BAB 7 KETERKAITAN ANTARA GRAMMAR DAN PRAGMATIK
BAB 7 KETERKAITAN ANTARA GRAMMAR DAN PRAGMATIK |
arti kata kata pada iklan wafer tango - Dalam pembahasan pada bab 7 ini tujuan utama kami adalah menyajikan berbagai macam konsep tingkat keterkaitan antara semantik dan pragmatik dari ‘apa yang dikatakan.’ Pertama-tama kami memperkenalkan berbagai persoalan yang ada ketika menentukan representasi makna tingkat dasar (pokok bahasan 7.1), dan kemudian membahas empat usulan tentang bagaimana caranya membatasi konsepnya (pokok bahasan 7.2 – 7.6). Kami mengulangi untuk menguraikan kesimpulan-kesimpulan utama yang dibahas dalam buku ini pada pokok bahasan 7.7, dengan memberikan uraian singkat tentang kemungkinan bahwa ‘apa yang dikatakan’ itu bukan hanya penting bagi keterkaitan antara grammar dan pragmatik selama interaksi berlangsung, tetapi juga dalam proses perjalanan pragmatik menjadi grammar.
7.1 Lebarnya kesenjangan antara ‘apa yang dikatakan’ dan makna tingkat
Dasar
Idealnya, sebagai tataran makna dasar, ‘apa yang dikatakan’ harus mewakili (i) proposisi kebenaran yang bisa dievaluasi secara menyeluruh, makna dasar yang dimaksudkan penutur, yang juga merupakan (ii) makna yang diujarkan secara eksplisit. Implikatur konvensional, kendati bersifat konvensional, bukanlah bagian dari ‘apa yang dikatakan,’ karena tidak bersifat eksplisit atau bukan merupakan kondisi kebenaran (tetapi simak pokok bahasan 7.5 di bawah). Namun demikian, Grice pun menyadari bahwa, sejak awal, gagasannya tentang ‘apa yang dikatakan’ itu tidak bisa disamakan dengan makna linguistik yang murni. Itulah sebabnya mengapa dia mengusulkan agar gagasan ‘apa yang dikatakan’ “erat kaitannya dengan makna konvensional kata (kalimat)” (Grice, 1989: 25, cetak tebal sebagai penekanan). Kesenjangan antara makna semantik dasar dan ‘apa yang dikatakan’ dianggap sangat minimal pada waktu itu, karena disebabkan oleh dua tipe ujaran yang menuntut dukungan kontekstual: (i) ungkapan non harfiah (misalnya metafora dan ironi, karena penutur memaksudkan sesuatu yang sangat berbeda dari makna semantik yang harfiah), dan (ii) ungkapan pengacu yang rujukannya perlu ditetapkan dalam konteks, dan ungkapan taksa, karena harus diambil pilihan tentang pengertian yang sesuai dengan konteks yang dimaksudkan dalam kasus khusus tersebut. Pada prinsipnya, bilamana ada kesenjangan antara makna linguistik yang eksplisit dan makna yang dimaksudkan, kita bisa memilih apa yang sekiranya dimasukkan atau dikeluarkan pada ‘apa yang dimaksudkan’ dari ‘apa yang dikatakan.’ Dengan kata lain, pembatasan konsep bisa diperluas sehingga mencerminkan aspek ‘apa yang dimaksudkan’ dengan resiko tidak setia terhadap ‘apa yang murni diekspresikan secara gramatikal’, atau mungkin patuh terhadap ‘apa yang dikatakan secara eksplisit,’ dengan mengabaikan beberapa aspek ‘apa yang dimaksudkan.’ Dengan demikian, ‘apa yang dikatakan’ bisa mencakup kandungan yang implisit, atau meniadakan beberapa aspek ‘apa yang dimaksudkan.’
Mengenai bahasa kiasan, Grice memilih “jalur keluar” (excluding line), sehingga dalam hal ini makna yang dimaksudkan tidak termasuk pada ‘apa yang dikatakan.’ Perhatikan hiperbola berikut:
(1) (Konteks: M: Tujuh ratus tiga puluh sheqel per pasang)
A: bli kesef.
without money
‘They’re giving it away.’
Mereka memberikan uang itu. (Hebrew, Izre’el, 2002)
Seolah-olah A tidak sedang mengatakan bahwa 730 sheqels sama dengan ‘uang kosong.’ Secara harfiah, yang dia maksudkan bukanlah ‘tanpa uang’ sama sekali. Yang ingin dia sampaikan adalah bahwa membayar 730 sheqel per pasang (selama menginap empat hari di sebuah hotel) itu sangat murah. Dia membesar-besarkan reaksinya agar bisa mengkomunikasikan betapa besarnya sewa hotel itu. Interpretasi disimpulkan secara non literal dianggap melibatkan implikatur percakapan, dan dengan demikian, tidak termasuk dalam pada apa yang dikatakan.’ Dengan demikian, berkenaan dengan masalah yang pertama (nonliterality), Grice memilih solusi “pengeluaran” : apa yang dimaksudkan dalam kasus semacam ini (interpretasi bukan harfiah) dikeluarkan dari ‘apa yang dikatakan,’ karena interpretasi tersebut sifatnya tidak eksplisit.
Tetapi berkenaan dengan isu yang kedua (ketergantungan kontekstual akan acuan dan pemecahan terhdap ketaksaan Grice memilih strategi inklusif, dengan tetap mempertahankan asumsi bahwa representasi semantik harus memberikan kondisi kebenaran yang dimaksudkan atas proposisi yang diungkapkan. Oleh karena itu, penentuan Grice tentang ‘apa yang dikatakan’ memungkinkan maknanya berbeda dengan makna semantik dasar dan mencakup acuan dan jalan keluar terhadap ketaksaan, yang didasarkan pada konteks ekstralinguistik. Namun demikian, asumsinya adalah bahwa konteks yang diperlukan dibatasi secara sempit, jumlah ungkapan yang menuntut dilakukannya penetapan konteks semacam ini agak kecil, dan pemrosesan yang terlibat sifatnya sangat mekanistis (algoritmik). Yang paling penting, tidak perlu ada rujukan mengenai maksud penutur dalam penyelesaian ujaran. Bach (1994 dan seterusnya) mengusulkan “Syntactic Correlation Constraint” yang menentukan informasi yang diperoleh dari konteks mana yang sekiranya bisa ditambahkan pada makna semantik linguistik dan masih termasuk dalam konsep Grice ‘apa yang dikatakan’. Prinsip yang dijadikan tuntunan adalah bahwa penyelesaian yang diamanatkan oleh grammar harus ditambahkan pada ‘apa yang dikatakan,’ karena penyelesaian itu dibatasi oleh kesesuaian langsung antara unsur-unsur yang eksplisit (serta karakteristik gramatikalnya) dan unsur-unsur tambahan yang diinferensikan. Recanati (1989) juga membatasi sejumlah penyelesaian semacam ini dalam konsep saturasi. Berikut kami sajikan dua ujaran yang relevan (sebagian penyelesaian yang dibutuhkan diberikan dalam tanda kurung ganda (2)):
(2) a. ALINA: (Hx) She ((Lisabeth)) just goes,
I ((Lisabeth)) feel like you’ve ((Mar)) got a whole other world outside of us ((Lisabeth + others)),
like you ((Mar)) don’t even need us Mar,
and that you ((Mar)) have a whole other life.
LENORE (H)
ALINA: Mom ((Mar)) said I ((Mar)) do ((have a whole other life). (SBC: 006)
b. paam xashavti alayx dvarim raim.
once I.thought about:you things bad
hayom ((ani xoshev alayx dvarim)) harbe yoter raim
today ((I think about:you things)) much more bad
‘In the past I thought bad things about you. Today ((I think)) much worse (things about you)).’
‘Dulu saya menaruh penilaian yang buruk terhadap Anda. Sekarang (penilaian saya terhadap Anda) jauh lebih buruk lagi.’
(Hebrew, Izre’el, 2002)
Gagasannya adalah bahwa kata ganti, seperti she, I, dan you menuntut dilakukannya identifikasi, I do menuntut penemuan kembali VP, dan klausa yang terpisah dalam ujaran (2b) menuntut penemuan kembali beberapa argumen.
Perhatikan bahwa penyelesaian kontekstual semacam ini mengikuti apa yang disebut pembatasan prinsip arah linguistik terhadap ‘apa yang dikatakan’ (simak karya Carston, 1988; Recanati, 1993: bab 13). Di sini inferensi pragmatik dimasukkan ke dalam ‘apa yang dikatakan’ asalkan inferensi tersebut dipicu oleh grammar. Terlepas dari pengayaan kontekstual yang disertakan, itulah sebabnya mengapa justifikasi yang dikemukakan yang biasanya dikutip untuk ‘apa yang dikatakan’ adalah bahwa justifikasi tersebut mewakili bukan hanya makna dasar, tetapi terutama juga makna linguistik (atau semantik) (simak misalnya karya Bach, 1994, 2001; Berg, 2002; Horn, 2004; Saul, 2002). Berikut ini dikemukakan dua pernyataan yang sering kita dengar mengenai isu ini “ada kebutuhan teoritis mengenai suatu gagasan [‘apa yang dikatakan’ -MA] semacam ini untuk menjelaskan kandungan semantik sebuah ujaran yang tidak terikat dengan kenyataan bahwa ujaran tersebut benar-benar dibuat,’ ‘apa yang dikatakan itu ditentukan secara linguistik” (Bach, 2001: 28). Dengan kata lain, ‘apa yang dikatakan’ berupaya memenuhi dua kriteria: harus berupa makna linguistik secara murni, tetapi sekaligus, harus menduduki tingkat interpretatif dasar, yang minimal memberikan beberapa kondisi kebenaran untuk proposisi yang diungkapkan. Persoalannya adalah bahwa sekarang sudah jelas kalau kedua persyaratan ini tidak bisa dipenuhi sekaligus oleh satu tataran makna yang sama di banyak bukan beberapa hal. Banyak peneliti telah mencapai kesimpulan bahwa makna tingkat dasar semacam ini (juga) harus selalu bersifat pragmatik (Carston, 2004b; Recanati, 2001; Travis, 1991).
Banyak ahli pragmatik dan filsuf, terutama para ahli teori Relevansi (Carston, 1988 dan seterusnya, khususnya, 2002a; Sperber & Wilson, 1986/1995), menunjukkan kesenjangan yang sangat luas antara makna semantik linguistik, atau bahkan gagasan klasik ‘apa yang dikatakan’ yang sedikit lebih kaya serta proposisi yang bisa dievaluasi kebenarannya. Meskipun penetapan acuan dan penidaktaksaan telah sukses dilakukan, makna konvensional tidak berhasil memberikan kandungan deskriptif ujaran itu, seperti yang dipandang secara naluriah oleh lawan bicara. Dan kesenjangan ini tidak bisa dielakkan, karena sifat kode linguistiknya yang secara fundamental memang tidak tegas. Seringkali kode linguistik terlalu bersifat skematis agar bisa meng-enkode proposisi yang penuh. Asumsi bahwa makna semantik linguistik tidak memiliki ketegasan yang radikal terhadap interpretasi ujaran yang sesungguhnya secara umum, dan kondisi kebenaran pada khususnya, sekarang juga dipegang oleh para peneliti dalam bidang tersebut, meskipun solusi yang mereka hasilkan amat sangat berbeda tentang bagaimana caranya menjembatani kesenjangan ini. Perhatikan ujaran berikut, di mana material kontekstual yang diperlukan untuk menyelesaikan ujaran ditunjukkan dalam kurung:
(3) a. A:… That’s what I was coming to talk to you about. I hadn’t heard anything from Liz so I didn’t know
‘Itulah yang akan aku bicarakan kepadamu. Aku belum mendengar berita apapun dari Liz sehingga aku tidak tahu
B: but evidently she is better ((than she was))
tetapi sesungguhnya sekarang dia lebih baik ((daripada dulu))
A: Uh huh. (LSAC)
b. Would you like some cheese and crackers or something. Have you eaten anything ((recently today)). (LSAC)
Ingin makan keju atau cracker atau apa? Apa kau sudah makan sesuatu ((barusan hari ini)).
b. oh Michelle you know um … tt uh … I'm gonna be coming in … to some ((substantial amounts of)) money. (LSAC)
oh Michelle kau tahu … aku akan menghabiskan uang ((dalam jumlah yang sangat banyak)).
d. I just spent a thousand dollars when I got this job, or more, on clothing because I had nothing ((=no appropriate clothes)), I had jeans and tee shirts because I worked in a warehouse. (LSAC)
Aku baru menghabiskan uang seribu dolar ketika mendapatkan pekerjaan ini, atau lebih, untuk membeli pakaian karena aku tak punya apa-apa ((=tak punya pakaian yang cocok)), aku beli jeans dan T-shirt karena aku bekerja di gudang.
