Masa Depan Media Cetak?
Masa Depan Media Cetak? |
“Apakah media cetak masih akan tetap bertahan dalam kurun 10-20 tahun ke depan?Bill Gates pernah meramalkan jika pada tahun 2000, media cetak akan mati. Nyatanya sampai sekarang media cetak masih terus bertahan dan diyakini akan tetap ada hingga sampai kelak manusia tidak memerlukan lagi. Philip Meyer penulis buku Vanishing Newspaper (2004) bahkan meramalkan di Amerika Serikat, koran terakhir akan terbit pada kuartal pertama 2043.
SPS (Serikat Penerbit Suratkabar) melakukan sebuah penelitian bertajuk masa depan media cetak di Indonesia, pada 23-29 Juni 2010 melibatkan 2.971 responden. Mayoritas responden membeli surat kabar secara eceran 64,2%, disusul majalah 24,5% dan tabloid 20%.
Kemudian dari tahun ke tahun tren harga berlangganan media cetak terus merangkak naik, nyaris tak pernah ada penurunan harga. Sehingga koran melakukan strategi ‘Koran seceng’ atau koran seribu rupiah untuk mengatasi koran baru di pasar.
Kemudian sebanyak 91,4% responden membaca koran daerah sedangkan untuk koran nasional hanya 8,6%. Karena segmen pembaca surat kabar nasional di Indonesia umumnya adalah masyarakat yang berlatar belakang sosial ekonomi status menengah ke atas, dengan tingkat pendidikan yang semakin tinggi. Pembaca koran daerah, latar perbandingan lurus dengan populasi penduduk yang memiliki sosial ekonomi status menengah ke bawah dan tingkat pendidikan rendah.
Untuk saat ini dengan hadirnya media online dengan penetrasi browser yang meningkat, media cetak mengalami penurunan tajam dalam hal penetrasi (menerobos) pembaca, billing iklan media cetak yang dimonitor Neilson Indonesia justru meningkat pesat. Pada tahun 2009, market share iklan media cetak tumbuh 23%, dengan volume Rp 8,2 triliun.
Lalu apa yang harus dilakukan media cetak di zaman digital ini? Ika Jatmikasari Associate Director Neilson Media Indonesia menyarankan delapan langkah strategi (2009):
1. Membangung kanal internet dan melakukan reportase dalam beragam platform. Mengutip Jay Rosen seorang profesor jurnalism dalam New York University saat ini reporter koran harus mampu menulis atau melaporkan berita dari berbagai platform. Dan bukan cuma dari satu platform saja. Mengapa harus demikian?pasalnya teknologi telah mengubah cara orang dalam mengkonsumsi berita. Banyak diantara konsumen memang masih memperoleh informasi melalui media cetak. Namun banyak pula diantara konsumen yang telah berpindah untuk mendapatkan informasi melalui berbagai media sekaligus, seperti televisi, telepon seluler dan internet.
2. Menjadi niche media, model media massa tidak lagi bisa bekerja sebagai model internet, dan kini semakin banyak orang menemukan subjek dan bidang spesifik yang lebih menarik melalui internet.
3. Integrasi laporan yang real-time. Jaringan sosial media (facebook, twitter,dll) telah menuntut audience untuk menyampaikan berita yang mereka buat sendiri. Koran dapat menggunakan media sosial ini untuk menyampaikan berita hangat tiap hari.
4. Mendorong inovasi.
5. Berinvestasi di bidang modal device. Lebih banyak orang ini mengunakan telfon pintar dan memanfaatkannya untuk saling berkoneksi. Dari hal inilah, terdapat potensial pendapatan yang bisa diperoleh. Media bisa mengutip kepada setiap pelanggan yang mengunduh aplikasi dari media tersebut, seperti halnya ketika memungut kepada pelanggan koran.
6. Berkomunikasilah dengan pembaca muda. Media sosial (facebook, twitter,dll) telah medorong orang untuk dan berkomentar terhadap apapun. Anda ingin membaca koran berkomentar atau mengirim respon terhadap apa yang ingin mereka baca ? satu hal yang perlu diperhatikan untuk membuat publik menilai sebuah koran adalah ketika koran itu memberikan “nilai” (value) kepada publik. Media harus berinteraksi dengan publik.
