Kelas Menengah Muslim (1): “Berubahnya Lanskap Pemasaran”
Kelas Menengah Muslim (1): “Berubahnya Lanskap Pemasaran” |
Strategi jualan ke kelas menengah Muslim? Makin kaya, makin spiritual. Ini satu ciri khas kelas menengah Muslim Indonesia. Pakar marketing Yuswohadi menilai, lanskap pemasaran di Indonesia telah berubah.
Fokus “Kelas Menengah Muslim”:
Kelas Menengah Muslim (1): “Berubahnya Lanskap Pemasaran”
Kelas Menengah Muslim (2): Trendy, Educated, Affordable, Spiritual
Kelas Menengah Muslim (3): Produk Bernilai, tidak Sekadar Berlabel Syariah
Buku “Memasarkan ke Kelas Menengah Muslim” akan Diluncurkan Habis Lebaran
kelas menengah muslim
PPM Booktalk: “Marketing do Middle Class Moslem” di PPM Menteng, Jakarta (11/7). Foto: Ibrahim Aji
“Jokowi adalah kita”, dalam pandangan pakar marketing Yuswohadi, slogan itu sangat tepat digunakan oleh tim sukses calon presiden Jokowi-Jusuf Kalla pada Pemilu Presiden 2014. “Karena Jokowi itu ya seperti kita-kita ini”, kata Yuswohadi. Kesederhanaan Jokowi, bahwa ia terlahir dari golongan masyarakat biasa, dan tidak canggungnya Jokowi membaur dengan masyarakat melalui kegiatan blusukan, ini diabstraksi dalam “Jokowi adalah Kita”. Dalam ilmu pemasaran, menurut Yuswohadi pendekatan emosional digunakan untuk menumbuhkan citra Jokowi adalah representasi rakyatnya.
Namun, di masa kampanye yang seru, sempat Jokowi dicitrakan tidak begitu Islami. Kampanye dari kubu lawannya berembus mengenai keraguan akan kemampuan Jokowi menjadi imam shalat berjamaah. Jokowi yang berasal dari keturunan bukan Muslim, bahkan di detik-detik terakhir kampanye sempat beredar foto Jokowi sedang umrah, memakai baju ihram secara salah. Tim sukses Jokowi pun menjawab dengan menampilkan foto-foto Jokowi sedang didoakan oleh Imam Masjidil Haram, Mekkah. Seakan mau membuktikan spiritualitas Jokowi dan dukungan ulama salah satu mesjid paling penting dalam Islam.
Sulit dipungkiri, pasar Muslim umumnya dan kelas menengah Muslim khususnya, memang amat penting di Indonesia. Oleh karenanya, tak heran jika kampanye politik sangat memperhatikan preferensi pasar Muslim. Bahkan, di tengah bangkitnya peradaban Islam di Indonesia, “Sentimen benci bisa muncul. Di Indonesia, ketika sebuah brand tidak comply dengan syariah”, kata Yuswohadi dalam PPm Booktalk: “Marketing to the Middle Class Moslem” karya Yuswohady yang diadakan oleh Komunitas Memberi @memberiID bersama PPM School of Management (11/7).
kelas-menengah-muslim
Buku ini akan dlluncurkan habis lebaran 2014.
“Kalau mayoritas sudah comply dengan Islamic values, sebuah brand akan dibenci kalau dia tidak comply. Hati-hati dengan ini, bagi pemilik brand”
Bertumbuhnya nilai spiritual di kelas menengah Muslim ibarat wabah. Yuswohadi memprediksi, ketika spiritual dan etis menjadi nilai yang wajib bagi brand di semua kategori dan industri, “Kalau mayoritas sudah comply dengan Islamic values, sebuah brand akan dibenci kalau dia tidak comply. Hati-hati dengan ini, bagi pemilik brand”, kata Yuswohadi.
The Wardah Effect
Tanda-tanda ke sana sudah terlihat, Yuswohadi menyontohkan yang terjadi pada industri kosmetika. Di era 80-an kosmetika halal bukanlah preferensi penting bagi kaum perempuan, namun pada era ’90-an pasar ini mulai berubah. “Kosmetik halal. The Wardah effect. Tiba-tiba Wardah mengambil pasar kosmetik konvensional”, kata Yuswohadi menyimpulkan perubahan yang terjadi ketika Wardah mulai berani tampil di pasar menawarkan kosmetik halal.