Dalam ujaran (3a), konstruksi komparatif ini mengharuskan agar mitra tutur menerima kembali obyek perbandingan. Tetapi perhatikan bahwa perbandingan implisit dalam hal ini adalah bagaimana keadaan Liz di masa lalu, bukan, misalnya, dengan bagaimana keadaan orang lain pada saat sekarang, meskipun perbandingan khusus tersebut tidak disebutkan secara eksplisit sebelum atau setelah ujaran B. Dengan demikian, inferensi ini sangat penting, meskipun diharuskan secara gramatikal. Selanjutnya, makna semantik linguistik dasar ‘present perfect tense’ (have eaten dalam ujaran (3b)) diasumsikan bahwa peristiwa makan tersebut terjadi pada suatu saat tertentu di masa lalu. Secara gramatikal ujaran (3b) ini bisa berarti sesuatu seperti ‘have you ever eaten anything in your life?’ (Pernahkah Anda makan sesuatu selama hidup Anda?) Secara gramatikal ujaran (3c) berarti ‘penutur telah hampir kehabisan uang,’ pada dasarnya, termasuk uang dalam jumlah yang sedikit. Jelasnya, bukan makna seperti ini yang dimaksudkan oleh penutur di sini. Dalam ujaran (3d) yang dimaksudkan penutur adalah bahwa dia tidak memiliki pakaian yang sesuai, bukan dia tidak memiliki barang apapun (meskipun ini merupakan makna semantik linguistik dari kata nothing).
Agar bisa membuktikan kebenaran keadaan yang sebenarnya untuk memenuhi proposisi dalam ujaran (3), kita harus memperkaya makna semantik dengan versi penyelesaian tertentu yang diberikan dalam ujaran (3). Yang penting, ujaran (3b – d) tidak membebankan penyelesaian di atas secara gramatikal. Lagi pula, versi yang tidak mengalami pengayaan (misalnya ‘I had nothing whatsoever’ (Saya tak punya apa-apa) benar-benar bisa dibuktikan kebenarannya. Dengan kata lain, ujaran tersebut bahkan tidak menuntut penyelesaian yang disediakan bagi mereka agar bisa memenuhi kemungkinan pembatasan kedua bagi bentuk minimalis ‘apa yang dikatakan’, yakni ‘prinsip pembuktian kebenaran minimal,’ yang menyatakan bahwa inferensi pragmatik dimasukkan pada ‘apa yang dikatakan,’ jika inferensi tersebut diperlukan agar bisa sampai pada proposisi pembuktian kebenaran minimal (Carston, 1988; Recanati, 1993: bab 13). Ujaran (3b – d) menunjukkan bahwa proposisi minimal bisa dibuktikan (dievaluasi) kebenarannya, meskipun mereka bukan proposisi yang diekspresikan oleh ujaran-ujaran tersebut (yakni, proposisi tersebut bukan yang dimaksudkan oleh penutur).
Menurut Carston (2002a: bab 1, dan simak acuan-acuan yang ada di dalamnya), bukan soal kepraktisan (efisiensi pemproduksian) saja yang menyebabkan kode linguistik kurang tegas terhadap ‘apa yang dimaksudkan.’ Kekurangtegasan merupakan ciri khas yang selalu ada dalam bahasa manusia, karena tidak ada satu pun kalimat bahasa alami yang bisa meng-enkode pernyataan yang sepenuhnya sebagaimana yang dimaksudkan oleh lawan bicara. Setiap kalimat terus digunakan untuk mengungkapkan sangat banyak proposisi yang berbeda, dengan berbagai kondisi kebenaran yang berbeda, seperti yang dibuktikan oleh ujaran-ujaran berikut:
(4) a yesh anashim she=ohavim kubiyot ba=beten ve=yesh
There.are people who=like.PL cubes in.the=stomach and=there.are
anashim she=ohaim kubiyot ba=-beten.
People who=like.PL cubes in.the=stomach
‘There are people who like squares ((six-pack muscles)) on their stomach,
and there are people who like squares ((of wafers)) inside their stomach,
Ada orang-orang yang menyukai persegi ((enam otot persegi)) pada perut mereka.
dan ada orang-orang yang menyukai persegi ((wafer)) dalam perut mereka.
b. ha=manhiga ha=yexida im kubiyot ba=beten. hacha para
the=leader.F the=single.F with kubes in.the=stomach. Vote cow
And for a chocolate whose symbol is a cow, which figures on its wrapping.
just before Israeli elections: ‘The only ((political)) leader with ((chocolate))
squares ((stored)) in her stomach. Vote cow.’
Dan untuk coklat dengan simbol coklat pada bungkusnya, tepat sebelum Pemilu Israel: ‘Satu-satunya pemimpin ((politik)) dengan kotak ((coklat)) ((yang tersimpan)) dalam perutnya. Pilihlah (gambar) sapi.’ (Maret 2006).
c. PELANGGAN: I'd like another cup.
Saya mau satu mangkok lagi
((Pelayan di kedai kopi menyerahkan sebuah mangkok kertas kosong kepada pelanggan.))
PELANGGAN: No, another cup of chocolate milk.
Bukan, satu mangkok susu coklat lagi.
(Originally Hebrew, 29 Oktober, 2002)
Meskipun kubiyot ba-beten ‘cubes in the stomach’ dipahami dalam tiga cara yang berbeda dalam ujaran (4a, b), kata Yahudi kubiyot ‘cubes’, ba- ‘in the,’ atau beten ‘stomach’ tidak mengandung ketaksaan. Malahan, menurut Recanati (2001), bahasa menyajikan banyak kasus ketidakpastian konstruksi (ujaran yang dia gunakan adalah red pen: apakah yang dimaksudkan adalah warna merah pada sisi luarnya, atau apakah warna tintanya?). Another cup juga tidak taksa antara ‘another empty cup’ (satu mangkok kosong lagi) dan ‘another cup with chocolate milk in it’ (satu mangkok dengan susu coklat di dalamnya). Bahkan, ujaran pertama sang pelanggan dalam ujaran ujaran (4c) dapat digunakan untuk mengungkapkan proposisi mereka. Carston berpendapat bahwa bahasa alami berkembang berdasarkan kemampuan inferensial “membaca pikiran” yang sangat kuat (yang dia jelaskan dengan mengacu pada teori Relevansi), dan oleh karena itu tidak perlu mengembangkan kode yang eksplisit untuk masing-masing pesan. Tentu saja, meskipun sebenarnya kita memiliki kode semacam ini, itu tidak akan memecahkan persoalan, karena kita terus-menerus mempunyai berbagai pesan baru untuk dikomunikasikan, yang, sebagaimana telah kita lihat dalam bagian II, kita tidak mempunyai pilihan selain mengungkapkannya dengan sarana gramatikal yang bisa kita manfaatkan.
Persoalan dasar tersebut seperti ini: ‘apa yang dikatakan’ tidak bisa bersifat minimal dalam pengertian bahwa gagasan ini mengharuskan adanya pengayaan konteks yang minimal dan remeh saja, yang secara gramatikal juga merupakan keharusan (sesuai dengan prinsip arah linguistiknya), dan sekaligus juga mencerminkan kandungan intuitif kondisi kebenaran ujaran tersebut seperti yang dimaksudkan oleh penutur, karena kandungan ujaran ini menuntut lebih dari apa yang diperlukan oleh kriteria minimal untuk pembuktian kebenaran. Kondisi kebenaran naluriah dari proposisi yang dimaksudkan bisa mengharuskan representasi nonminimal. Dengan demikian, jika minimal, syarat ini tidak bisa menjadi kandungan intuitif yang “resmi” dalam ujaran penutur pada saat tertentu. Sebaliknya, jika kondisi kebenaran ini kaya akan konteks sehingga selalu mencerminkan proposisi yang terutama bisa dibuktikan kebenarannya, maka akan selalu mengandalkan pada asumsi kontekstual khusus, yang membuatnya agar menjadi maksimal. Tampaknya kita berada dalam keadaan yang sulit.
Lagi pula, sebagaimana yang dikatakan oleh Levinson (2000b: bab 3), kenyataan bahwa ‘apa yang dikatakan’ sebagian diperoleh secara pragmatik menyebabkan apa yang dia sebut “lingkaran Grice” (Grice’s circle) . Seperti halnya pendapat Grice, jika kita terlebih dahulu menentukan ‘apa yang dikatakan,’ dan hanya kemudian kita bisa mendapatkan inferensi pragmatik tambahan (implikatur), berdasarkan makna semantiknya, maka kita telah terperangkap dalam sebuah lingkaran setan. Di satu sisi, kita membutuhkan ‘apa yang dikatakan’ agar bisa menentukan inferensi pragmatik, tetapi di sisi yang lain, kita memerlukan inferensi pragmatik agar bisa menentukan ‘apa yang dikatakan’ (simak lagi ujaran (2) – (4)). Jadi, mana yang datang duluan?
Dalam solusinya (yang parsial) terhadap persoalan ini, pendapat Levinson (2000b) sangat “mirip dengan Grice.” Dia menambahkan satu lagi rumpun interpretasi pragmatik pada daftar interpretasi yang diperbolehkan untuk melaksanakan ‘apa yang dikatakan.’ Di samping kemampuan untuk menemukan kembali konstituen yang dihapuskan secara gramatikal, dan acuan serta jalan keluar terhadap ketaksaan, dia memberikan kesempatan kepada implikatur tertentu, tetapi bukan implikatur lainnya, untuk membentuk bagian dari ‘apa yang dikatakan.’ Hanya implikatur percakapan yang telah digeneralisasi saja yang bisa menentukan kondisi kebenaran proposisi yang diungkapkan. Perhatikan ujaran dalam ujaran (44) pada bab 3, dan juga ujaran berikut:
(5) Many of them know it [Koran – MA), most or all of it, by heart…
Banyak orang mengetahuinya [Alquran – MA], sebagian besar atau semuanya, secara hafalan
(Originally Hebrew, The Islamic Museum, Jerusalem, Desember, 2003)
Karena, bagi Levinson, most (sebagian besar) berarti ‘more than half’ (lebih dari separoh), implikatur percakapan ‘not all’ yang digeneralisikan harus digabungkan ke dalam ‘apa yang dikatakan’ di sini, jika tidak, maka tidak akan ada dua alternatif yang terpisah dalam disjungsi dalam ujaran (5). Logika yang ada di balik pemberian hak istimewa hanya terhadap implikatur percakapan yang digeneralisasi saja dalam memberikan kontribusi terhadap ‘apa yang dikatakan’ adalah bahwa inferensi ini merpakan inferensi yang batal, yang berlangsung tanpa memperhatikan konteksnya (meskipun inferensi itu dibatalkan oleh konteks yang khusus). Dalam pengertian ini, secara kualitatif inferensi-inferensi ini berbeda dari inferensi pragmatik lainnya (yakni implikatur percakapan yang dikhususkan).
Namun demikian, meskipun secara lahiriah masuk akal dan menarik, usulan ini sebenarnya tidak bisa memecahkan persoalan tersebut. Pertama, Levinson sendiri memberikan beberapa ujaran tempat implikatur percakapan yang dikhususkan, dan bukan hanya implikatur percakapan yang digeneralisasikan, memberikan kontribusi kepada aspek kondisi kebenaran atas interpretasi ujaran (simak pembahasannya dalam bagian pokok bahasan.511). Kedua, sebagaimana yang dijelaskan oleh Carston (2004a), tidak semua implikatur percakapan yang digeneralisasikan itu memberikan kontribusi kondisi kebenaran. Tampaknya, membatasi “pengacauan” pragmatik ke dalam ‘apa yang dikatakan’ terhadap implikatur percakapan yang digeneralisasikan, di satu pihak, terlalu membatasi, dan, di pihak yang lain, tidak cukup membatasi. Kemudian kita diwarisi persoalan mengenai seberapa bebaskah kita dalam mengakui inferensi pragmatik ke dalam konsep kita tentang ‘apa yang dikatakan.’