7. Membangun komunitas. Surat kabar (dan versi web mereka) terlalu sederhana untuk diharapkan sekedar menyampaikan informasi. Media juga harus menciptakan komunitas. Manfaatkanlah media sosial untuk membangun komunitas (koran) anda. Dengan menciptakan komunitas, anda telah menciptakan hubungan yang royal dengan para pemaca.
8. Berlangganan atau gratis ? haruskah versi online surat kabar mengutip dari pembaca yang hendak mengaksesnya ? apa model terbaik untuk hal ini ? rupert murdoch, CEO News Corp ., mulai memungut bayaran dari pembaca untuk semua informasi dari wabsite. Mengapa ? surat kabar perlu menciptakan nilai bagi pembacanya. Dan menyediakan layanan yang orang mau untuk membayarnya !
Sungguhpun demikian, ini tidak berarti internet akan menggeser media cetak dalam kurun beberapa puluh tahun kedepan sebagaimana ditanyakan beberapa pakar. Kevin Sablan (orange county register) misalnya “berpijak dari pengalaman puluhan tahun dan mitos kuno tentang kantor yang tanpa kertas (paperless), saya tidak yakin media cetak akan pergi dari kehidupan saya . “ sementara Mathew Ingram (the globe and mail), berpendapat , “saya tidak berfikirweb site akan sepenuhnya pernah menggantikan koran. Saya masih mengira akan selalu ada orang yang menginginkan media cetak untuk berbagai alasan, termasuk kenyamanan, kemudahan menenteng, dll. “
Sebuah pendapat lain datang dari Paul Bradshaw (professor jurnalisme dari Birmingham University). “Surat kabar sebagai sebuah platform memiliki beberapa keuntungan dibandingkan website, baik secara teknikal maupu kultural dan surat kabar cukup fleksibel untuk beradaptasi.
Tiga tahun lalu, survei multimedia yang dilakukan Group of Magazine KG, merilis pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 30 juta pengguna, ini tentu menandakan jika arus informasi melalui internet sudah sangat gencar dan diyakini akan menjadi salah satu batu sandungan bagi media cetak. Bahkan, ini juga sudah menjadi sebagian pendapat dari orang-orang yang bergelut di dunia usaha. Asumsi ini, memang tak ada salahnya. Terbukti, di Amerika Serikat (AS) sendiri, sejak tiga tahun lalu, sejumlah surat kabar ternama AS seperti Chicago Tribune, Philadelphia Inquirer, Seattle Post Intelligencer dan The Minneapolis Star mengalami kebangkrutan, kendati saat itu, pemicunya diduga akibat krisis ekonomi yang melanda AS dan negara-negara lainnya, namun tak sedikit juga pengamat menyimpulkan jika kebangkrutan itu akibat usaha media cetak tersebut kalah bersaing dengan portal berita online, bahkan beberapa dari usaha media cetak tersebut justru lari ke media online sebagai jalan keluar agar tetap eksis. Memang catatan di atas, untuk sementara dapat membuktikan jika media online secara bertahap telah sedikit banyaknya mampu menggerus industri media cetak. Tapi, di Indonesia, media online dinilai tak akan mematikan media cetak, peluang untuk berkembang dan mempertahanakan diri masih terbuka lebar, itu karena media cetak merupakan jalan utama bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi dan berita. Selain itu, media cetak di Indonesia sudah dianggap sebagai budaya dan kebiasaan masyarakat sejak dulu.
Peluang media cetak untuk tetap eksis dan menjadi mainstream informasi dan berita, yaitu:
1. Membaca media cetak seperti koran dan majalah sudah menjadi kebudayaan dan kebiasaan masyarakat sejak dulu. Salah satunya sebagai teman dalam ritual meminum teh atau kopi di pagi hari. Ini menunjukkan bahwa masyarakat membaca media cetak bukan hanya untuk mendapatkan informasi dan berita tapi sudah menjadi suatu kebiasaan rutin.
