmn:lah yang hampir sebanding. Penggl.lllaan coined word sebanyak 12 slogan dan slogan yang tidak mengg,malrnn ketiga gaya bahasa tersebut sebesar l3 slogan dari total 50 slogan. Dan sebanyak 4 slogan menggunakan lebih dari satu gaya bahasa.
Harapan penulis terhadap penulisan karya ilmiah ini ada!ah pembaca dapat memperoleh pengetahuan tambahao yang berhubUllgan dengan periklanan, kbususnya dalam pembuatan slogan yang efektif dan berhasil.
DAMPAK BRAND PADA PRODUK PERUSAHAAN
PAPER TOPIK-TOPIK LANJUTAN SISTEM INFORMASI
Oleh
Yuslan Kurniawan 1401123970
Stefani Angelina 1501148482
Angga Joko Purnomo 1501155866
Silvia Tanggara 1501158924
Prisca 1501164542
Meyliani 1501165545
06PKM/ Kelompok 08
Bina Nusantara University
Jakarta
2013/2014
Universitas Bina Nusantara
______________________________________________________________________
Jurusan Sistem Informasi
Paper Topik-Topik Lanjutan Sistem Informasi
Semester Genap tahun 2013/2014
DAMPAK BRAND PADA PRODUK PERUSAHAAN
Yuslan Kurniawan 1401123970
Stefani Angelina 1501148482
Angga Joko Purnomo 1501155866
Silvia Tanggara 1501158924
Prisca 1501164542
Meyliani 1501165545
Kelas/Kelompok: 06PKM / Kelompok 08
ABSTRAK
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis maksud, nilai , tujuan dan pengaruh atau dampak dari sebuah brand image dan extensionnya di sebuah perusahaan yang dapat menjadi citra sistem informasi sebuah produk, mengetahui dampak positif dan negatif yang dihasilkan serta pengaruh brand tersebut kepada kepuasan pelanggan yang membuat penjualan suatu produk yang brand nya sudah terkenal menjadi lebih cepat dan menghasilkan keuntungan bagi perusahaan tersebut, brand image dapat menjadi sebuah penilaian konsumen terhadap produk tersebut , sehingga diperlukan cara untuk meningkatkan nilai sebuah brand tersebut dengan cara melakukan evaluasi terhadap brad yang telah dibuat dan memperhatikan tingkah laku seorang konsumen
Kata Kunci
Brand, extension,konsumen,produk
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Brand adalah salah satu atribut yang sangat penting dari sebuah produk yang penggunaanya pada saat ini sudah sangat meluas karena beberapa alasan, dimana merek suatu produk berarti memberikan nilai tambah produk tersebut. Pikiran para pelanggan dipengaruhi oleh beragam pesan yang sampai pada angka ribuan pesan dan sering berubah – ubah. Merek tidak hanya kesan – kesannya, tetapi merek juga harus menempati suatu posisi khusus dalam pikiran untuk benar – benar menjadi sebuah merek.
Permasalahanya bila merek tidak mendapat tempat khusus atau berbeda dalam benak konsumen, maka akan memberi kesempatan bagi para pesaing untuk menempati posisi dalam benak konsumen tersebut dan merek itu menjadi kurang sejati. Oleh karena itulah maka diperlukan apa yang dinamakan dengan merek sejati. Merek sejati terdiri dari tiga hal yang merupakan sifat fundamental yang membedakan merek sejati dalam benak konsumen yakni internalisasi jumlah kesan – kesan, suatu khusus di “pikiran(mind’s eye)” konsumen, dan manfaat – manfaat fungsional .
Keterkaitan konsumen pada suatu merek akan lebih kuat apabila dilandasi pada banyak pengalaman atau penampakkan untuk mengkomunikasikannya sehingga akan terbentuk citra merek (brand image). Citra merek yang baik akan mendorong untuk meningkatkan volume penjualan dan citra perusahaan. Citra merek dapat dianggap sebagai jenis asosiasi yang muncul di benak konsumen ketika mengingat sebuah merek tertentu. Asosiasi tersebut secara sederhana dapat muncul dalam bentuk pemikiran atau citra tertentu yang dikaitkan pada merek tertentu, sama halnya ketika kita berpikir mengenai orang lain.12 Pendapat Kotler dan Gary Armstrong (2007: 80) dimana “Brand Image adalah himpunan keyakinan konsumen mengenai berbagai merek”. Intinya Brand Images atau Brand Description, yakni diskripsi tentang asosiasi dan keyakinan konsumen terhadap merek
tertentu.