Ada empat jenis jalan keluar bagi persoalan tentang luasnya kesenjangan antara makna semantik linguistik dan ‘apa yang dikatakan.’ Menurut pandangan yang menonjol dalam literatur, ‘apa yang dikatakan’ bisa dibatasi secara minimal atau secara maksimal. Pembatasan ini tidak bisa dilakukan secara minimal dan maksimal sekaligus. Dengan demikian, sebagian besar peneliti telah memilih konsep minimalis ‘apa yang dikatakan’ (misalnya Berg, 1993, 2002; Borg, 2005a; simak pokok bahasan 7.2), atau konsep maksimalis ‘apa yang dikatakan’ (Recanati, 1989 dan seterusnya, dan para ahli teori Relevansi yang utama – Sperber & Wilson, 1986/1955 dan seterusnya; simak pokok bahasan 7.3). Banyak ahli semantik formal (misalnya Barwise & Perry, 1983; Kadmon, 2001; Kamp, 1995; Landman, 2000) sebenarnya juga telah mengadopsi pendapat ini, karena mereka melihat semantik bertanggungjawab atas penyediaan semua kondisi kebenaran, termasuk kondisi kebenaran yang diperoleh secara pragmatik. Pendekatan ketiga (Stanley, 2000) sebenarnya menolak pandangan bahwa terjadi konflik semacam ini antara konsep minimalis dan konsep intuitif maksimalis ‘apa yang dikatakan,’ dengan menegaskan bahwa ‘apa yang dikatakan’ bisa berorientasi minimalis sekaligus maksimalis (pokok bahasan 7.4). Pokok bahasan 7.5 menyajikan dilema kasus karena konsep minimalis ‘apa yang dikatakan’ pun terlalu berorientasi maksimalis. Pilihan tipe keempat untuk keluar dari kesulitan ini adalah menyerah pada asumsi bahwa hanya ada satu ‘makna tataran dasar’ (Ariel, 2002a, 2002b; Bach, 1994; simak pokok bahasan 7.6). Di bawah pandangan sinkretik (sebagaimana yang disebut Recanati, 2001) kita bisa menganut konsep minimalis dan maksimal ‘apa yang dikatakan’ sekaligus, yang masing-masing memiliki fungsinya sendiri yang berbeda.
Di bawah ini kita secara singkat menyigi berbagai macam pendapat tentang bagaimana caranya membatasi ‘apa yang dikatakan’ secara optimal, yang masing-masing menggambarkan versi salah satu dari keempat jalan keluar yang dijelaskan secara singkat di atas untuk mengatasi konflik antara konsep minimalis dan maksimalis. Masing-masing tataran makna yang dibatasi harus dievaluasi bukan hanya menurut seberapa besar kemungkinan tataran makna ini bertalian logis secara internal dan lain sebagainya, tetapi juga menurut bagaimana tataran makna ini mengalami kemajuan sebagai arena yang potensial bagi kesalinghubungan antara grammar dan pragmatik. Sebagaimana yang telah diketahui, setiap konsep yang diusulkan harus dibuktikan terkait dengan interpretasi lawan bicara yang sebenarnya ketika terlibat dalam wacana alami, sekaligus jalur-jalur gramatisisasi yang telah dibuktikan kebenarannya. Ingat bahwa perubahan linguistik sering membuat inferensi pragmatik menjadi gramatikal, sehingga tingkat kesalinghubungan antara grammar dan pragmatik harus dilibatkan dalam proses semacam ini.
7.2 Konsep minimalis ‘apa yang dikatakan’
Kami memulai pembahasan di sini dengan konsep minimalis ‘apa yang dikatakan.’ Salmon (1991), Berg (1993, 2002), Bach (1994), dan Borg (2005a) di antaranya merupakan ahli yang memberikan argumen mengenai kepatuhan yang keras terhadap pendirian minimalis mengenai ‘apa yang dikatakan’ (Berg memandangnya sebagai ‘semantik yang kaku’). Tataran makna minimal mungkin hanya diperkaya oleh inferensi kontekstual asalkan inferensi ini (i) mendapat mandat gramatikal, (ii) isinya diberikan langsung oleh penerapan kaidah gramatikal pada konteks, dan (iii) konteks yang relevan terdiri atas parameter kontekstual yang permanen, seperti identitas partisipan, waktu dan tempat interaksi, dan lain sebagainya. Sesungguhnya, Berg (kontak pribadi.) mengetengahkan pandangan yang cukup sempit: penyelesaian yang dilakukan secara pragmatik dianggap sebagai bagian dari makna semantik yang kaku hanya jika memiliki interpretasi yang ditentukan secara unik dan gramatikal (seperti dalam penghapusan di bawah identitas). Jadi, penyelesaian dalam ujaran (3a) pun tidak bisa membentuk bagian dari ‘apa yang dikatakan’ bagi dirinya. Oleh karena itu para peneliti merasa puas dengan ‘apa yang dikatakan’ yang hanya penuh dengan unsur-unsur yang ditetapkan secara gramatikal, tidak taksa, dan (sebagian) inferensinya sudah pasti (hanya beberapa inferensi yang tidak menuntut acuan pada maksud penutur). Konsep yang bersifat kaku ini sebenarnya bahkan lebih membatasi dibandingkan konsep Grice ‘apa yang dikatakan’ yang asli, yang menyertakan semua resolusi acuan. Bagi sebagian ahli (utamanya Bach, 1994) konsep ‘apa yang dikatakan’ tidak perlu menjadi proposisi yang lengkap, dan dengan demikian tidak (selalu) menyediakan proposisi yang bisa dievaluasi kebenarannya.
Para peneliti yang disebutkan di sini bersedia “mempertaruhkan apapun” atas pilihan mereka terhadap definisi minimalis semacam ini. Mereka benar-benar mengakui bahwa konsep ‘apa yang dikatakan’ ini bukan merupakan representasi yang memainkan peranan aktif dalam wacana yang sebenarnya: sesungguhnya konsep ini tidak perlu dikomunikasikan. Sebagai ujaran, bagaimana jika mitra tutur A mengetahui bahwa hanya ada sedikit susu di atas rak bawah kulkas itu?:
(6) A: Um, I've got tea here, and there’s sugar in that uh Indian looking thing,
and there’s milk in the fridge for (LSAC)
Em, aku punya teh, dan ada gula dalam wadah yang penampilannya khas Indian itu, dan ada susu dalam kulkas (LSAC)
Menurut analisis Berg, ujaran A menurut semantik yang ‘kaku’ dianggap benar, meskipun secara pragmatik tentu menyesatkan. Berg jelas tidak mematuhi konsep ‘apa yang dikatakan’ yang mencerminkan evaluasi kebenaran intuitif kita (yang menurut evaluasi ini apa yang dikatakan A bisa dianggap salah). Sesungguhnya, Berg berpendapat bahwa penutur tidak punya intuisi tentang konsep ‘apa yang dikatakan’ yang bersifat teknis: “penutur yang kompeten tidak selalu mengetahui apa yang sedang dikatakannya” (2002: 354). Bach (2002) juga berpendapat bahwa intuisi kita bukan tentang ‘apa yang dikatakan.’
Perhatikan kasus berikut, yang memperlihatkan perbedaan yang jelas antara kondisi kebenaran konsep minimalis ‘apa yang dikatakan’ dan kondisi kebenaran intuitif dari proposisi yang diungkapkan:
(7) MOM: Do you need money?
Kau perlu uang?
IDDO: No, I have money
Tidak, sudah punya sendiri
MOM: Where from?
Dari mana?
IDDO: Dad gave me money to eat lunch at the Weitzman Center, and
I didn’t go in the end.
Ayah memberiku uang untuk makan siang di Weitzman Center,
dan akhirnya aku tidak pergi ke sana.
MOM: ((Laughing)) You did go, but you didn’t pay
((tertawa)) Sebenarnya kau ke sana, tetapi tidak membayar.
(Originally, Hebrew, 19 Desember, 2003)
Ujaran (7) memperlihatkan kesenjangan antara kondisi kebenaran konsep ‘apa yang dikatakanmin dan kondisi kebenaran intuitif ujaran ‘apa yang dikatakanmax). Secara harfiah, jawaban Iddo I didn’t go in the end adalah salah. Yang benar adalah bahwa meskipun dia tidak pergi bersama teman-temannya untuk makan siang di Weitzman Center, dia pergi dan makan di sana bersama keluarganya. Biasanya, dia tidak harus membayar untuk makan siangnya waktu itu, itulah sebabnya mengapa dia masih punya uang. Dengan kata lain, Iddo berkata benar ketika dia mengatakan I didn’t go in the end jika apa yang dia anggap sebagai kebenaran yang bisa dibuktikan adalah proposisi yang diperkaya secara intuitif: ‘Ayah memberiku uang untuk makan siang di Weitzman Center ((bersama teman-teman)), dan akhirnya aku tidak pergi ((untuk makan siang di Weitzman Center bersama teman-temanku)).’ Perhatikan bahwa ibunya tertawa saja ketika dia membetulkan jawaban anaknya, dengan mengatakan Iddo benar-benar pergi. Sesungguhnya ibunya tidak menganggap pernyataan Iddo sebelumnya itu salah, karena apa yang dimaksudkan adalah konsep ‘apa yang dikatakan’ yang diperkaya, bukan yang minimalis. Bahkan, kenyataan bahwa dia benar-benar membetulkan ujaran anaknya membuktikan bahwa konsep minimalis ‘apa yang dikatakan’ memiliki status interaksi tertentu (pembahasan lebih banyak tentang masalah ini dalam pokok bahasan 7.6). Ujaran berikut juga menunjukkan peran penting konsep ‘apa yang dikatakanmin’ untuk menetapkan kondisi kebenaran ujaran:
(8) MS: There is a God!
Demi Tuhan!
MOM: What happened?
Ada apa?
MS: The scout’s mother who supposed to get her check back asked me
where it was a few days ago, and I told her that Y had it. And now,
I was responding with Y by SMS and she’s got the check!
Ibu si anak Pramuka yang tanda pengenalnya dikembalikan bertanya kepadaku di mana tanda pengenal beberapa hari yang lalu, dan saya memberitahunya bahwa Y telah mendapatkannya. Dan sekarang, saya sedang kirim SMS kepada Y bahwa dia sudah mendapatkan tanda pengenal itu!
MOM: So, it came out that you didn’t lie, sort of?
Jadi, terbukti bahwa kau tidak bohong, begitu kan?
(Originally Hebrew, 16 Desember, 2003)
Latar belakang untuk ujaran (8) adalah bahwa MS, sebagai ketua Pramuka, telah memberitahu ibunya bahwa dia telah kehilangan tanda pengenal yang sesuai, tetapi mengira bahwa mungkin dia masih menemukannya di suatu tempat dalam kamarnya yang berantakan itu. Dengan demikian, bagi MS dan ibunya, upaya MS untuk memberitahu ibu anak Pramuka itu bahwa Y (pimpinan MS) telah mendapatkan tanda pengenalnya adalah bohong (yang digunakan untuk memperoleh waktu untuk mencari tanda pengenal itu). Namun, anehnya, ternyata proposisi MS secara obyektif memang benar (dia pasti lupa bahwa dia telah menyerahkan tanda pengenal itu kepada Y, atau ibu anak Pramuka itu mungkin telah memberikan tanda pengenal itu langsung kepada Y). Perhatikan bahwa meskipun kedua lawan bicara itu merasa bahwa MS sebenarnya berbohong, karena secara obyektif ada kesesuaian yang sempurna antara pernyataannya dan kenyataan yang ada, ibu itu karena ingin melindungi diri mengatakan bahwa MS sama sekali tidak berbohong. Tampaknya hal ini memperkuat maksud tentang ‘apa yang dikatakanmin,’ meskipun tidak ada maksud penutur, karena memberikan kondisi kebenaran untuk proposisi yang diungkapkan. Horn (2007) memberikan pendapat yang sangat sama.
Borg (2005b) juga berpendapat bahwa sungguh tidak pada tempatnya bila dari semantik (yang dianggap memberikan makna kalimat) kita hanya menuntut representasi yang berupa pemahaman yang tepat secara intuitif terhadap kalimat (maksud penutur): proposisi yang diungkapkan tersebut tentu saja berbeda dari pemikiran yang bersangkutan. Proposisi ini memiliki sejumlah kondisi kebenaran, meskipun kondisi kebenaran ini mungkin merupakan kondisi kebenaran yang secara intuitif cocok untuk konteks yang ada (yang terakhir ini penting bagi pragmatik). Sesungguhnya, menurut Borg, kita tidak pernah bisa merasa yakin seberapa khusus kita perlu mengetengahkan ujaran penutur agar bisa membuat ujaran itu bisa dibuktikan kebenarannya. Kita juga harus membedakan antara memahami kondisi kebenaran suatu kalimat (tugas semantik) dan mengetahui bagaimana caranya menerapkan kondisi kebenaran ini agar bisa membuktikan kebenaran apakah syarat-syarat tersebut dipenuhi atau tidak pada kesempatan tertentu. Jelas hal yang terakhir ini berada di luar bidang semantik. Menurut Borg, semantik hanya menuntut suatu analisis kondisi kebenaran untuk kalimat, tidak selalu berupa analisis yang relevan untuk pembuktian kebenaran kalimat. Dengan demikian, ketika penutur berkata I will go to the store (Saya akan pergi ke toko) (Borg, 2005b: 249), tetapi akhirnya tidak jadi pergi pada waktu yang masuk akal, dengan mengatakan bahwa dia tidak pernah menetapkan waktu yang pasti kapan dia akan pergi, kita tidak melihat apa yang diucapkan bertolak belakang dengan dirinya sendiri. Berikut adalah ujaran yang relevan setelah dibuktikan kebenarannya:
(9) A: You can call me later
Kau bisa menelponku nanti
B: Wait a minute, what’s the time difference?
Sebentar, bagaimana perbedaan waktunya?
A: … It’s 10:30 p.m. here.