2. Walaupun telat sehari dalam pemberitaan, keakuratan content informasi dan berita media cetak dinilai lebih unggul dibanding dengan media online. Hal ini disebabkan media cetak lebih matang dalam menyajikan sebuah informasi dan berita karena waktu untuk mengolah dan mendapatkan keakuratan sebuah informasi dan berita lebih banyak. Beda halnya dengan media online yang terkadang hanya mengejar waktu tayang tanpa memedulikan kualitas informasi dan berita yang disajikan. Sehingga masyarakat yang ingin mendapatkan atau mengkonsumsi informasi dan berita yang berkualitas dan akurat akan tetap mengandalkan media cetak sebagai sumber utama.
3. Terkait dengan tantangan media cetak untuk lebih menyelaraskan dengan teknologi internet seperti yang dilakukan KOMPAS dengan QR Code-nya, media cetak akan mendapatkan porsi yang sama dengan porsinya saat ini sebagai sumber ionformasi dan berita. Tentunya dengan inovasi dan terobosan baru.
Namun, Jika sebuah media cetak tetap mempertahankan sifat konvensional seperti yang masih terjadi pada beberapa media cetak di Indonesia, maka tak mustahil jika media online akan menjadi alternatif masyarakat untuk mendapatkan sebuah berita dan informasi.
Dalam pemasangan iklan guna pemasukan media cetak juga terdapat beberpa keunggulan daibanding media lainnya, seperti televisi, radio bahkan media online. Keunggulan majalah sebagai media iklan suatu produk, yaitu:
1. Selektivitas
Yaitu kemampuan media ini untuk menjangkau khalayak audiens secara selektif. Kebanyakan majalah diterbitkan untuk khalayak tertentu yaitu kelompok khalayak yang memiliki minat khusus terhadap suatu hal. Indonesia dewasa ini memiliki majalah dengan isi cukup bervariasi yang menjangkau pembaca yang memiliki beragam latar belakang termasuk juga majalah untuk bisnis dan industri.
Di Amerika Serikat majalah kategori olahraga merupakan majalah yang paling banyak diterbitkan setiap tahun. Di Indonesia majalah untuk wanita masih mendominasi pasaran walaupun kategori lain menargetkan kelompok pembaca dengan minat khusus sudah mulai banyak bermunculan. Dimana terdapat segmentasi berdasarkan demografis, geografis, psikografis dan sebagainya.
2. Kualitas Produk
Atribut paling berharga yang dimiliki majalah adalah kualitas reproduksinya. Majalah umumnya dicetak menggunakan kertas berkualitas tinggi dan menggunakan proses percetakan yang memungkinkan reproduksi yang sangat bagus, baik dalam hitam putih ataupun berwarna.
3. Kreativitas Fleksibel
Majalah menawarkan pemasang iklan fleksibilitas besar dalam tipe, ukuran dan penempatan materi iklan. Beberapa majalah menawarkan beberpa pilihan yang dapat mendorong daya tarik pembaca terhadap suatau iklan sehingga dapat meningkatkan perhatian dan minat audiens. Misalnya dengan cara menyediakan halaman lipat, halaman tanpa tepi, sisipan dan pembelian ruang kreatif.
4. Permanen
Daya hidup pesannya lebih lama. Studi menunjukan bahwa sekitar 75 persen pembaca menyimpan majalah yang digunakan sebagai referensi di masa depan.
5. Prestise
Prestise yang bisa diperoleh suatu merek produk karena iklannya muncul di suatu majalah terntentu yang dikenal luas memiliki citra atau imej yang positif.
6. Penerimaan dan Lingkungan Konsumen
Suatu penelitian di AS membuktikan bahwa majalah merupakan media yang paling banyak digunakan konsumen untuk mendapatkan pengetahuan, informasi dan ide. Penelitian tersebut membuktikan bahwa majalah menjadi sumber informasi utama bagi konsumen atas berbagai produk, seperti: produk otomotif, kecntikan, pakaian, perencanaan keuangan dan perjalanan.