Dari sebuah produk dapat lahir sebuah brand jika produk itu menurut persepsi konsumen mempunyai keunggulan fungsi (functional brand), menimbulkan asosiasi dan citra yang diinginkan konsumen (image brand) dan membangkitkan pengalaman tertentu saat konsumen berinteraksi dengannya(experiental brand).
Pada paper kami kali ini yang memiliki judul dampak brand pada produk perusahaan akan membahas keuntungan memiliki suatu brand , efek positif dan negatif yag dihasilkan oleh sebuah brand extension.
1.2. Ruang Lingkup
Pada paper ini kami akan membatasi pembahasan , yang akan membahas mengenai :
1. Apa sajakah efek negatif dan positif yang dihasilkan oleh brand extension dalam sebuah perusahaan?
2.Brand image / citra daripada sebuah merek.
1.3. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari pembahasan paper ini adalah :
1. Memperoleh informasi tentang pengaruh citra merek terhadap citra
perusahaan.
2. Memperoleh informasi tentang pengaruh kualitas produk terhadap citra perusahaan.
3. Memperoleh informasi tentang pengaruh promosi terhadap citra
perusahaan.
4. Memperoleh informasi tentang pengaruh citra merek, kualitas produk dan promosi secara simultan terhadap citra perusahaan
Adapun manfaat dari penulisan paper ini yaitu :
1. Manfaat praktis
penelitian ini diharapkan menambah baik bagi kalangan akademis
maupun masyarakat umum mengenai pengukuran brand equity dan
pengaruhnya terhadap minat beli.
2. Manfaat teoritis
menambah wawasan dan referensi kepustakaan mengenai ilmu
pengetahuan di dibidang pemasaran yaitu tentang brand equity
theory dan pengaruhnya terhadap minat beli.
1.4. Metodologi
Metode yang digunakan dalam penulisan laporan topik-topik lanjutan ini adalah metode pengumpulan data secara kualitatif. Dimana diperlukan data-data sebagai pendukung kebenaran materi uraian dan pembahasan.
1.4.1. Observasi , yaitu penulis melakukan pengamatan langsung terhadap sistem/brand yang sudah diterapkan.
1.4.2. Menganalisa dan mengidentifikasi segala permasalahan yang timbul dari brand yang digunakan oleh sebuah perusahaan.
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Definisi Integrasi
Integrasi berarti mengombinasikan beberapa hal yang menghasilkan sesuatu hal baru yang lebih efektif (Longman Active Student Dictionary, 2005, p390).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), integrasi adalah pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat.
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa integrasi merupakan pengombinasian beberapa hal menjadi suatu kesatuan sehingga dapat menghasilkan suatu hal yang lebih efektif.
2.2 Definisi Sistem
Sistem adalah sekumpulan komponen yang memiliki fungsi bersama-sama dalam mencapai beberapa hasil (Satzinger, Jackson, Burd, 2010, p6).
Sistem adalah sesuatu yang memerlukan adanya input, menerapkan aturan-aturan atau proses ke input dan menghasilkan output (Considine, Parkes, Olesen, Speer, Lee, 2010, p12).
Berdasarkan pernyataan di atas, penulis menyimpulkan bahwa sistem merupakan komponen-komponen yang saling terkait satu dengan lainnya yang berfungsi bersama-sama untuk mencapai hasil yang diinginkan dimana terdapat input yang akan diproses untuk menghasilkan output.
2.3 Definisi Informasi
Informasi merujuk ke data yang telah terorganisasi supaya memiliki arti dan nilai kepada penerima (Rainer, Turban, Porter, 2007, p5).
Informasi adalah suatu data yang memiliki relevansi dan tujuan (Pearlson, Saunders, 2009, p13).
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa informasi merupakan data yang telah diproses atau diorganisasikan dimana terdapat relevansi dan tujuan sehingga hasil dari data yang diproses tersebut memiliki arti dan nilai yang penting bagi penerima.
2.4 Definisi Sistem Informasi
Sistem informasi adalah sekumpulan komponen yang saling berhubungan yang mengumpulkan, memproses, menyimpan, dan menyediakan output berupa informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas bisnis (Satzinger, Jackson, Burd, 2010, p7-p8).
Sistem informasi lebih dikenal sebagai kombinasi dari teknologi, manusia, dan proses yang organisasi gunakan untuk membuat dan mengelola informasi (Pearlson, Saunders, 2009, p15).
Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem informasi merupakan sekumpunan komponen/unsur yang bersatu bersama-sama untuk menghasilkan dan mengelola informasi yang berguna untuk menyelesaikan tugas bisnis dan mendukung organisasi.
Gambar 2.1 Sistem Informasi dan Komponen
Sumber : Satzinger, Jackson, and Burd (2010, p8), Systems Analysis and Design in a Changing World.