… Sekarang jam 10:30 malam di sini.
B: So, I can’t call you later.
Jadi, aku tidak bisa menelponmu nanti.
A: Well, I didn’t say later today. You can call me tomorrow.
Ya, aku tidak berkata nanti sekarang. Kau bisa menelponku besok.
(5 Maret, 2005)
Karena di sebagian besar ujaran, jika bukan dalam semuanya, ada kesenjangan antara ‘apa yang dikatakan’ secara harfiah dan apa yang dimaksudkan (Carston, 2002a: bab 2; Recanati, 2002a), usulan Borg tersebut sebenarnya mengubah sebagian besar ujaran menjadi ujaran yang tidak harfiah (simak karya Bach, 1994 asli). Dengan ujaran eksklusif Grice yang diadopsi tersebut, seringkali makna semantik yang tidak dimaksudkan berperan sebagai ‘apa yang dikatakan’ bagi dirinya, bukan makna inferensi yang dimaksudkan.
Ada dua pertanyaan tentang tataran makna minimalis ini. Yang pertama adalah apakah kita benar-benar menerangkannya. Dengan kata lain, apakah inferensi kontekstual yang sangat terbatas tersebut memungkinkan ktia bisa memperoleh ‘apa yang dikatakanmin’ yang benar-benar mampu memberikan representasi yang hendak ditetapkan oleh kalangan minimalis, termasuk fungsi yang mungkin harus dilakukan oleh representasi itu (yakni menghasilkan syarat-kondisi kebenaran untuk kalimat dalam kaitannya dengan konteksnya yang khusus)? Kedua, misalkan saja kita bisa menyusun konsep ‘apa yang dikatakanmin’ semacam ini, apakah masuk akal bila kita berasumsi bahwa lawan bicara melakukan upaya untuk menghasilkan kesalinghubungan antara grammar dan pragmatik semacam ini? Dengan kata lain, apakah secara psikologis tingkat ini nyata? Jawaban terhadap pertanyaan yang pertama ini tampaknya positif. Tetapi pertanyaan yang kedua menuntut jawaban yang sangat serius. Dengan demikian konsep yang ditentukan tersebut hampir selalu tidak mengandung alasan yang masuk akal.
Kita mulai dengan pertanyaan yang pertama. Carston (2002a) tidak melihat bagaimana konsep ‘apa yang dikatakanmin’ yang dibatasi tersebut bisa digambarkan dengan sebenarnya, karena penyelesaian kontekstual untuk produk yang dicari tidak berbeda karakternya dari produk-produk yang diperlukan untuk menciptakan konsep ‘apa yang dikatakanmax’. Demikian juga, menurut Recanati (1989 dan seterusnya), ‘apa yang dikatakanmin’ tidak bisa memberikan kondisi kebenaran sepenuhnya, sehingga mengalahkan tujuannya: ‘Saya nyatakan bahwa tidak ada hal semacam ini … seperti proposisi lengkap yang ditentukan secara otonom oleh kaidah-kaidah bahasa mengenai konteksnya namun tidak terikat dengan makna penutur” (Recanati, 2004: 56). Kedua ahli ini berpendapat bahwa perbedaan antara konteks yang sempit (“tak ada maksud”) dan konteks yang luas tersebut tidak bisa dipertahankan, dan bahwa pengayaan yang secara jelas dimasukkan dalam konsep ‘apa yang dikatakan’ yang paling terbatas (saturasi) tersebut harus bertumpu pada maksud penutur. Untuk mengetahui bahwa ketidaktaksaan, yang dipandang sebagai tugas ‘apa yang dikatakanmin’, mungkin harus mengacu pada maksud penutur (Carston, 2002a: bab 2; asli, Walker, 1975), perhatikan ujaran berikut (dan simak lagi ujaran dalam bab 5, catatan 45, di mana NP bahasa Yahudi ‘walking with – feeling without’ yang hilang tersebut – harus mengacu pada maksud penutur):
(10) M: S sounds AWFUL
S kedengaran MENGESANKAN
W: What do you mean –
AWFUL,
to YOU (Apa yang kau maksud – MENGESANKAN bagi KAMU)
(24 April, 2005)
Yang tidak jelas bagi W adalah apakah yang dimaksudkan M adalah S mengesankan bagi M, atau apakah, menurut M, S berada dalam keadaan yang mengesankan. Dengan kata lain, W tidak bisa mengambil keputusan tentang uraian sintaksis yang benar, karena sebenarnya maksud M tidak jelas bagi W. Ketidaktaksaan tidak selalu sebagai tugas yang remeh seperti yang dinyatakan oleh kalangan minimalis. Ujaran lain saturasi yang menuntut acuan pada maksud penutur adalah sebagai berikut:
(11) PERAWAT: Have you drunk?
Sudah minum?
PASIEN: Yes.
(Originally Hebrew, 21 Juni, 2005)
Setelah pasien menjawab, perawat mulai melakukan tes darah, tetapi, ternyata, yang dimaksudkan oleh perawat adalah ‘apakah Anda telah meminum glukosa untuk mengetes toleransi glukosa,’ sementara pasien menganggap bahwa apa yang dimaksud oleh perawat adalah ‘apakah Anda telah minum apa saja pagi ini?’ Karena telah minum air, pasien menjawab ya, meskipun dia belum meminum glukosa. Nah, minum menuntut penyelesaian obyek, tetapi kegagalan pasien untuk mengetahui maksud perawat yang sebenarnya telah membuat dia harus melakukan tes darah tambahan yang tidak perlu.
Jika memang benar bahwa kita perlu memobilisasi maksud penutur untuk penyelesaian kontekstual semacam ini, tidak ada cara bagi kita untuk bisa membatasi ‘apa yang dikatakanmin’ sebagai ‘apa yang dikatakan oleh kalimatnya (bukan oleh penuturnya) berkenaan dengan konteks yang sempit (namun tidak luas) yang ada.’ Perhatikan bahwa indeksikal pun menuntut konteks yang luas (Recanati, 2001, 2002a, 2004). Perhatikan ujaran berikut, yang kata here-nya, sebagai indeksikal klasik, harus mengacu pada meja yang juga ada dalam ujaran (12a), pada seluruh situasi dalam ujaran (12b), pada kawasan dalam ujaran (12c) dan pada dasar paling bawah dalam ujaran (12d):
(12) a. PHIL: (H) … I would like to … talk to you about these three items.
I have here, (SBC: 027)
… Aku ingin bicara denganmu tentang ketiga hal ini.
Aku alami di sini.
b. J: I’m being incredibly lazy here.
I have the box as my excuse.
Aku sangat malas di sini
Alasannya aku ingin menggunakan kotak itu.
W: The box?
Oh, you mean as an excuse for taking the elevator. (2 Juli, 2001)
Kotak?
Oh, maksudmu sebagai alasan untuk menggunakan elevator.
c. FRED: (H) you know he’s looking at that as his retirement income,
kau tahu dia sedang mempertimbangkan soal itu sebagai
penghasilan masa pensiunnya
((3 BARIS DIHILANGKAN))
like some of the people do here. (SBC: 014)
seperti yang dilakukan oleh sebagian orang di sini.
d. PAMELA: … (H) I look down at my body?
… And I feel like I’m in a spaceship.
Aku melihat ke bawah pada tubuhku?
Dan aku merasa seperti sedang dalam pesawat luar angkasa.
((7 BARIS DIHILANGKAN))
I just think it’s so damn weird we’re here. (SBC: 005)
Aku hanya berpikir rasanya begitu aneh kita berada di sini.
Agar bisa memastikan apa acuan kata here dalam masing-masing ujaran dalam ujaran (12), kita harus mengandalkan pada asumsi kita tentang maksud penutur. Sesungguhnya, itulah sebabnya mengapa semula W sangat tidak memahami J (lawan bicara lain yang ada benar-benar segera memahaminya). Oleh karena itu, kita tidak bisa mengaitkan interpretasi here dalam ujaran-ujaran ini dengan proses penetapan acuan kontekstual yang remeh. Hal yang sama berlaku pada sebagian besar indeksikal (untuk kesalahpahaman tentang that, simak lagi ujaran (15) dalam bab 4). Recanati dan Bach (2004b) menganggap bahwa asumsi konteks yang sempit mungkin berlaku untuk I, tetapi simak karya Ariel (1998a) untuk peran inferensi dalam menentukan siapa penuturnya, dan simak ujaran (2) di atas di mana kedua I tidak mengacu pada Alina, penutur yang ada sesungguhnya. Menentukan acuan ujaran juga menimbulkan persoalan yang sama. Sebagaimana kita lihat dalam bab 2, cara penutur menuntun mitra tuturnya dalam memperoleh kembali ujaran rujukan (referent) adalah dengan meng-enkode derajad aktivasi yang mereka gunakan untuk mengharapkan mitra tutur memperlakukan berbagai macam representasi mental. Tetapi tingkat aksesibilitas yang digunakan untuk menyediakan representasi mental kepada mitra tutur sangat ditentukan oleh topik penutur, tujuannya, dan lain sebagainya (simak, misalnya, karya Ariel, 1990 dan seterusnya). Berikut kami sajikan ujaran (yang telah dikutip sebagai ujaran (29) dalam pokok bahasan 2.2), yang menunjukkan bahwa mengidentifikasi topik yang sedang dibahas perlu dilakukan untuk menentukan interpretasi anaforik:
(13) mitbare she=la=uvda she=arafati noad peamin mispar im
Turns.out that=to.the=fact that=Arafati met times number with
ha=melex xusenj hayta xashvut raba. arafati
the=King Husseinj was significance great Arafati
hidayen im ha=melexi be=et shehiyatoi be=rabat
carried.discussions with the kingj at=the.time.of hisi:stay in=Rabat
amon, ve=nire she=zej hicbia be=fanavi al ha=dimyon…
Amon, and=seems that=this.onej pointed to=himi on the=similarity…
‘It turns out that the fact that Arafat met with King Hussein a number of times had great significance. Arafat carried on discussions wit the king when visiting Rabat Amon, and it seems that the king pointed out to him the similarity…’
Ternyata kenyataan bahwa Arafat telah beberapa kali bertemu dengan Raja Hussein memiliki arti yang sangat besar. Arafat melakukan berbagai pembicaraan dengan raja ketika berkunjung ke Rabat Amon, dan tampaknya raja menunjukkan persamaan tersebut kepadanya….’
(Hebrew, Yediot Ahronot, 18 Oktober, 1984)
Baik Arafat maupun Hussein adalah anteseden yang sah untuk kata Yahudi ze ‘this one’, sekaligus untuk kedua kata ganti posesif orang ketiga. Tetapi karena ze meng-enkode tingkat aksesibilitas mental yang kurang maksimal, Raja Hussein yang tidak menjadi topik itulah yang dipilih sebagai antesedennya, dan karena kata ganti meng-enkode aksesibilitas dengan derajad yang tinggi, Arafat yang menjadi topik itulah yang dipandang sebagai anteseden kata gantinya. Dengan demikian, pemecahan acuan, baik yang berupa indeksikal maupun anafora, sama sekali bukanlah merupakan penyelesaian kontekstual secara otomatis sebagaimana yang dianggap oleh kalangan minimalis.
Selanjutnya, perhatikan ujaran berikut, sebagaimana yang dijelaskan oleh Recanati (2001), sifat hubungan antara kedua NP yang dicetak tebal tersebut diperlukan untuk menentukan kondisi kebenaran proposisi yang diajukan, namun menuntut acuan pada maksud penutur:
(14)a. MAYA: Can I use the girl’s colors?
Bisakah saya menggunakan warna-warna yang disukai gadis itu?
(Originally Hebrew, 17 September, 1996)
b. J: I’d like MY parmesan.
Aku ingin parmesan SAYA
M: This IS your parmesan.
Ini parmesanmu
IDDO: Is this all for YOU?
Apakah semua ini untuk KAMU?
(28 Juli, 2001)
Warna yang dirujuk oleh Maya (yang pada waktu itu berusia 8 tahun) dalam ujaran (14a) adalah warna-warna yang diberikan kepadanya oleh seorang gadis tertentu sebagai hadiah ulang tahun beberapa hari sebelumnya. Sebenarnya itu bukan warna-warna khusus bagi anak gadis. Parmesan yang dirujuk oleh J adalah parmesan (sejenis keju buatan Italia – penerjemah) yang dia beli sendiri (dan bukan parmesan tertentu yang miliknya sendiri saja untuk dimakan, sebagaimana yang Iddo anggap dia maksudkan). Sulit diketahui bagaimana penentuan acuan dalam berbagai kasus ini bisa dilakukan tanpa mengacu pada maksud penutur (inilah persoalan yang dialami Iddo). Hal yang sama berlaku untuk ujaran-ujaran dalam (4) (interpretasi terhadap ‘squares in the stomach,’ and ‘another cup,’ di mana mengaitkan maksud yang salah dengan penutur bisa membuat mitra tutur salah dalam menginterpretasikan acuannya). Akhirnya, perhatikan percakapan berikut dari sebuah kartun, di mana Calvin (mitra tutur) tidak bisa memahami maksud penutur dalam penentuan acuan:
(15) Dalam kelas:
Guru: Calvin, are you chewing gum in class?