7. Pelayanan
Ada riset konsumen yang mencakup kegiatan penelitian terhadap trend umum konsumen, perubahan polan pembelian konsumen dan konsumsi atau penggunaan media oleh konsumen.
Surat kabar dalam mengiklankan sebuah produk, memiliki keunggulan yaitu:
1. Jangkauan Ekstensif
Cakupan pasar yang luas khususnya di kawasan perkotaan dimana tingkat pendapatan dan pendidikan masyarakatnya cukup tinggi. Menurut George dan Michael Belch (2001) “penetrasi surat kabar yang ekstensif menjadikan surat kabar sebagai media massa sejati yang memberikan peluang sangat bagus kepada pemasang iklan untuk menjangkau seluruh segmen populasi dengan pesannya”.
2. Fleksibilitas
Surat kabar bersifat fleksibel dalam hal persyaratan untuk memproduksi dan menayangkan iklan, yaitu dapat ditulis dan dipersiapkan hanya dalam beberpa jam. Serta tersedia pilihan kreatif kepada pemasang iklan yang dapat dibuat dalam beberapa warna, bentuk dan ukuran.
3. Seleksi Geografis
Menawarkan kepada pemasang iklan lebih banyak pilihan dalam hal geografis atau wilayah yang menjadi target iklan dibandingkan dengan media lainnya.
4. Penerimaan Pembaca
Pembaca surat kabar menyediakan waktu untuk membaca koran pada akhir pekan. Kebanyakan pembaca mengandalkan surat kabar tidak saja untuk mendapatkan berita, informasi dan hiburan tetapi juga bantuan dalam membuat keputusan konsumsi.
5. Pelayanan
Dengan adanya riset surat kabar menyediakan data mengenai kondisi pasar berdasarkan surat pembaca dan informasi dari para pengecer.
Sedangkan media online meski memiliki banyak kelebihan dalam hal pemasangan iklan ada beberapa kelemahan yaitu:
1. Karakteristik Audiens
Pertumbuhan pengguna internet yang sangat cepat membuat karakteristik audiens berubah-ubah dengan cepat pula.
2. Proses Lambat
Jika situsweb dikunjungi oleh banyak browser maka untuk membuka web tersebut menjadi sangat lama, sehingga menimbulkan kebosanan.
3. Penipuan
Di banyak negara aturan dan penegakan hukum dalam bertransaksi di internet guna melindungi konsumen belum tersedia.
4. Jangkauan Terbatas
Statistik menunjukan hanya sebagian kecil website yang dapat dijangkau oleh mesin pencari dan sebagian besar pengunjung internet hanya berkunjung pada 50 situs teratas.
Sumber :
1. “Masa Depan Pers Indonesia, Survey Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) Pusat, Jakarta, Juni 2009
2. “Tentang BPS dan Masa Depan Pers Indonesia dalam Kacamata Statistik”, Subagio Dwijosumono, Deputi Bidang Statistik Produksi Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta, Agustus 2009
3. “The Future of Newspaper Bisnis in Indonesia”, Ika Jatmikasari, Associate Director Nielsen Media Indonesia, Jakarta, Agustus 2009
4. “Periklanan dan Komunikasi Pemasaran Terpadu”, Morissan, Ramdina Prakarsa, Jakarta, Januari 2007.
Masa Depan Media Cetak di Indonesia
Optimisme bahwa media cetak di Indonesia masih terus bertahan dalam beberapa decade ke depan mewarnai rapat antar penerbit di kantor Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat, awal Maret 2009, yang membahas dampak krisis ekonomi global terhadap media di Indonesia. Semangat ini selaras dengan sikap CEO Kompas, Agung Adiprasetio, dalam Seminar New Media yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Indonesia di Bali, November 2008.