Pada Gambar 2.1 dapat dilihat bahwa komponen-komponen sistem informasi meliputi hardware, software, input, output, data, people, dan procedure.
2.5 Integrasi Sistem
Integrasi sistem didefinisikan Scott (2001) sebagai adanya saling keterkaitan antarsistem sehingga data dari satu sistem secara rutin dapat melintas menuju atau diambil oleh satu atau lebih sistem yang lain.
Menurut Blaha (1998), motif pengintegrasian sistem adalah sebagai berikut.
1. Pengurangan biaya
Perolehan data yang sama secara berulang kali dalam aplikasi merupakan pemborosan dan memakan biaya.
2. Integritas data
Penyimpanan data merupakan hal yang relatif mudah, namun yang lebih sulit adalah konsistensi, pemahaman terhadap data yang benar, dan meningkatkan kualitas basis data aplikasi.
3. Fleksibilitas lebih besar
Sistem harus mampu memberi respon yang cepat terhadap peluang yang muncul serta harus bisa menunjang pengambilan keputusan.
4. Fungsionalitas lebih tinggi
Integrasi mampu mengatasi heterogenitas data yang berasal dari berbagai sumber, sehingga sinergi aplikasi dalam sistem dapat digunakan untuk meraih keuntungan bisnis.
2.6 Definisi Online
Menurut Oxford Dictionaries, online berarti dikendalikan oleh komputer atau terhubung ke komputer; dilakukan menggunakan Internet atau jaringan komputer lain.
Online adalah komputer atau perangkat yang terhubung ke jaringan (seperti Internet) dan siap untuk digunakan (atau digunakan oleh) komputer atau perangkat lain. (www.businessdictionary.com)
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa online adalah komputer atau perangkat lain yang terhubung ke Internet atau jaringan komputer lain.
2.7 Definisi Brand
Menurut Oxford Dictionaries, brand merupakan jenis produk yang diproduksi oleh perusahaan tertentu dengan nama tertentu.
Brand adalah desain, tanda, simbol, atau kata yang unik yang digunakan dalam menciptakan sebuah image yang mengidentifikasi produk dan membedakan produk dari pesaingnya. (www.businessdictionary.com)
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa brand adalah desain, tanda, simbol, atau kata yang unik yang dibuat oleh perusahaan untuk menciptakan image tertentu.
2.8 Brand Extension
Brand extension merupakan strategi meluncurkan produk baru di pasar (Martinez dan Pina, 2003).
Brand extension merupakan strategi dengan menggunakan nama brand yang sudah ada untuk meluncurkan produk dengan kategori yang lain (Kotler, 2003).
Sebagai contoh, perusahaan yang menggunakan strategi brand extension adalah Honda. Honda menggunakan satu brand tersebut untuk banyak produk, seperti mobil, motor, pemotong rumput, dan beberapa produk lain dengan jenis berbeda.
2.9 Hubungan Brand Extension dan Brand Image
Persepsi konsumen dan evaluasi dari brand extension dan core brand terkait dengan brand image sebuah produk. Brand image merupakan alasan dan persepsi emosional konsumen terhadap brand sebuah produk (Law dan Liu, 2000). Brand image meliputi fungsi dan simbol dari produk.
Menurut Pitta dan Katsanis (1995), brand image meliputi tiga dimensi, yaitu favorability, kekuatan, dan keunikan dari asosiasi brand. Keunikan dibagi ke dalam tiga kategori. Kategori pertama adalah atribut yang secara umum dihubungkan dengan kinerja produk. Hal itu dapat berkaitan dengan fisik produk maupun kategori produk. Kategori kedua adalah manfaat. Manfaat berkaitan dengan kepuasan konsumen. Manfaat diklasifikasikan menjadi fungsional dan experiental/simbolik. Kategori ketiga adalah sikap terhadap brand. Sikap terhadap brand merupakan respon individu terhadap brand yang memiliki elemen, seperti nama merek, logo, simbol, karakter, dan kemasan. Menurut Aspari dan Hastjarjo (2000), sikap terhadap brand merupakan evaluasi suatu brand, baik menguntungkan ataupun tidak menguntungkan.
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 Efek positif dan negative brand extension
Ada dua pandangan berlawanan tentang efek strategi brand extension yaitu efek negatif brand extension dan efek positif brand extension. Menurut Martinez dan Pina (2003), brand extension menurunkan risiko kegagalan produk karena konsumen akan lebih menerima produk baru yang diluncurkan karena sudah mengetahui brand sebelumnya tetapi juga ada efek negative bagi konsumen. Hal yang sama dikemukakan oleh Sharp (1991), penggunaan brand extension untuk produk baru adalah mengurangi risiko dan mengurangi biaya.