Calvin, apa kau mengunyah permen karet di dalam kelas?
CALVIN: Yeth. (Ya)
GURU: Do you have enough to share with everybody?
Apakah permen karetmu cukup banyak untuk dibagikan
dengan semua temanmu?
Calvin: ((Mengeluarkan segumpal besar permen karet dari mulutnya))
Probably. But do you really think they’d want it?
Mungkin. Tetapi apakah Bu Guru benar-benar berpikir mereka
menginginkannya?
Di kantor kepala sekolah:
Calvin: It was HER idea…
Ini idenya BU GURU...
(Kartun, International Herald Tribune, 6 Mei, 2005)
Enough (cukup banyak) perlu disaturasikan dari konteks, dan Calvin menginterpretasikannya dengan benar untuk merujuk pada permen karetnya. Tentu saja, yang dimaksud Ibu Guru bukanlah permen karet yang ada dalam mulut, sedangkan yang dipahami Calvin adalah permen karet yang ada dalam mulutnya itu sendiri. Perhatikan bahwa interpretasi semacam ini benar-benar masuk akal jika Calvin sedang memanggang kue, dan guru bertanya kepadanya apakah kuenya cukup banyak untuk bisa dibagi bersama teman-temannya. Dalam hal ini, kue yang sedang dia panggang itulah yang ibu Guru minta agar dibagikan kepada para siswa lainnya. Jadi saturasi juga bisa menuntut acuan pada maksud penutur.
Sekarang, prevalensi kasus semacam ini, pada dasarnya, tidak bertentangan dengan konsep minimalis ‘apa yang dikatakan,’ karena meskipun konsep ini menunjukkan bahwa ‘apa yang dikatakanmin’ seringkali bukan pesan yang dimaksudkan, konsep ini sama sekali tidak membuktikan bahwa konteks ini bisa disusun. Bahkan konsep ini membuat pertanyaan kedua yang kami ajukan bahkan menjadi lebih relevan. Apakah konsep semacam ini, yang sangat sering jelas terlalu lemah untuk mewakili makna yang dimaksudkan penutur, bisa memenuhi tujuan yang lain? Dasar pemikiran yang diberikan untuk konsep ‘apa yang dikatakanmin’ adalah (i) konsep ini menerangkan kemampuan kita untuk memproduksi dan memahami kata-kata dan kalimat yang baru, dengan kata lain, menjelaskan kompetensi linguistik kita, dan (ii) konsep ini mengungkapkan keyakinan kita tentang dunia (simak karya Berg, 2002). Tetapi sesungguhnya, (i) lebih baik dipenuhi dengan mengasumsikan tataran makna semantik dasar (yakni ‘apa yang dikatakan’ minus beberapa inferensi ekstralinguistik kontekstual), yang bagaimanapun juga diasumsikan oleh semua peneliti yang lain. Dengan kata lain, tidak ada penjelasan bagaimana paksaan (i) memaksa tingkat ‘apa yang dikatakan’ di samping tingkat semantik linguistik dasar (simak karya Ariel, 2002a; Recanati, 2004).
Selanjutnya, perhatikan argumen Borg bahwa ‘apa yang dikatakanmin’ harus mengungkapkan proposisi paling minimal, meskipun bukan proposisi yang dimaksudkan dan bisa dievaluasi kebenarannya. Jika demikian, mengapa konsep ‘apa yang dikatakanmin’ juga mencakup resolusi acuan? Kondisi kebenaran bisa ditentukan untuk kalimat yang rujukannya belum tetap (misalnya, She ran adalah benar jika ‘some female ran’), sehingga tidak diperlukan lagi konsep minimalis ‘apa yang dikatakan’ di atas tingkat gramatikal makna. Keberatan yang sama berlaku pada justifikasi Cappelen dan Lepore (2005: 185) terhadap ‘apa yang dikatakan’ minimal sebagai “proposisi yang secara semantik diungkapkan dalam pertahanan minimal kita melawan kekacauan, kesalahan, dan pertahanan itulah yang menjamin komunikasi di antara konteks-konteks ujaran.” Sesungguhnya, tidaklah mudah melihat peran yang unik bagi konsep minimalis ‘apa yang dikatakan’ ini, yang tidak dipenuhi oleh makna semantik dasar ataupun salah satu konsep maksimalis yang lebih kaya (simak pokok bahasan 7.6 di bawah). Sebagaimana ditambahkan Carston (1988 dan seterusnya), semua unsur yang diinferensikan bisa dibatalkan, termasuk unsur minimalis ‘apa yang dikatakan,’ sehingga sekali lagi tidak ada alasan yang tepat untuk mengistimewakan beberapa inferensi pragmatik (penyelesaian konteks sempit) atas beberapa inferensi yang lain.
Kita juga meragukan bahwa ujaran-ujaran yang telah kita bahas sejauh ini bisa memberikan alasan yang tepat bagi tataran yang sangat minimalis sebagaimana yang diasumsikan oleh Berg. Ingat bahwa bagi Berg alasan yang tepat untuk ‘apa yang dikatakanmin’ adalah bahwa konsep ini mengungkapkna keyakinan kita tentang dunia. Konsep Berg hanya memberikan isi yang sangat umum bagi ujaran tersebut, tetapi ketika A mengatakan bahwa ada susu dalam kulkas, yang paling mungkin adalah bahwa keyakinannya sangat khusus, yakni, bahwa susu itu mewujud dalam bentuk khusus (misalnya dalam wadah karton susu, dalam sedikit genangan, disimpan dalam wadah buah kelapa), dan lain sebagainya. Jika demikian, konsep minimalis ‘apa yang dikatakan’ sebenarnya tidak mencerminkan keyakinan tersebut, seperti yang diklaim Berg. Di samping itu, Carston (2004a) menunjukkan bagaimana interpretasi yang (juga) didasarkan pada proses pragmatik dengan jelas harus diberi kesempatan untuk membentuk bagian proposisi yang diungkapkan ketika proposisi ini berfungsi sebagai premise dalam sebuah argumen (simak lagi pokok bahasan 3.1). Dengan demikian, jika apa yang dikemukakan Berg benar, berdasarkan pemberitahuan A kepada B bahwa ada susu dalam kulkas, B tidak bisa beralasan bahwa dia tidak perlu pergi untuk membeli susu ke supermarket (dengan beberapa premise tambahan yang tidak relevan dengan pembahasan kita), karena ingat bahwa mungkin hanya ada sedikit persediaan susu di atas rak bagian bawah kulkas. Dengan kata lain, konsep ‘apa yang dikatakanmin’ tidaklah memadai sebagai premise untuk menarik inferensi. Satu-satunya cara untuk menentukan premis apa yang bisa digunakan adalah dengan mempertimbangkan interpretasi yang diperoleh dari ujaran A, dalam hal ini, bahwa ‘ada susu ((yang bisa digunakan)) ((dalam wadah tertentu)) dalam kulkas.’
Di samping itu, Recanati (1989 dan seterusnya) juga berpendapat bahwa konsep ‘apa yang dikatakanmin’ kekurangan realitas psikologis (ingat pembahasan kita tentang “Prinsip Ketersediaan” (Availability Principle) dalam bab 3). Makna itu bersifat holistik, dan kita tidak bisa mengabaikan hubungan yang sangat erat antara konsep ‘apa yang dikatakan’ dan maksud penutur yang dilontarkan secara terbuka dalam ujarannya. Yang dimaksudkan oleh lawan bicara adalah makna linguistik yang diperkaya, dan bukan makna semantik dasar, atau bukan konsep minimalis ‘apa yang dikatakan.’ Atas dasar ini, Recanati mulai menentang asumsi yang beredar pada waktu itu bahwa makna semantik angka hanya dibatasi lebih bawah (misalnya empat secara leksikal berarti ‘minimal empat’), sedangkan interpretasi yang sesungguhnya (misalnya ‘empat persis’) hanyalah makna yang disampaikan, yang secara rutin bertumpu pada implikatur percakapan (yang digeneralisasikan) (‘paling banyak empat’). Recanati berpendapat bahwa apa yang tersedia bagi lawan bicara hanyalah interpretasi ‘empat persis’ (simak misalnya, karya Recanati, 2004). Meskipun ‘minimal empat’ adalah ‘apa yang dikatakanmin’ dalam kasus semacam ini (menurut pandangan yang beredar luas pada waktu itu), lawan bicara sama sekali tidak menyadari tataran makna semacam ini, bantah Recanati. Dengan demikian, konsep ‘apa yang dikatakanmin’ semacam ini tidak bisa diberi alasan yang tepat.
Demikian juga, Noveck dan Chevaux (2002) meminta para subyek untuk membuktikan kebenaran apakah ‘p dan q’ benar (misalnya “Laurent pergi ke rumah sakit dan mata kakinya patah?’, ketika cerita yang telah didengar oleh para subyek menjelaskan bahwa urutan kronologis peristiwanya adalah, misalnya, Laurent terlebih dahulu patah mata kakinya dan hanya kemudian pergi ke rumah sakit. Menurut pendekatan minimalis, interpretasi kronologi merupakan inferensi pragmatik, karena dikeluarkan dari ‘apa yang dikatakanmin.’ Namun demikian, sebagaimana telah disebutkan dalam pokok bahasan 3.1.2.1, sebagian besar subyek (71 persen) menjawab “tidak” terhadap pertanyaan di atas yang diajukan kepada mereka. Dengan kata lain, mayoritas subyek menganggap bahwa interpretasi kronologi yang diinferensikan memberikan kontribusi bagi kondisi kebenaran proposisi. Mereka pasti telah mengabaikan konsep ‘apa yang dikatakanmin’ itu, atau mereka bisa saja menegaskan bahwa yang dimaksudkan adalah ‘p dan q’. Jadi Borg bisa membantah dengan tegas bahwa eksperimen tersebut hanya membuktikan kebenaran proposisi, bukan kondisi kebenarannya, tetapi kemudian kita memerlukan bukti yang independen bahwa dalam semua kasus tidaklah demikian ketika para peneliti, termasuk Borg, telah mengaitkan status kondisi kebenaran dengan interpretasi tertentu. Harus ditunjukkan bahwa A dalam ujaran (9) (ujaran yang tampaknya mendukung pendapat Borg) sebenarnya menambahkan bahwa anak itu langsung merasa geli terhadap pencarian alasan bagi dirinya dengan cara semacam itu, dan ibunya memberikan perlindungan yang sangat kuat ketika dia mengatakan bahwa MS tidak berbohong dalam ujaran (8) (simak pokok bahasan 7.6 untuk interpretasi ‘orang yang bijak’). Dengan demikian, penutur tampaknya tidak merasa bahwa konsep ‘apa yang dikatakanmin’ berguna untuk berinteraksi. Hal ini karena tataran makna tersebut secara psikologis tidak riil bagi mereka.
Suatu konteks yang kita gunakan sebagai dasar untuk mengtemukakan anggapan bahwa konsep minimalis ‘apa yang dikatakan’ bisa digunakan adalah putusan pengadilan. Pengadilan hukum tampaknya merupakan calon utama untuk mengadopsi interpretasi minimalis semacam ini, karena terikat dalam mempertimbangkan hukum, kontrak, dan kesaksian orang banyak dengan cara yang seketat mungkin. Tetapi kenyataan yang sebenarnya tidaklah demikian. Berikut kami ketengahkan dua kasus pertama kali dilaporkan dalam penelitian Ariel (2002b). Dalam kasus yang pertama, seorang hakim Israel memutuskan bahwa pengalaman resmi tiga tahun yang ditetapkan sebagai persyaratan dalam penawaran mengacu pada ‘tiga tahun ((segera sebelum waktu penawaran itu)),’ bukan pada ‘tiga tahun pengalaman’ kapan saja – itulah makna ‘yang tidak dikatakanmin’ ujaran yang dimaksudkan (slinya bahasa Yahudi, Haaretz, 30 November, 1998). Dalam kasus yang kedua, seorang hakim memutuskan bahwa Samuel Sheinbein tertentu harus diekstradisi ke Amerika Serikat tempat dia menjalani pemeriksaan pengadilan, meskipun menurut hukum warga negara Israel tidak bisa diekstradisi, dan pengacara terdakwa membuktikan bahwa secara hukum Sheinbein adalah warna negara Israel, sehingga memuaskan hakim. Hakim menjelaskan bahwa ‘intuisi linguistiknya’ (Haaretz, 11 September, 1998) mengatakan bahwa, bagaimanapun juga, terdakwa seharusnya diekstradisi, karena meskipun secara hukum dia warga negara Israel, dia lahir dan dibesarkan di Amerika Serikat, dia adalah warga negara Amerika Serikat, dia tidak berbicara bahasa Yahudi, dan ketika berkunjung ke Israel dia menggunakan paspor Amerika (bukan paspor Israel). Oleh karena itu, menurut pendapat hakim, terdakwa tidak memiliki ‘kaitan yang memadai’ dengan negara Israel. Dengan kata lain, meskipun Sheinbein terbukti orang Israel (dalam pengertian kata minimalis), secara prototipikal dia dianggap bukan orang Israel (ini adalah interpretasi saya tentang gagasan hakim mengenai tidak memiliki ‘kaitan yang memadai’). Menurut hakim, hukum di Israel berlaku bagi orang-orang Israel yang relevan, bukan untuk setiap orang Israel saja. Sekali lagi, bukan makna ‘yang dikatakanmin’ yang diterapkan oleh hakim, melainkan konsep ‘apa yang dikatakanmax’ yang diadaptasikan secara pragmatik. Dengan demikian, keputusan pengadilan pun tidak selalu melihat dirinya sendiri terikat oleh konsep minimalis ‘apa yang dikatakan.’ Oleh karena itu, kami menyimpulkan bahwa meskipun masalahnya tidak selalu demikian bahwa menyusun konsep ‘apa yang dikatakanmin’ tidak mungkin bisa dilakukan, tampaknya tidak ada alasan psikologis atau interaksional yang bisa cocok untuk mengasumsikan tingkat minimalis kesalinghubungan antara grammar dan pragmatik ini. Alasannya adalah bahwa untuk mematuhi kriteria minimalis, konsep ini tidak memiliki dasar pemikiran apapun.