Para penerbit yang tergabung dalam SPS menyadari bahwa bisnis media cetak semakin berat. Pada saat rapat berlangsung, berita ditutupnya Christian Science Monitor sudah disiarkan oleh beberapa media di Indonesia. Senja kala koran-koran Amerika Serikat (AS) diamati dengan cermat oleh seluruh penerbit Indonesia. Mulai dari bangkrutnya Chicago Tribune, Los Angeles Time, sampai dengan ditutupnya The Rocky Mountain News, Seattle Post Intelegencier, Philladephia Inquiry, Baltimore Examiner, Kentucky Post, King Country Journal, Cincinnati Post, Union City Register Tribune, Halifax Daily News, Albuquerque Tribune, South Idaho Star, San Juan Star, dan masih banyak koran-koran besar di AS yang sedang menanti keputusan untuk ditutup. Sebagian dari koran-koran itu pindah ke media online. Jika kita buka internet, dan memasukkan kalimat “The end of Newspaper” atau “Newspaper Death Watch” dalam search engine internet, maka ratusan judul segera muncul. Semuanya mengisahkan sekaratul maut koran-koran di AS.
Nasib serupa sesungguhnya sudah terjadi di Eropa Barat. Dalam pertemuan dengan para wartawan Jerman di Bonn, tahun 2003, kami memperoleh informasi bahwa sekitar 13.000 wartawan Jerman di PHK, dan beberapa media lokal melakukan merger untuk bertahan hidup. Gelombang PHK juga menerpa Asia, The China Times melepas separo staffnya pada bulan Juni 2008.
Alasan utama dari runtuhnya media cetak di negara-negara Barat adalah karena berkembangnya media baru internet. Makin banyak orang di negara-negara Barat mengunjungi media online untuk mendapatkan informasi, apalagi pada musim dingin yang penuh salju. Untuk apa harus keluar rumah untuk memungut koran pagi demi membaca berita koran, jika berita yang sama bisa dibaca melalui komputer di dalam rumah yang hangat. Oleh karena orang malas mengambil koran, maka iklan dalam koran tidak efektif lagi. Sebagai gantinya mereka memasang iklan di internet, yang harganya jauh lebih murah, bahkan ada iklan yang gratis di internet. Secara bersamaan pendapatan iklan dan sirkulasi koran-koran di negara Barat merosot, dan itulah yang menyebabkan banyak koran-koran di AS dan negara Barat lainnya bangkrut, tutup, atau pindah ke online. Runtuhnya koran-koran tersebut dipercepat dengan krisis ekonomi yang menghantam AS. Kerugian yang diderita di beberapa koran di AS sudah tidak tertanggungkan lagi. Memang Ben S. Bernanke, Bank Federal AS menyatakan krisis ekonomi akan berakhir di akhir tahun 2009, tetapi koran-koran yang tutup itu tampaknya tidak akan kembali lagi.
Pada tanggal 23Februari 2008, Kedutaan Besar AS mengirim email, yang berjudul “Drastic Decrease Predicted in Number of Major U.S. Newspapers – Younger readers get their news from the Internet”. Isi email itu meramalkan bahwa 20 tahun yang akan datang semua koran di AS pindah ke online kecuali empat koran besar, yaitu The New York Time, The Washington Post, USA Today, dan Wall Street Journal.
Paul Gillin, konsultan teknologi informasi dari Massachusetts menyatakan bahwa surat kabar terus menyampaikan berita-berita yang bernilai. “Namun model bisnis suratkabar tidak mungkin bertahan hidup lagi, perkembangan ekonomi sedang bergerak melawan bisnis koran,” kata Gillin. Yang dimaksud Gillin adalah bahwa banyak koran di AS mengalami kerugian yang sangat besar, karena terlalu banyak wartawan dan karyawan lainnya. Keadaan ini diperparah, kata Gillin, generasi muda sekarang ini membaca berita dari internet.
Internet di Indonesia
Apakah internet akan mengancam surat kabar di Indonesia? Direktur Marketing First Media, Dicky Moechtar, menyatakan pengguna internet di Indonesia meningkat 1.000% dalam 10 tahun terakhir ini. (Kompas, 31 Maret 2009). Sekarang ini pengguna internet mencapai 25 juta orang, namun Internet Marketers memperkirakan akhir tahun 2009 akan mencapai 33 juta orang, dan tahun 2010 akan mencapai 50 juta orang.