Berbeda dengan pernyataan Kotler (2003), brand extension yang terlalu banyak akan mengakibatkan brand dilution. Brand dilution berarti nama brand suatu produk kehilangan posisi dibenak konsumen. Di bawah ini matrik dari pembagian nama brand dan kategori produk yang dikutip dari Tauble’s 1987 dalam Aubler dan Styles 1991.
Chen dan Liu (2004) berbeda dari pendapat dari Martines dan Pina,
kedua ahli tersebut mengatakan bahwa brand extension akan berdampak positif. Strategi akan memberikan manfaat karena mengurangi perkenalan dan biaya iklan dari produk baru. Perusahaan tidak membutuhkan iklan besar besaran di media karena brand dari produk tersebut sudah dikenal masyarakat. Pengiklanan di media membutuhkan biaya yang besar. Apalagi jika produk diiklankan melalui media televisi.
Menurut Chen dan Liu (2004), strategi brand extension ada dua yaitu vertikal dan horisontal. Brand extension secara horizontal adalah nama brand yang sudah ada diterapkan untuk memperkenalkan produk baru dihubungkan dengan kelas produk di dalam perusahaan. Brand extension secara vertical termasuk memperkenalkan perluasan produk dalam kategori produk yang sama sebagai brand inti tetapi ada perbedaan harga dan level kualitas. Ada dua kemungkinan pilihan dalam brand extension secara vertikal (Chen dan Liu, 2004). Pertama, diperkenalkan dengan harga dan level kualitas lebih rendah dari brand inti. Kedua, produk baru diperkenalkan dengan harga dan level kualitas lebih tinggi dari core brand .
Hal senada juga dikatakan oleh (Kim dan Lavack, 1996), vertikal brand extension dapat dilakukan dengan dua cara yaitu step up atau step down. Vertical brand extension merupakan strategi atractive perusahaan untuk meningkatkan profit (Lim dan lavack, 1996). Step up adalah produk baru diperkenalkan dengan kualitas dan harga yang tinggi dari pada core brand. Step down adalah produk baru diperkenalkan dengan harga dan kualitas lebih rendah dari core brand. Vertikal brand extension akan membantu penerimaan konsumen pada peluncuran brand extension
(Kim dan lavack, 1996). Step down brand extension dapat merugikan brand inti dengan 3 cara (Kim dan lavack, 1996);
1. Kanibalisme terhadap penjualan core brand
2. Menyuramkan nama core brand
3. Feedback negatif dari franchice core brand
Dalam step down brand extension, risiko kanibalisme adalah yang utama. Alasannya adalah konsumen dapat membeli produk dengan kualitas produk pada harga yang lebih rendah. Jika konsumen memperoleh produk dengan kualitas yang hampir sama dan harga lebih rendah, maka risiko kanibalisme akan terjadi. Menurut Buday (1986), risiko kanibalisme ada dua macam:
1. brand extension dengan bentuk produk yang terpisah Kanibalisme semacam ini mempunyai risiko yang lebih kecil.
2. brand extension dengan kategori produk yang terpisah.
Selain itu, produk baru yang diluncurkan dengan kualitas yang lebih rendah akan menyuramkan nama core brand ( Kim dan Lavack, 1996). Hal tesebut menyebabkan prestige dari core brand akan pudar. Core brand yang semula dianggap oleh konsumen mempunyai kualitas yang bagus akan pudar dengan munculnya brand extension dengan harga yang lebih rendah. Perusahaan akan mengalami kerugian jika core brand yang sudah sukses dibangun akan kehilangan pasar. Step up extension juga berpotensi merugikan core brand. Brand extension yang mempunyai harga di atas core brand akan membingungkan konsumen dan tidak yakin akan karakter dan image dari core brand (Kim dan lavack, 1996). Konsumen akan bingun dengan posisi kualitas dari core brand. Konsumen akan mempertanyakan kualitas dari core brand yang selama ini sudah terbentuk terlebih dahulu. Konsumen akan menganggap bahwa core brand mempunyai kualitas yang buruk. Menurut Kim dan Lavack 1996, hal tersebut dapat diatasi dengan teknik distancing yaitu memanipulasi brand extension dari core brand. Selian itu untuk melindungi core brand dari vertical extension.