7.3 Konsep maksimalis ‘apa yang dikatakan’ (pragmatik kondisi kebenaran)
Perbedaan penting antara kalangan minimalis dan maksimalis mengenai apa yang harus dilakukan dengan ‘apa yang dimaksudkan penutur’ ketika maksud tersebut tidak diungkapkan secara jelas. Sebagaimana kita ketahui, kalangan minimalis sangat setia mengadopsi pendirian eksklusif Grice. Mereka merasa puas hanya melebarkan kesenjangan antara ‘apa yang dikatakan’ dan ‘apa yang dimaksudkan’ dalam berbagai keadaan semacam ini, dengan sangat mematuhi segala sesuatu yang diungkapkan secara jelas. Kalangan maksimalis, utamanya para ahli teori Relevansi (simak karya Sperber & Wilson, 1986/1995) dan Recanati (1989), justru memilih pendirian inklusif Grice, dengan terus-menerus memperkecil kesenjangan tersebut, yang asumsinya adalah bahwa ‘apa yang dikatakan’ harus mewakili kondisi kebenaran “intuitif” yang harus dilakukan oleh penutur terhadap diri mereka sendiri. Selama bertahun-tahun, para ahli teori Relevansi telah menggabungkan semakin banyak ‘apa yang dimaksudkan (meskipun tidak diungkapkan)’ ke dalam eksplikatur mereka, suatu representasi yang erat kaitannya dengan ‘apa yang dikatakan’ (simak lagi pokok bahasan 1.4). Dengan demikian, kita memiliki pragmatik kondisi kebenaran, bukan semantik kondisi kebenaran.
7.3.1 Membatasi ‘apa yang dikatakanmaks
Karena konsep minimalis ‘apa yang dikatakan’ tidak bisa dibatasi (secara bermakna tidak sewenang-wenang), dan, lagi pula, menurut Recanati dan para ahli teori Relevansi, konsep ini tidak memiliki maksud apa-apa (simak di atas), mereka justru mendukung konsep ‘apa yang dikatakanmaks’ (eksplikatur bagi para ahli teori Relevansi). Menurut pendekatan maksimalis, ‘apa yang dikatakan’ harus dimaksudkan/dikomunikasikan (Carston, 2002a: bab 2; Recanati, 2002b). Oleh karena itu, bila ada perbedaan antara makna semantik linguistik dan makna proposisi penuh yang dimaksudkan, ‘apa yang dikatakanmaks’ mengikuti konsep ‘apa yang dimaksudkan.’ ‘Apa yang dikatakanmaks’ “sesuai dengan kondisi kebenaran intuitif ujaran, yakni sesuai dengan isi pernyataan yang biasa diterangkan oleh para partisipan dalam percakapan” (Recanati, 2001: 79-80). Oleh karena itu, menurut Recanati, ‘apa yang dikatakanmaks’ harus cukup pasti, sehingga kondisi kebenaran yang diwakilinya cukup terinci sehingga memungkinkan lawan bicara menilai proposisi tersebut guna menemukan nilai kebenarannya (berlawanan dengan Borg, 2005a – simak di atas). Inilah pandangan “pragmatik kondisi kebenaran,” bukan pandangan “semantik kondisi kebenaran.” Karena konsep ‘apa yang dikatakanmaks’ merupakan konstruksi pragmatik yang penuh, maka, menurut kalangan maksimalis, mungkin ada sejumlah ‘apa yang dikatakanmaks’ pada setiap bentuk ujaran. Dengan demikian, masing-masing ujaran dalam ujaran (4) memiliki (minimal) dua eksplikatur yang potensial (misalnya ‘cubes in the stomach’ bisa dieksplikasikan sebagai ‘six pact on the stomach’ atau sebagai ‘squares of wafers/chocolate inside the stomach’). Ini bertolak belakang dengan kalangan minimalis, yang bagi mereka hanya ada satu ‘apa yang dikatakanmin’ per bentuk ujaran (sehingga mengesampingkan berbagai perbedaan yang disebabkan oleh acuan yang berbeda dan pemecahan ketaksaan).
Pengayaan kontekstual yang digabungkan tersebut tidak dibatasi pada pengayaan yang dilakukan dari bawah ke atas dan diatur oleh kaidah. Pengayaan tersebut bisa sepenuhnya bersifat pragmatik, yakni dari atas ke bawah (Recanati, 2002b, 2007), bisa berupa ‘pengayaan yang bebas’ (Recanati, 1993), ekspansi sebagaimana yang diupayakan oleh Bach (1994), yakni penyelesaian yang tidak mendapatkan pemicu gramatikal (misalnya ujaran (7) di atas, (16) di bawah). ‘Pengayaan yang bebas’ membentuk landasan bagi penolakan Carston (2002a: bab 2) terhadap “Prinsip pembuktian kebenaran minimal.” Seperti yang dia bantah secara meyakinkan, meskipun penyelesaian yang dibimbing oleh prinsip semacam ini benar-benar bisa menciptakan proposisi yang lengkap, namun ia mungkin bukan proposisi yang dimaksudkan oleh penutur. Dalam beberapa kasus, proposisi tersebut mungkin berupa ujaran yang agak berbeda dari ujaran yang diekspresikan secara terang-terangan, atau bahkan berbeda dari konsepnya ‘apa yang dikatakanmin.’ Akhirnya, konsep ‘apa yang dikatakanmaks’ harus disediakan secara sadar bagi para partisipan dalam percakapan sebagai representasi makna tunggal, terlepas dari sumber-sumber yang dimanfaatkan (makna semantik, inferensi yang didukung konteks). Ini selaras dengan “Prinsip Ketersediaan” Recanati (1989).
Recanati (komunikasi pribadi) tetap tak percaya terhadap kasus-kasus khusus (misalnya ujaran (3b)) yang menuntut saturasi versus pengayaan. Para ahli teori Relevansi bersikap lebih pasti. Banyak kasus yang secara potensial dianggap sebagai kasus saturasi (penyelesaian yang ditetapkan secara gramatikal) oleh orang lain justru dianggap sebagai ‘pengayaan yang bebas’ oleh para ahli teori Relevansi. Ujaran (16) adalah kasus yang sangat serupa dengan ujaran (3c), kecuali bahwa di sini tidak ada kuantifier (quantifier), sehingga pengayaan yang diperlukan adalah, tanpa banyak kontroversi, berupa pengayaan yang bebas (yakni tidak disebabkan oleh grammar):
(16) DIANE: because he has no money.
no family money,
but she has ((a substantial amount of)) money, (SBC: 023)
karena dia (laki-laki) tidak punya uang
tak ada uang keluarga,
tetapi dia (perempuan) punya (sejumlah besar) uang,
Perhatikan bahwa sementara Recanati maupun para ahli teori Relevansi sependapat mengenai kebutuhan akan konsep ‘apa yang dikatakanmin’, pembedaan antara grammar dan pragmatik bisa ditarik secara berbeda. Penyelesaian dalam ujaran (3d, d) di atas bisa dianggap pragmatik secara penuh oleh kedua pendekatan, dalam pengertian bahwa kedua ujaran tersebut diinferensikan berdasarkan “konteks yang luas.” Tetapi Recanati tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa penyelesaian tersebut dipicu oleh grammar. Menurut para ahli teori Relevansi, ‘pengayaan bebas’ itu tidak gramatikal. Pengayaan bebas sepenuhnya bersifat pragmatik, karena tidak diinferensikan secara otomatis, namun justru hanya ditambahkan bila Relevan dengan percakapan yang ada. Inilah yang terjadi dalam ujaran (16), tetapi tidak demikian halnya dalam ujaran (17), karena jumlah uang yang terlibat tidak bersifat materi:
(17) A: John actually bought one of these at the art fair.
B: [<laughing> Oh no. </laughing>]
A: I mean for all things for him to spend his hard-earned money on. (LSAC)
A: Sesungguhnya John telah membeli salah satu barang di pameran seni.
B: [<tertawa> Oh, tidak. </tertawa>]
C: Maksudku untuk semua barang dia menghabiskan uang yang dia peroleh
an susah-payah.
Dalam ujaran (17), his ... money tidak selalu diperkaya ke dalam sejumlah uang yang lebih khusus. Meskipun sebagian penyelesaian yang dipandang sebagai ‘pengayaan bebas’ oleh para ahli teori Relevansi kemungkinan dianggap sebagai sesuatu yang bersifat saturasi oleh Recanati, dia juga berpendapat bahwa penyelesaian konsep ‘apa yang dikatakan’ juga harus mencakup ‘pengayaan bebas.’ Ujaran berikut dianggap sebagai ‘pengayaan bebas’ minimal oleh beberapa peneliti. Ingat bahwa ‘pengayaan bebas’ sepenuhnya bersifat pragmatik dalam pengertian bahwa mereka tidak dipicu oleh grammar, dan mereka bisa mengakses maksud penutur. Oleh karena itu, ‘pengayaan bebas’ juga memungkinkan terjadinya penggantian konstituen linguistik tertentu dengan konsep yang disesuaikan secara pragmatik (Carston, 2002b: 8). ‘Pengayaan bebas’ bisa memasukkan berbagai komponen konseptual ke dalam representasi linguistik, bahkan ketika tidak ada celah-celah linguistik yang disediakan. (Ujaran tambahannya adalah (3b-d) dan (4a-c) di atas.) Apa yang saya perkirakan sebagai ‘pengayaan bebas’ yang relevan ditetapkan dalam tanda kurung ganda:
(18) a. You might be walking across the street and a car might come and a guardian
angel will stop the car. ((in a supernatural manner)) (LSAC)
Bisa jadi Anda sedang menyeberang jalan dan mobil datang serta malaikat
penjaga terus menghentikan mobil itu. ((secara adikodrati))
b. Row 22a has changed her mind. She wants tea, not coffee.
Deret 22a telah mengubah pikirannya. Dia ingin minum teh, bukan kopi.
(Originally Hebrew, Flight attendant, 14 Juli, 2003)
c. He threw a Frisbee off a cliff and the dog jumped ((over the cliff)) for it
and got it. (LSAC, diilhami oleh Carston, 1988)
Dia melemparkan Frisbee jauh-jauh dari batu karang dan anjingnya melompat ((di atas batu karang itu)) untuk menangkapnya dan mendapatkannya.
d. When was the last time ((you had sex)) you felt like the first time ((you had sex))? (Iklan Originally Hebrew, 1996)
Kapan terakhir kali ((Anda melakukan hubungan seks)) yang Anda rasa seperti pertama kali ((Anda melakukan hubungan seks))?
e. ani mecaref takcir … le=kenes ilash… ode lax
I attach abstract … for=the.conference.of Ilash… I.will.thank to:you.F
im tuxli le=histakel ((al ha=takcir)).
if you.will.be.able to=look ((at the=abstract)).
‘I’m attaching an Ilash abstract. I’ll be obliged if you could look at it.’
Saya sedang menempelkan abstrak Ilash. Saya akan senang sekali jika Anda bisa melihatnya.’
(Hebrew, pesan pribadi, 22 April, 2006)
f. A: I wouldn’t worry about it to much. I can look it over if you want me to.
Saya tidak terlalu mencemashkannya. Saya bisa memeriksanya jika Anda
menginginkan aku melakukannya.
B: Yeah, yeah.
Ya, ya.
A: I’ll have a look ((at it)), put it in your box then.