Dalam release yang dikeluarkan Yahoo! & TNS tanggal 20 Maret 2009, bahwa 83% dari pengguna internet di Indonesia mengakses dari warung internet, dan hanya 16% yang mengakses dari rumah. Menurut Yahoo! & TNS, segmen penduduk usia 15-19 tahun di daerah perkotaan yang mengakses internet berjumlah 64%.
Dari informasi awal ini, dapat disimpulkan bahwa media internet adalah ancaman nyata bagi eksistensi surat kabar di Indonesia, walaupun bukan pada tahun ini. Ada praktisi yang sangat optimis, surat kabar di Indonesia akan tetap bertahan hidup selama-lamanya, jika produk surat kabar ditampilkan dengan menggunakan jurnalisme sastrawi. Ada yang memperkirakan masih bisa bertahan sampai tahun 2050. Ada yang mengatakan masa hidup surat kabar di Indonesia tinggal 20 tahun lagi. Bahkan ada yang mengatakan ancaman media online akan datang lebih cepat lagi, jika tarif internet dan harga komputer turun secara berarti.
Jika dilihat dari pengguna internet yang mengakses berita yang masih sangat sedikit, memang surat kabar di Indonesia masih boleh berlega hati, setahun dua tahun ini, namun setelah itu suasananya akan berubah, dengan makin berkembangnya teknologi informasi dan turunnya tarif internet. Ada faktor lain yang membuat praktisi surat kabar boleh bersantai setahun dua tahun ini antara lain, pengguna internet mengakses di warung internet yang tarifnya Rp3.000,-/jam, dan mayoritas pengaksesnya adalah remaja yang diperkirakan mengakses internet karena tugas sekolah/kuliah. Di tengah ancaman dari internet, justru hampir semua media cetak di seluruh Indonesia, mensuplai berita ke media internet secara gratis. Keadaan yang paradoksal ini harus dilakukan media cetak atas nama konvergensi media dalam rangka mempertahankan hidupnya, dan mungkin juga sebagai persiapan untuk pindah media jika keadaan memaksa seperti di AS.
Perang harga
Jika internet merupakan masa depan bagi koran, ancaman media cetak saat ini adalah perang harga pada bidang sirkulasi dan iklan. Perang harga eceran surat kabar harian berlangsung sangat kerasnya, dengan hadirnya koran dengan harga Rp 1.000,-. Hampir semua koran harian besar melakukan jual rugi, namun Pasal 20 Undang-Undang no 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, tampaknya belum pernah diberlakukan untuk industri surat kabar. Dampak jual rugi yang dilakukan oleh industri surat kabar yang sudah mapan dianggap sebagai penghalang masuknya pemain baru dalam industri koran. Sudah banyak pemain baru mencoba, dan ribuan koran sudah bertumbangan, dan terlempar keluar dari arena bisnis koran.
Perang harga yang lebih dahsyat terjadi pada iklan. Bukan hanya surat kabar harian yang banting harga, tetapi juga majalah, radio, dan televisi. Apalagi untuk industri televisi yang harga iklannya dibayar setelah mencapai rating tertentu. Sedangkan ada koran yang memuat iklan tanpa dibayar, sebagai bagian promosi pembentukan pasar. Dengan adanya perang harga dalam iklan ini maka data penelitian yang dilakukan oleh AC Nielsen hanya bisa dipakai untuk mengukur volume iklan, tetapi tidak bisa digunakan untuk mengukur tentang belanja iklan.
Sampai saat ini belum ada cara untuk meredakan perang harga ini. Beberapa kali Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat menyelenggarakan diskusi untuk membahas masalah harga eceran koran, namun para praktisi medeia cetak sepakat untuk tidak sepakat, dan menyerahkan keputusannya kepada pasar. Andaikata diskusi itu berhasil memutuskan patokan harga langganan seperti pada saat Orde Baru, maka diskusi itu bisa dituduh melakukan praktek kartel, yang juga dilarang oleh UU no 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Perang harga ini pasti akan meminta korban media cetak dan juga media elektronik lebih banyak lagi, saat ini maupun nanti.