Teknik untuk melindungi core brand tersebut dapat dilakukan dengan grapichal dan linguistic distancing yaitu teknik dalam pengiklanan, promosi penjualan dan pengepakan (Kim dan Lavack, 1996). Grapichal distancing bisa dilakukan dengan memanipulasi ukuran. Ukuran tulisan yang diperkecil atau diperbesar dapat membantu menyamarkan brand extension dengan core brand. Linguistic distancing dilakukan dengan menggunakan kata untuk memanipulasi brand extension dari core brand. Pengiklanan dengan menggunakan kata-kata yang berbeda diharapkan mampu memanipulasi brand extension. Meskipun demikian, keputusan untuk distancing seharusnya dihubungakan dengan tujuan strategic perusahaan (Kim dan lavack, 1996). Perusahaan tidak dengan mudah dapat mengganti brand begitu saja. Image yang sudah tertanam di benak konsumen akan sulit diubah. Selain itu, perusahaan harus mengeluarkan banyak biaya jika mengganti brand. Perusahaan harus mengeluarkan biaya untuk merancang brand tersebut dan akan mengeluarkan biaya untuk pengiklanan kembali agar dapat dikenal konsumen. Keefefektifan menggunakan distancing akan mengurangi dilution sehingga risiko kegagalan produk baru dan samarnya core brand akan dapat diminimalisasi.
Peneliti lain yaitu Aubler dan Styles (1991) juga mengatakan bahwa ada manfaat dalam brand extension. Ada dua manfaat yaitu untuk effectivenes dan efficiency. Manfaat efisiensi meliputi biaya yang rendah untuk membangun kesadaran konsumen akan sebuah brand dan efisien dalam mengkomunikasikan brand tersebut pada konsumen. Manfaat efektifitas yaitu penerimaan yang tinggi dari konsumen. Brand yang mempunyai kualitas yang baik akan lebih mudah diterima oleh konsumen jika ada produk baru dengan brand yang sama. Meskipun demikian, Aubler dan Styles (1991) juga mengungkapkan adanya risiko tentang brand extension. Ada dua risiko yaitu risiko extension dan risiko brand . Risiko extension meliputi estimasi yang berlebihan terhadap manfaat dan kurang layak dalam keberadaan brand tersebut. Risiko brand meliputi dilution, kanibalisme terhadap lini yang ada, dan ineffisiensi logistik.
Karakteristik dari brand extension meliputi perluasan konsep
yang konsisten dengan parent brand, brand extension diluncurkan berurutan dari peluncuran, dan berdampak pada pemilihan pemilihan strategi komunikasi. Brand akan mudah diterima oleh konsumen apabila perusahaan mempunyai strategi komunikasi yang tepat dalam mengirimkan pesan kepada konsumen melalui brand. Brand extension juga berhubungan dengan parent brand (Reast, 2005). Parent brand yang diperluas dalam kategori produk yang tidak sama konsumen akan kurang menerima brand tersebut (Wu dan Yen, 2007). Faktor-faktor yang menentukan kesuksesan brand extension diasumsikan bahwa brand merupakan akumulasi dari asosiasi. Parent brand asosiasi dapat mempengaruhi reaksi konsumen pada brand extension. Brand association merupakan kategori dari aset brand dan liabilititas yang dihubungkan dengan memori (Low and Lam, 2000).
3.2 Brand Image
Faktor – faktor pendukung terbentuknya brand image dalam keterkaitannya dengan asosiasi merek: (Keller, 2003) :
• Favorability of brand association / Keunggulan asosiasi merek.
Salah satu faktor pembentuk brand image adalah keunggulan produk, dimana produk tersebut unggul dalam persaingan. Contoh: Oliver Footwear merupakan penghasil alas kaki terbesar di Australia. Produknya adalah sepatu bot tinggi untuk tempur, sepatu tinggi untuk pemadam kebakaran. Sepatu bot yang diproduksi awal tahun 1990-an ini sekarang menjadi salah satu model sepatu terbaik di Australia. Kelebihan sepatu ini adalah kualitas yang unggul baik dalam hal model maupun kenyamanan pada saat di pakai. Sepatu ini
berusaha untuk terus mempertahankan “gaya gagah dan watak sederhana“.
Karena keunggulan kualitas (model dan kenyamanan) dan ciri khas itulah yang menyebabkan sepatu ini mempunyai daya tarik tersendiri bagi kalangan orang muda, usahawan Barat kaya serta para wanita.
• Strength of brand association/familiarity of brand association / Kekuatan asosiasi merek.