Saya akan memeriksa((nya)), kalau begitu masukkan saja ke dalam kotak
Anda. (LSAC)
Malaikat penjaga dalam ujaran (18a) tidak akan menghentikan mobil itu secara biasa sehingga pengemudi mobil menghentikan mobilnya, tetapi justru dengan cara supranatural, agaknya dengan menyebabkan pengemudi yang aktual mungkin berhenti. Dalam ujaran (18b), konsep yang diadaptasikan dan rujukan deret 22a diperoleh melalui konsep tempat duduk yang disebutkan secara linguistik, tetapi sangat berbeda darinya (pelaku perjalanan yang menduduki tempat duduk 22a di atas pesawat). Perhatikan penggunaan feminine pronoun (kata ganti untuk perempuan), yang mengikuti gender rujukan yang dimaksudkan. Anjing dalam ujaran (18c) pasti telah melompat di atas batu karang, bukan tempat lain (ini merupakan kasus acuan pendamping yang dihubungkan). Dalam ujaran (18d), kita harus melakukan pengayaan terhadap makna semantik ‘the last/first time’ agar bisa menciptakan representasi peristiwa-peristiwa yang lebih terbatas daripada yang diprediksikan oleh konsep ‘apa yang dikatakanmin’ yang sangat tidak informatif. Ujaran (18e) dan (18f) mengandung kata kerja intransitif, yang, dengan demikian, tidak menuntut adanya pelengkap (complement). Tetapi kita benar-benar menambahkannya. Ini semua merupakan kasus penyelesaian (ekstragramatikal) yang bebas, yang diperlukan untuk memperoleh proposisi yang dimaksudkan.
Akhirnya, perhatikan ujaran berikut, tempat ujaran ini membuat M melakukan tiga kali giliran berbicara agar pelayan restoran bisa menginterpretasikan secara benar penggunaannya kata coffee yang sangat biasa:
(19) M: Which coffee do you have decaffeinated?
Kopi mana yang telah didekafeinasikan?
Pelayan: Colombian, I think.
Saya kira kopi Kolombia.
M: Yes, but how do you make it?
Ya, tapi bagaimana Anda membuatnya?
Pelayan: We grind it here.
Kami menggilingnya di sini.
M: Yes, but what kind of coffee do you make from it?
Espresso, and such?
Ya, tetapi kopi jenis apa yang Anda buat?
Espresso, dan semacamnya?
Pelayan: Oh, any kind. What would you like?
Oh, semua jenis ada. Jenis apa yang Anda suka?
(Originally Hebrew, 20 Desember, 2002)
Sesungguhnya, dalam pikirannya M memiliki konsep ‘minuman kopi’, sedangkan pelayan memiliki konsep ‘biji kopi’ dalam pikirannya. Masing-masing merasa bahwa konsepnya begitu jelas sehingga diperlukan waktu beberapa saat untuk mengkoordinasikan konsep mereka. Ujaran tersebut menunjukkan bagaimana pengadaptasian konsep secara alamiah dan secara tak terelakkan tampak kepada kita. Sebagaimana ditekankan oleh Recanati, tidak mudah untuk memotong hubungan antara makna yang murni semantik dan konsep ‘apa yang dikatakan¬maks’ yang telah dikembangkan (Recanati, 2001, 2007). Itulah sebabnya mengapa diperlukan waktu begitu lama bagi M dan pelayan untuk menyepakati interpretasi terhadap kopi. Kartun berikut menunjukkan apa yang terjadi ketika kita tidak bisa mengadaptasikan konsep (kebagusan):
(20) Wanita: I’ve got a big date, Francis … Do I look nice??
Aku baru melakukan kencan yang menyenangkan, Francis…
Apakah aku tampak keren??
Francis: Depends. How nice are you supposed to look?
Tergantung. Seperti apa tampak keren yang kau maksudkan?
(Los Angeles Times, 3 Juni, 2000)
Yang paling menggelitik perasaan adalah saran Carston (2002a: bab 5) bahwa melonggarkan, dan bukan hanya menyempitkan, makna semantik juga merupakan bagian dari eksplikatur (simak juga karya Recanati, 2004, Wilson, 2003). Kasus melonggarkan makna merupakan kasus di mana komponen makna yang telah ditetapkan secara leksikal benar-benar dibatalkan secara pragmatik. Perhatikan bahwa interpretasi semacam ini bertentangan dengan asumsi yang telah diterima secara umum bahwa ciri-ciri semantik tidak bisa dibatalkan oleh faktor pragmatik. Bahkan, tampaknya istilah yang sudah jelas pun, seperti square, rectangle, bachelor, semuanya menentukan butir-butir leksikal, namun demikian bisa digunakan dengan cara yang longgar (Carston, 2002a: bab 5), sebagaimana yang diperlihatkan dalam ujaran berikut:
(21) a. There’s this guy it was like bald and gray totally bald it is like on the front
of his forehead I swear to God it is a triangle patch of hair. That he had
parted in the middle. (LSAC)
b. A: I think he’s trying to make it a nice little family place you know since
you’re here.
Saya kira dia sedang berusaha untuk menjadikannya tempat keluarga
kecil yang menyenangkan seperti yang Anda ketahui sejak Anda berada
di sini.
B: I know.
Saya tahu.
C: and when you’re not here he’s more like a bachelor, it’s really funny.
dan ketika Anda tidak ada di sini dia lebih mirip seorang bujangan,
benar-benar lucu.
(LSAC)
Yang paling mungkin, patch of hair (dalam ujaran (21a)) sebenarnya tidak membentuk segitiga, dan bachelor (dalam ujaran (21b)) mengacu pada gaya hidup tertentu, bukan status perkawinan. Salah satu argumen Carston dalam mendukung penyatuan pelanggaran dan penyempitan adalah pengamatan bahwa, sesungguhnya, pengadaptasian konsep sering menuntut dilakukannya berbagai penyesuaian sekaligus. Sebagai ujaran, sementara sisi segitiga (dalam ujaran (21a)) tidak perlu benar-benar lurus (pelanggaran definisi yang kaku terhadap segitiga), ukuran segitiga yang dibahas dipersempit secara drastis menjadi segitiga-segitiga kecil yang bisa sesuai dengan rambut kepala yang diuraikan, dan proporsinya juga tidak bebas sama sekali. Kami mengharapkannya sebagai prototipe, yakni bukan segitiga yang benar, bukan segitiga yang bersudut runcing persis atau tumpul, dan lain sebagainya.
Perhatikan bahwa dalam semua ujaran yang dibahas di sini, konsep yang diadaptasikan diciptakan dari masa operasi benda-benda leksikal penggilingan. Tampaknya sungguh tidak masuk akal bila ujaran-ujaran tersebut ditandai secara gramatikal sebagai ujaran yang menuntut penyelesaian kontekstual. Sebenarnya, interpretasi ujaran melibatkan konstruksi berbagai konsep khusus secara terus-menerus. Perhatikan beberapa ujaran lagi, (22) yang diambil dari sebuah percakapan dalam SBC dan ujaran (23) dari Lotan 1990:
(22)a. LENORE: #Jan talked the whole time,
in a voice like this
Jan berbicara sepanjang waktu, dengan suara seperti ini
((7 BARIS DIHILANGKAN)
ALINA: (H) God,
.. (H) turn the volume down@>@@,
.. (H) <VOX @let me out of here VOX>.
Astaga, kecilkan volumenya/biar aku keluar dari sini
b. ALINA: She was taking the silverware,
and digging it into the table.
Dia mengambil peralatan dari perak/
dan menusukkannya pada meja
((7 BARIS DIHILANGKAN))
LENORE: Th-..those tables are museums,
Could you please,
Itu meja-meja museum, tolong jangan,
..@@ @chill @out@in @the @art @k@-
..art work here.
Karya seni di sini
c. ALINA: ..So I have this pair of suede pants that I got,
you’ve seen them probably ninety million times.
Jadi aku mendapatkan celana kulit yang aku pegang ini,
mungkin kau telah melihatnya sembilan puluh juta kali
ALINA: (H) the one that told me I was shoveling my food,
and I didn’t need a fork,
Orang itu yang berkata kepadaku bahwa aku sedang menyekopi
makananku, padahal aku tidak memerlukan garpu,
(23)a. R: What’s the value?
Berapa nilainya?
S: When we went out to the stock exchange the company was worth
8 million. In peak times it went up to 15 – 20 million it was once it
tickled it … (Lotan 1990: 4)
Ketika kami pergi ke pasar bursa perusahaan itu senilai 8 juta. Pada masa-
masa puncak, nilainya naik menjadi 15 – 20 juta, perusahaan ini hampir
mencapai nilai tertinggi itu…
b. S: Rubinstein is building …
Rubinstein sedang membangun…
R: He too made such windowless cells
Dia juga yang membuat ruang-ruang tak berjendela
He too made such cubby-holes
Dia juga yang membuat kamar-kamar kecil (Lotan 1990: 6)
c. S: If they ((workers – MA)) don’t come then the building site stands on
that day what can you do
Jika mereka ((para pekerja – MA)) tidak datang kemudian pembuatan
bangunan itu dihentikan pada hari itu apa yang bisa Anda lakukan
M: What?
Apa?
S: then the building site stands on that day in their subject.
kemudian tempat bangunan itu ditetapkan pada hari itu.
(Lotan 1990: 7)
Dalam ujaran (22a), turn the volume down diperlonggar makna semantiknya, karena tak ada tombol atau apapun yang bisa diputar untuk Jan agar berbunyi agak pelan. Tetapi efek yang dihasilkan (kekurangkerasan suara) dipertahankan. Ironisnya art work dalam ujaran (22b) mengacu pada lobang-lobang pahatan yang dibuat oleh seseorang dengan menusukkan alat dari perak ke dalam meja. Ninety million dalam ujaran (22c) diperlonggar maknanya menjadi ‘very many’. Bagi orang yang dikutip oleh Alina berkata kepadanya bahwa dia sedang shoveling her food (menyekopi makanannya), shovel tetap berarti ‘mengangkat dan memindahkan barang dalam jumlah besar.’ Tetapi alat yang digunakan bukan shovel (sekop) yang bermakna harfiah, barang yang dipindahkan bukan tanah atau salju, tetapi makanan, dan tempat untuk memindahkan barang adalah mulut. Tentu saja, gagasannya adalah bahwa kita mengadaptasikan gagasan ‘shovel’ hanya cukup untuk mempertimbangkan peristiwa nyata yang digambarkan, tetapi diperkirakan kita masih bisa membandingkan cara di mana Alina makan dengan cara di mana seseorang menyekopi salju atau tanah. ‘Tickled’ dalam ujaran (23a) diperlonggar makna semantiknya sehingga berarti ‘barely, or rather, rarely, touched/reached’ (hampir menyentuh). Kuxim ‘windowless cells’ dalam ujaran (23b) diinterpretasikan sebagai kamar kecil yang tidak menarik, tetapi tidak selalu tak berjendela, dan padanan kata Yahudi stand dalam ujaran (23c) diperlonggar maknanya menjadi ‘is stopped/undergoes no progress’ (dihentikan atau macet). Jenis-jenis pengadaptasian ini secara rutin diperlukan dalam percakapan yang alami agar bisa menciptakan situasi ‘apa yang dikatakanmaks’.
Menurut pandangan maksimalis yang dibahas di sini, ada jauh lebih banyak kontak antara grammar dan pragmatik daripada menurut pendekatan minimalis. Keduanya bergabung untuk menciptakan makna dengan tingkat yang paling dasar, ‘apa yang dikatakan,’ dan bukan hanya makna yang disampaikan secara total. Di samping itu, inferensi yang dieksplikasikan berbaur dengan makna semantik linguistik untuk membentuk satu representasi makna yang tidak bisa dipisahkan.
7.3.2 Membedakan antara inferensi yang dieksplikasikan dan yang
diimplikasikan
Karena pendekatan maksimalis memberikan kesempatan bagi inferensi yang memiliki “konteks yang luas” untuk masuk ke dalam pembatasan proposisi yang diungkapkan, sekaligus kedayabatalan dan sedikit derajad indeterminasi, mereka harus membedakan inferensi yang terakhir dari implikatur percakapan, dan membedakan makna yang disampaikan dari ‘apa yang dikatakanmaks’/eksplikatur, karena semua ciri ini tentu saja juga merupakan ciri khas dari implikatur percakapan. Dengan kata lain, tidak seperti para pendukung ‘apa yang dikatakanmin’, para pendukung ‘apa yang dikatakanmaks’ perlu memberikan alasan yang tepat mengapa mereka tidak memandang semua inferensi pragmatik yang dikomunikasikan memiliki satu status yang sama, dalam satu lapisan pragmatik, yang ditambahkan pada makna semantik linguistik untuk menciptakan makna yang disampaikan. Ingat bahwa gambaran Grice yang asli hanya membedakan antara konsep semantik ‘apa yang dikatakan’ dan sejumlah inferensi pragmatik (implikatur). Kami telah mengetahui alasan mengapa para peneliti yang dibicarakan di sini menolak konsep ‘apa yang dikatakan’ minimalis. Tetapi mereka bisa saja menggantikannya dengan makna semantik dasar, yang harus diperkaya pada makna yang disampaikan. Sebaliknya, mereka bersikukuh menggunakan tataran makna lanjutan ketiga, ‘apa yang dikatakanmaks’. Kemudian mereka perlu memaksa pembedaan yang mereka lakukan antara kedua tipe inferensi pragmatik, yakni tipe yang memasuki ‘apa yang dikatakanmaks’ dan tipe yang tidak, yakni implikatur percakapan. Kami telah memberikan alasan yang tepat tentang memperlakukan beberapa inferensi pragmatik (inferensi yang berkaitan dengan kata and (dan)) sebagaimana dieksplikasikan dalam bagian 3.1.2. Kami telah melihat bahwa minimal kadang-kadang, inferensi yang berkaitan dengan kata and bersifat kondisi kebenaran, dan bahkan Dominan. Di sini kami membuat argumen-penggunaan tersebut menjadi lebih umum.