Permintaan kertas menurun
Dengan tutupnya koran-koran di negara Barat, muncul pertanyaan baru, siapa yang akan membeli kertas? Mungkin koran-koran Jepang masih hebat, tetapi masyarakatnya sudah mulai berubah ke online, lewat desktop, laptop, notebook, atau blackberry. Dalam waktu yang tidak terlalu lama permintaan kertas pun akan turun di Jepang. Kini tinggal dua raksasa dunia yang masih membutuhkan kertas dalam jumlah besar, yaitu India dan China. India sekarang sudah menjadi pemasok teknologi informasi dunia, dan China juga bergerak menyaingi perkembangan teknologi informasi di negara-negara Barat. Gerakan ini pada ujungnya akan mengurangi kebutuhan akan kertas.
Lalu siapa yang membeli kertas di dunia? Dalam 5 tahun ke depan, Indonesia akan salah satu negara yang masih membeli kertas dan itupun tidak terlalu banyak juga. Dengan demikian permintaan kertas di dunia, pelan tetapi pasti, terus menurun. Jika suplai kertas masih sama seperti saat ini, maka sesuai dengan hukum ekonomi suplai and demand, harga kertas ini akan terus turun. Kecuali pabrik-pabrik kertas dunia mengurangi produksi. Kalau pabrik kertas mengurangi produksi, maka bahan baku untuk kertas tidak ada yang menyerap, dan dampaknya harga baku itu akan turun harganya juga. Apalagi ditambah dengan turunnya harga minyak dunia, maka mau tidak mau harga kertas akan terus turun dalam satu atau dua tahun ini.
Jika benar harga kertas di Indonesia terus turun, maka kerugian di bidang sirkulasi dalam industri koran akan berkurang. Jika harga kertas turun terus, maka pada waktunya koran-koran kecil akan mampu memperoleh sedikit margin dalam sirkulasi, dan hal ini akan membuat peluang bagi industri koran untuk mempertahankan hidupnya, sambil menata model bisnisnya, yang bisa mengantarkan media cetak hidup lebih lama lagi.
Majalah mungkin lebih tenang
Berbeda dengan persaingan antar koran, persaingan dalam bisnis majalah dan tabloid agak lebih longgar, karena hampir setiap majalah di Indonesia dijual di atas harga pokok penjualan. Jadi penjualan majalah masih memperoleh margin tiap eksemplarnya. Semakin banyak majalah yang laku di pasar, semakin baik, karena semakin banyak keuntungan yang diperoleh dari sisi sirkulasi.
Di sisi produksi, majalah juga punya kelonggaran untuk menyajikan produk yang lebih menarik, baik dalam cetakan maupun penggunaan bahasa yang lebih indah. Dengan produk yang berkualitas tinggi dilihat dari sisi cetakan maupun jurnalisme, maka majalah mempunyai peluang hidup lebih panjang daripada koran. Bahkan majalah tidak perlu khawatir dengan invasi media online.
Satu-satunya arena peperangan antar majalah adalah perang harga dalam iklan. Namun ini sudah diantisipasi oleh para pengelola media dengan cara differensiasi produk yang menyasar segmen pasar yang sangat khusus. Dengan menciptakan produk yang unik dan segmen pasar khusus, maka pendapatan iklan dari tiap majalah tidak akan terganggu.
Kedigdayaan bisnis majalah ini dibuktikan dengan kenaikan harga eceran majalah di Indonesia, yang disertai dengan kenaikan harga iklan. Bisnis majalah tidak gentar menghadapi krisis ekonomi yang melanda dunia.***
Muhammad Ridlo ‘Eisy adalah Ketua Harian Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat, Direktur PT Galamedia Bandung Perkasa yang menerbitkan Harian Umum Galamedia di Bandung.
buka contoh marketing : http://desykakashi.blogspot.co.id/2012/10/masa-depan-media-cetak.html
No comments:
Post a Comment