Contoh membangun kepopuleran merek dengan strategi komunikasi melalui periklanan: Hotel Shangri-la sebagai hotel bintang lima yang berhasil menampilkan diri sebagai merek hotel yang berkualitas di wilayahnya pada tahun 1990-an. Strategi yang digunakan adalah dengan melakukan kampanye iklan dengan slogan “Kemana lagi kecuali ke Shangri-La ?” Setiap merek yang berharga mempunyai jiwa, suatu kepribadian khusus. adalah kewajiban mendasar bagi pemilik merek untuk dapat mengungkapkan, mensosialisasikan jiwa/ kepribadian tersebut dalam satu bentuk iklan, ataupun bentuk kegiatan promosi dan pemasaran lainnya. Hal itulah yang akan terus menerus menjadi
penghubung antara produk/merek dengan konsumen. Dengan demikian merek tersebut akan cepat dikenal dan akan tetap terjaga ditengah–tengah maraknya persaingan.Membangun popularitas sebuah merek menjadi merek yang terkenal tidaklah mudah. Namun demikian, popularitas adalah salah satu kunci yang dapat membentuk brand image konsumen.
• Uniquesness of brand association / Keunikan asosiasi merek
Merupakan keunikan–keunikan yang di miliki oleh produk tersebut. Sebagai salah satu contoh adalah usaha Negara Singapura yang dimulai pada tahun 1970-an, di mana Negara ini berusaha serius terlibat dalam dunia pariwisata. Pada tahun itu, Singapura sadar akan keberadaannya yang tidak memiliki kekuatan besar untuk meningkatkan pertumbuhan sektor pariwisata. Salah satu kendala terbesar adalah faktor minimnya dana. Kendala lainnya antara lain citranya sebagai Negara tujuan liburan sangat rendah bagi kebanyakan negara Barat yang saat itu menjadi pasar yang kuat di sektor pariwisata, agenda moderenisasi perkotaan pemerintah yang tidak sesuai dengan janji pelayanan orang asing yang unik yang biasanya dicari para wisatawan. Sedangkan kelebihan yang dimiliki oleh Negara ini adalah: lokasi yang sangat strategis dan keberadaan singapura yang merupakan gudang serta pertokoan bebas bea cukai terbaik di Asia Tenggara. Usaha yang dilakukan Negara Singapura dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya adalah dengan menciptakan keunikan–keunikan yang menarik perhatian masyarakat, antara lain memberikan pajak yang kecil pada semua rekening hotel dan restoran pada organisasi–organisasi yang mendukung, berhubungan dengan sektor pariwisata; kampanye global untuk pertama kalinya yang diadakan oleh Dewan Pariwista pada tahun 1980-an. Sasaran utamanya adalah lalu lintas pengunjung di pasar–pasar Barat yang terpilih.
3.3 Elemen-Elemen dari brand
Hogan (2005) mengungkapkan bahwa citra merek merupakan asosiasi dari semua informasi yang tersedia mengenai produk, jasa dan perusahaan dari merek yang dimaksud. Informasi ini didapat dari dua cara; yang pertama melalui pengalaman konsumen secara langsung, yang terdiri dari kepuasan fungsional dan kepuasan emosional. Merek tersebut tidak cuma dapat bekerja maksimal dan memberikan penampilan hasil yang dijanjikan tapi juga harus dapat memahami kebutuhan konsumen, mengusung nilai-nilai yang diinginkan
oleh konsumen dan juga memenuhi kebutuhan individual konsumen, yang kemudian akan berkontribusi pada hubungan dengan merek tersebut. Kedua, persepsi yang dibentuk oleh perusahaan dari merek tersebut melalui berbagai macam bentuk komunikasi, seperti iklan, promosi, hubungan masyarakat (public relations), logo, fasilitas retail, sikap karyawan dalam melayani penjualan, dan performa pelayanan. Bagi banyak merek, media dan lingkungan di mana merek tersebut dijual dapat mengomunikasikan atribut-atribut yang berbeda. Setiap alat pencitraan ini dapat berperan dalam membina hubungan dengan konsumen. Penting demi kesuksesan sebuah merek, jika semua faktor ini dapat berjalan sejajar atau seimbang sehingga dapat membentuk gambaran total dari merek tersebut. Gambaran inilah yang disebut citra merek atau reputasi merek, dan citra ini bisa berupa citra yang positif atau negatif atau bahkan keduanya.
Citra merek terdiri dari atribut obyektif atau intrinsik seperti ukuran kemasan dan bahan dasar yang digunakan, serta kepercayaan, perasaan dan asosiasi yang ditimbulkan oleh merek produk tersebut (Arnould, et al, 2005: 120). Citra merek merepresentasikan inti dari semua kesan mengenai suatu merek yang terbentuk dalam benak konsumen. Kesan-kesan ini antara lain kesan mengenai penampilan fisik produk, kesan tentang keuntungan fungsional produk, kesan tentang orang-orang yang memakai produk tersebut, semua emosi dan asosiasi yang ditimbulkan produk itu, semuaimaginary dan makna simbolik yang terbentuk dalam benak konsumen, termasuk imaginary dalam istilah karakteristik manusia.