Direktur Marketing Sari Ayu Marta Tilaar, Samuel Pranata mengakui perubahan lanskap ini sempat membuat pihaknya sebagai pemimpin pasar kosmetik asli Indonesia waspada. Ia mengisahkan, sebenarnya sebelum Wardah menyeruak di pertengahan ’90-an, pihaknya sebenarnya telah memiliki merk khusus pasar Muslim, Amalia. “Martha Tilaar dulu punya brand untuk Muslim, Amalia namanya, kalau masih ingat brand ambassadornya itu dulu Neno Warisman”, kata Samuel mengisahkan. Namun, sulit dipungkiri, Wardah lebih agresif berpromosi khususnya ke kelas menengah Muslim. Samuel mengisahkan, sempat pihaknya ditawari untuk menjadi sponsor film Ayat-Ayat Cinta. Namun pihaknya tidak begitu tertarik. Pada saat yang sama, kemitraan juga ditawarkan kepada Wardah oleh pihak rumah produksi film tersebut. Wardah menyambutnya, dan kebetulan film itu booming.
Meski begitu, Sari Ayu Martha Tilaar telah menyiapkan kosmetika khusus perempuan kelas menengah Muslim dengan positioning agak berbeda dengan Wardah, agar tidak terlalu head to head. “Kami memang harus melihat perubahan di pasar. Kami melihat hijabers sedang booming. Jika Wardah banyak di wajah, ternyata untuk rambut belum ada produk yang khusus untuk orang yang berhijab. Kami pun kini memiliki Hijab Series Samphoo. Banyak rambut hijabers rontok, lembab, lepek, beruban, nah kami langsung melakukan riset, lalu kami keluarkan Hijab Series Shampoo ini. Di produk ini ada samponya, conditioner, dan pernisnya”, kata Samuel menjelaskan.
Pasar kelas menengah Muslim ditanggapi serius oleh Sari Ayu Martha Tilaar. Salah satu cara menggapai pasar Muslim adalah dengan memiliki sertifikat halal untuk tiap produk yang dijual. “Dari beberapa ratus produk kami, hampir semuanya mendapat sertifikat halal”, kata Samuel menegaskan.
Yuswohadi mengulas tentang Wardah secara khusus di bukunya ini. Menurutnya kosmetika halal menjad tren kini, khususnya di kalangan kelas menengah Muslim. Bahkan, menghasilkan istilah “The wardah effect”,
kelas menengah muslim
Salah satu iklan Wardah di dunia maya. Foto: PT PTI (Wardah Cosmetics)
“Tiba-tiba Wardah mengambil pasar kosmetik konvensional”, kata Yuswohadi.
Berubahnya lanskap pemasaran di Indonesia, sebenarnya dapat digunakan oleh pemain-pemain baru untuk menjadi pesaing pemain lama. “Lanskap pemasaran berubah luar biasa di Indonesia, saat pasar bergerak, pemain kecil bisa masuk dan menjadi besar di saat seperti ini”, kata Yuswohadi, lagi-lagi menyontohkan Wardah.
Berubahnya Rumus Customer Value
Perubahan lanskap yang menambahkan parameter baru dalam rumus Customer Value. Customer value didefinisikan sebagai manfaat-manfaat didapatkan oleh konsumen (benefits) dibandingkan dengan biaya-biaya yang ia keluarkan (costs). Customer value akan tinggi jika sebuah merek memberikan manfaat yang tinggi dengan biaya yang rendah.
“Selama ini customer value hanya mengandung dua elemen, yaitu manfaat fungsional (functional benefits) dan manfaat emosional (emotional benefits), kini ditambah lagi dengan manfaat spiritual (spiritual benefits). Spiritual benefits adalah ketika konsumen mendapatkan ketenteraman jiwa ketika membeli sebuah produk halal. Selama ini produsen hanya peduli pada emosional dan functional benefit. Formula baru ini akan mengubah cara pandang kita, khususnya kepada kelas menengah Muslim”, kata Yuswohadi.
buka contoh marketing : http://mysharing.co/kelas-menengah-muslim-1/
No comments:
Post a Comment