Citra pada suatu merek merefleksikan bayangan atau image dari perspektif konsumen berdasarkan janji yang dibuat merek tersebut kepada konsumennya. Citra merek terdiri atas asosiasi konsumen pada kelebihan produk dan karakteristik personal yang dilihat oleh konsumen pada merek tersebut. Menurut Davis (2000: 53-72), citra merek memiliki dua elemen, yaitu pertama adalah Brand Associations (Asosiasi Merek), yakni asosiasi terhadap karakteristik produk atau jasa yang dilekatkan oleh konsumen pada merek tersebut, termasuk persepsi konsumen mengenai janji-janji yang dibuat oleh merek tersebut, positif maupun negatif, dan harapan mengenai usaha-usaha untuk mempertahankan kepuasan konsumen dari merek tersebut. Suatu merek memiliki akar yang kuat, ketika merek tersebut diasosiasikan dengan nilai-nilai yang mewakili atau yang diinginkan oleh konsumen. Asosiasi merek membantu pemasar mengerti kelebihan dari merek yang tersampaikan pada konsumen.
Elemen kedua adalah Brand Personality (Kepribadian Merek), yakni serangkaian karakteristik manusia yang oleh konsumen diasosiasikan dengan merek tersebut, seperti kepribadian, penampilan, nilai-nilai, kesukaan, gender, ukuran, bentuk, etnis, inteligensi, kelas sosioekonomi, dan pendidikan. Hal ini membuat merek seakan-akan hidup dan mempermudah konsumen mendeskripsikannya, serta faktor penentu apakah konsumen ingin diasosiasikan dengan merek tersebut atau tidak. Kepribadian dan karakter merek membantu pemasar lebih mengerti kelebihan dan kekurangan merek tersebut dan cara memosisikan merek secara tepat. Brand personality menjelaskan mengapa orang menyukai merek-merek tertentu dibandingkan merek lain ketika tidak ada perbedaan atribut fisik yang cukup besar antara merek yang satu dengan yang lain. David Ogilvy (dalam Sengupta, 2005) menyebutkan bahwa kepribadian merek merupakan kombinasi dari berbagai hal: nama merek, kemasan merek, harga produk, gaya iklan, dan kualitas produk itu sendiri.
Sementara itu, Joseph Plummer (dalam Aaker, 1991: 139) mengatakan bahwa citra merek terdiri dari tiga komponen yaitu: Product Attributes (atribut produk) yang merupakan hal-hal yang berkaitan dengan merek tersebut sendiri seperti kemasan, isi produk, harga, rasa, dll;Consumer Benefits (manfaat yang dirasakan konsumen) yang merupakan kegunaan produk dari merek tersebut; dan Brand Personality (kepribadian merek) yang merupakan asosiasi kepribadian sebuah merek apabila merek tersebut seorang manusia.
Keller (1993: 4) mendefinisikan citra merek sebagai persepsi mengenai sebuah merek sebagaiman direflekikan oleh asosiasi merek yang terdapat dalam benak konsumen. Citra merek terdiri dari unsur-unsur berupa Attributes (atribut) yang merupakan pendefinisian deskriptif tentang fitur-fitur yang ada dalam sebuah produk atau jasa. Atribut produk terdiri dari product-related attributes (atribut produk), yakni unsur-unsur yang membuat fungsi produk dapat bekerja, biasanya berhubungan dengan komposisi fisik atau persyaratan dari suatu jasa yang ditawarkan. Atribut lain adalah nonproduct-related attributes (atribut non produk) yang merupakan aspek eksternal dari suatu produk yang berhubungan dengan pembelian dan konsumsi suatu produk atau jasa, di antaranya termasuk informasi tentang harga, kemasan dan desain produk, orang, peer groupatau selebriti yang menggunakan produk atau jasa tersebut, bagaimana dan di mana produk atau jasa itu digunakan.
Unsur kedua menurut Keller adalah Benefits (manfaat), yakni nilai personal yang dikaitkan oleh konsumen pada atribut-atribut produk atau jasa tersebut. Benefit produk terdiri dari functional benefits yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dasar seperti kebutuhan fisik dan keamanan atau pemecahan masalah, experiential benefits yang berhubungan dengan perasaan yang muncul ketika menggunakan suatu produk atau jasa, dan terakhir adalah symbolic benefits yang berhubungan dengan kebutuhan akan persetujuan sosial atau ekspresi personal dan self-esteem seseorang. Khalayak konsumen biasanya menghargai nilai-nilai prestis, eksklusivitas dan gaya fashion dari sebuah merek karena hal-hal ini berhubungan dengan konsep diri mereka. Sementara itu, berkaitan dengan benefit sebuah merek, Wijaya (2011b: 16) mengungkapkan 4 (empat) macam benefit yakni, functional benefits(manfaat merek/ produk yang mampu menjawab kebutuhan fisik konsumen),emotional benefits (manfaat merek/ produk yang mampu menjawab kebutuhan afektif konsumen seperti rasa aman, rasa percaya diri, rasa cinta, dan sebagainya), symbolic benefits (manfaat merek/ produk yang mampu menjawab kebutuhan ilusif konsumen dalam mengaktualisasi dan mengekspresikan makna diri dan kehidupannya bagi lingkungan demi eksistensi diri) dan social benefits (manfaat merek/ produk yang mampu menjawab kebutuhan spiritual konsumen dalam merefleksikan diri serta mengapresiasi kehidupannya melalui kontribusi positif bagi lingkungannya).
Unsur terakhir menurut Keller adalah Brand Attitude (sikap merek) yang didefinisikan sebagai evaluasi keseluruhan atas suatu merek, apa yang dipercayai oleh konsumen mengenai merek-merek tertentu, sejauh apa konsumen percaya bahwa produk atau jasa tersebut memiliki atribut atau keuntungan tertentu, dan penilaian evaluatif terhadap kepercayaan tersebut –bagaimana baik atau buruknya suatu produk jika memiliki atribut atau keuntungan tersebut. Wijaya (2011b: 21) menyebutkan bahwa brand attitude lebih merupakan sikap atau perilaku komunikasi dan interaksi merek dengan konsumen yang memengaruhi citra merek tersebut.
Citra suatu merek dapat menjadi pembeda yang mengindikasikan suatu merek lebih superior dibandingkan merek lain dalam satu kategori produk. Pengakuan superioritas di antaranya dibangun melalui pembentukan citra merek yang direpresentasikan oleh orang-orang yang menggunakan merek tersebut, misalnya melalui penggunaan selebriti atau public figure dalam iklan dan aktivitas komunikasi lainnya (Tybout & Calkins, 2005).
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Perusahaan lebih baik untuk meningkatkan ketelitian dalam menentukan strategi brand. Dikarenakan terdapat efek negatif dan positif yang harus dipertimbangkan. Efek negatif dari brand extension yang paling utama adalah terjadinya kanibalisme. Selain itu , akan terjadi dilution yaitu core brand akan terlihat kabur atau suram. Efek positifnya antara lain brand akan mudah dikenal oleh konsumen karena core brand telah lebih dulu ada di pasar.
4.2 Saran
Saran terhadap online branding adalah :
a. Mengantisipasi dampak yang terjadi dari online branding terhadap reputasi perusahaan
b. Menentukan strategi brand yang baik untuk meningkatkan keuntungan kompetitif perusahaan
DAFTAR PUSTAKA
Blaha, Michael and Premerlani, William. 1998. Object Oriented Modeling and Design for Database Application. Prentice Hall. New Jersey.
Considine, B., Parkes, A., Olesen, K., Speer, D., & Lee, M. 2010. Accounting Information Systems: Understanding Business Processes. Milton: John Wiley & Sons Australia, Ltd.
Martinez, E. and Pina, J.M. 2003. “The negative impact of brand extension on parent brand image”, Journal of Product & Brand Management, Vol 12, No 7, pp. 432-448.
Pearlson, K. E., & Saunders, C. S. 2009. Strategic Management of Information Systems. Hoboken: John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd.
Pitta, A.D. and Katsanis, L.P. 1995. “Understanding brand equity for successful brand extension”, Journal of Consumer Marketing, Vol 12, No 4, pp.51-64
Rainer, R. K., Turban, E. & Porter, R. E. 2007. Introduction to Information Systems: Supporting and Transforming Business. Hoboken: Wiley.
Scott, George M. 2001. Principles of Management Information System. McGraw-Hill. USA.
Dengan adanya informasi yang kami sajikan tentang contoh slogan suatu produk
, harapan kami semoga anda dapat terbantu dan menjadi sebuah rujukan anda. Atau juga anda bisa melihat referensi lain kami juga yang lain dimana tidak kalah bagusnya tentang Arti Abjad A - Z, Menurut Kamus Bahasa Indonesia
. Sekian dan kami ucapkan terima kasih atas kunjungannya.
buka contoh marketing : christaprisca.blog.binusian.org/.../DAMPAK-BRAND-PADA-PRO...
No comments:
Post a Comment