Gagasannya adalah sebagai berikut. Kriteria “Independensi Fungsional” Carston dan “Prinsip Ketersediaan” Recanati ibarat dua sisi mata uang. Prinsip “Independensi Fungsional” Carston menyatakan bahwa inferensi yang berada di luar makna semantik linguistik dan tidak terikat dengannya adalah implikatur percakapan. Prinsip Recanati menyatakan bahwa inferensi yang tidak bisa dipandang penutur sebagai bagian eksternal merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ‘apa yang dikatakan.’ Menurut Recanati, penutur tidak menyadari representasi tingkat yang lebih rendah, yakni tidak menyadari tingkat semantik murni, atau tidak menyadari ‘apa yang dikatakanmin’. Hanya ‘apa yang dikatakanmaks’ saja yang secara sadar tersedia bagi mereka. Inferensi yang termasuk dalam representasi ini tidak pisah dipisahkan dari makna semantik, dan oleh karena itu bukan implikatur. Mereka adalah inferensi yang dieksplikasikan. Sekarang, kita bisa mengembangkan tes dari kedua prinsip ini, karena mereka memprediksikan dua pola yang berbeda untuk inferensi pragmatik. Inferensi yang sebagian memiliki pola dengan makna semantik dieksplikasikan, dan inferensi yang tidak memilikinya diimplikasikan.
Satu cara untuk memutuskan apakah suatu inferensi diimplikasikan atau tidak adalah dengan melihat apakah kita memiliki proposisi yang diekspresikan, tidak terikat dengan inferensi putatif (memiliki nama baik). Jika ada implikatur semacam ini, maka ia adalah implikatur, jika tidak, ia adalah (bagian dari) eksplikatur. Proposisi yang diekspresikan, tegas Carston, harus memberikan kontribusi terhadap asumsi yang independen. Perhatikan ujaran (24a), yang telah dikutip dalam bab 3, yang mengkomunikasikan ujaran (24b):
(24)a. ~LENORE: So that’s put you off traveling down there?
Jadi kau membatalkan pergi ke sana?
KEN: (H) So I eat the local food,
and get deathly ill.
(H) Jadi saya makan makanan setempat,
dan sakit parah sekali.
b. I eat the local food, and as a result I get deathly ill.
Saya makan makanan setempat, dan akibatnya saya sakit parah
sekali.
Pertanyaan ini menyangkut status inferensi kausal. Jika ujaran (24b) diimplikasikan, bukan dieksplikasikan (ini adalah pandangan minimalis), maka ‘apa yang dikatakan’ (‘I eat the local food and I get deathly ill'), menurut Carston, secara fungsional tidak terikat dengan apa yang diimplikasikan, karena ia dilibatkan oleh implikatur dalam ujaran (24b): jika benar bahwa ‘I eat and as a result I get deathly ill’ maka pasti benar bahwa ‘I eat and get deathly ill.’ Agar bisa melihat proposisi yang diekspresikan sebagai proposisi yang independen secara fungsional, maka kita harus memandang inferensi kausal sebagai inferensi yang dieksplikasikan.
Lagi pula, eksplikaturlah yang lazimnya berfungsi sebagai premise untuk inferensi yang lebih lanjut, termasuk implikatur Grice (Carston, 2002a: 190). Dalam ujaran (24), Ken menegaskan bahwa dia membatalkan pergi ke Meksiko. Tetapi dia melakukannya secara tidak langsung, dengan implikatur, bukan secara langsung. Yang penting, implikatur ini didasarkan pada inferensi kausal antara makan makanan setempat dan menderita sakit parah. Jika kita memandang ujaran Ken dalam ujaran (24) sebagai ujaran yang mengimplikasikan ujaran (24b), bukan mengeksplikasikannya, maka proposisi yang diungkapkan tidak memiliki peran yang independen untuk dimainkan dalam interaksi tersebut. Oleh karena itu, sekali lagi, inferensi kausal dieksplikasikan di sini.
Argumen yang sama tentang status independen yang dipertahankan untuk eksplikatur bisa dibuat untuk menerangkan banyak kasus lainnya. Perhatikan ujaran berikut, di mana kami menganalisis eksplikatur (25A2) sebagaimana dalam ujaran (26a), dan implikaturnya dalam ujaran (26b), agar bisa memastikan peran independen dalam wacana (dan kognisi) untuk eksplikatur:
(25) A1: Are you hungry?
Kau lapar?
B: Ya dikit, tak banyak.
A2: I ate a <unclear> house turkey sandwich (LSAC)
Aku makan sepotong house turkey sandwich <tak jelas>
(26) a. I ate a house turkey sandwich recently today.
Aku baru makan house turkey sandwich hari ini.
b. I’m not hungry.
Aku tak lapar.
Sebagai asumsi, di sini kami tidak menggunakan makna semantik yang mungkin diperkaya (‘There has been a house turkey sandwich eating occasion in my life’ (Dalam hidup saya, ada acara makan house turkey sandwich)), dan menggabungkannya dengan berbagai asumsi kontekstual lainnya untuk memperoleh (26b). Bahkan, ujaran (26a) itulah yang menjadi landasan untuk ujaran (26b). Karena makna semantik tanpa inferensi dalam ujaran (26a) tidak memiliki peran wacana, maka inferensi tersebut harus dieksplikasikan. Hal yang sama berlaku untuk ujaran:
(27) Well if you can don’t break a finger nail (LSAC)
Nah, jika Anda tidak bisa memotong kuku tangan
Yang dimaksud oleh Recanati adalah bahwa meskipun lawan bicara (interlokutor) mempertimbangkan inferensi yang dieksplikasikan (a finger nail di sini mengacu pada ‘one of your fingernails’), mereka tidak menyadari status yang mereka inferensikan. Inferensi ini terasa seperti bagian yang tak terpisahkan dari proposisi yang diekspresikan. Dalam ujaran (27), lawan bicara bahkan tidak menyadari makna semantik yang murni dari a finger nail, yakni, ‘anybody’s finger nail’ (kuku tangan siapa saja). Mereka hanya menyadari interpretasi yang diperkaya, ‘your finger nail.’ Demikian juga, semua yang mereka sadari dalam ujaran (16) adalah bahwa ‘she has a substantial amount of money,’ yakni eksplikaturnya, dan dalam ujaran (25A2), eksplikatur ujaran (26a) adalah apa yang kita perlakukan secara sadar. Menurut Recanati, kita bisa mengakses premis-premis yang menjadi landasan implikatur (eksplikatur), tetapi tidak bisa mengakses representasi semantiknya tanpa inferensi yang dieksplikasikan yang ditambahkan kepadanya. Itulah sebabnya mengapa kita tidak bisa menyusun kembali transfer dari makna semantik ke ‘apa yang dikatakanmaks’, tetapi, menurut Recanati, secara sadar kita bisa memberikan alasan yang tepat untuk langkah-langkah inferensi yang menuntun kita (sebagai mitra tutur) dari eksplikatur ke kesimpulan yang diimplikasikan melalui asumsi yang diimplikasikan secara bebas. Meskipun kita harus menarik inferensi yang diminta agar bisa menciptakan eksplikatur, inferensi-inferensi ini tidak bisa kita gunakan sedemikian rupa, kecuali sebagai bagian yang tak terpisahkan dari produk jadi, yakni eksplikaturnya. Kita hanya bisa mengakses representasi pasca pengayaan (dan pra-implikatur). Dengan demikian, Recanati memprediksikan bahwa untuk (25A2), mitra tutur bisa menyusun kembali derivasi ‘A is not hungry’ dari ‘A ate a house turkey sandwich recently today,’ tetapi tidak bisa menyusun kembali derivasi ‘A ate a house turkey sandwich recently today’ dari ‘A ate a house turkey sandwich.’
Hasil eksperimen Gibbs & Moise (1997) tampaknya memperkuat klaim Recanati (tetapi simak pokok bahasan 7.6 di bawah). Para subyek mereka, yang ditanya tentang apa yang ‘dikatakan’ penutur, selalu lebih memilih manajemen semantik yang diperkaya (eksplikatur) daripada makna semantik dasar. Pilihan ini bukan karena kecenderungan otomatis terhadap interpretasi yang diperkaya secara pragmatik, karena di mana saja sesuai, subyek memilih makna semantik yang tidak diperkaya, dan mereka juga tidak memilih makna yang disampaikan sebagai parafrase yang sesuai untuk ‘apa yang dikatakan.’ Bahkan, tindakan itu diambil pastilah karena makna semantik dan inferensi yang dieksplikasikan tidak dapat diganggu (dengan mudah) oleh para penutur yang naïf. Secara kebetulan, subyek bersikeras tetap memilih eksplikatur daripada makna semantik (atau agaknya lebih memilih ‘apa yang dikatakanmin’) bahkan setelah mereka diajari perbedaan yang dibuat Grice antara ‘apa yang dikatakan’ dan ‘apa yang diimplikasikan.’ Karena mereka diminta untuk memilih sesuai dengan intuisi mereka sendiri, tampaknya mereka tidak terpengaruh oleh konsep minimalis Grice, meskipun mereka peka terhadap perbedaan antara eksplikatur dan implikatur.
Eksplikatur tidak hanya harus memiliki status yang independen. Jika eksplikatur dan implikatur secara fungsional tidak boleh saling terikat satu sama lain, implikatur juga harus memiliki status independen. Sebenarnya, ujaran (26a), eksplikatur, dan (26b), implikatur, secara fungsional jelas tidak saling terikat satu sama lain. Mereka memiliki kandungan kondisi kebenaran yang berbeda: kebenaran ‘I ate a house turkey sandwich’ tidak terikat dengan kebenaran ‘I’m not hungry.’ Tentu saja, kebenaran implikatur tidak tergantung pada kebenaran proposisi yang diungkapkan. Yang lebih penting bagi perdebatan dalam bidang ini, implikatur tidak boleh mempengaruhi kondisi kebenaran proposisi yang diungkapkan. Seperti yang diperkirakan, meskipun tidak benar bahwa ‘I’m not hungry,’ (26a) bisa benar. Itulah sebabnya mengapa meskipun implikatur dari ujaran (28a), yang termuat dalam ujaran (28b), adalah palsu (ini jauh lebih sulit diterima di universitas daripada bagi sekolah tinggi khusus, lawan bicara tidak menganggap iklan menyatakan sesuatu yang salah:
(28)a. If you are not admitted by us – try the university.
Jika Anda tidak bisa kami terima – cobalah universitas itu.
Originally Hebrew, iklan untuk teachers’ college,
dimuat pada Maret 2003)
b. It is harder to be accepted to the college than to the university; the college is
more selective; studies at the college are at a higher academic level, etc.
Lebih sulit diterima di sekolah tinggi daripada di universitas;
perguruan tinggi khusus lebih selektif; mata kuliah di sekolah tinggi mencakup tingkat akademik yang lebih tinggi, dan lain sebagainya.
Demikian juga, perhatikan ujaran berikut:
(29) MA: Do you want to bring things and Sandy?
Apakah kau ingin membawa barang-barang dan Sandy?
ET: Yes. Not in this order.
Ya. Asal bukan karena perintah ini.
(Originally Hebrew, 8 September, 2005)
Dalam ujaran (29), ketika MA bertanya kepada ET apakah dia ingin membawakan barang-barang dan Sandy (anjing), ET tidak setuju dengan pilihan MA untuk memerintah (sesuatu yang penting), dengan mengatakan bahwa anjing itu seharusnya telah didaftarkan sebelum barang-barang tersebut. Namun demikian, penolakan ini terhadap implikatur tidak menghalangi dirinya untuk memberikan jawaban afirmatif terhadap pertanyaan tersebut (perhatikan jawabannya yes). Dengan demikian, penolakan implikatur tersebut tidak relevan dengan isi pertanyaan yang dieksplikasikan.
If, ketidakrelevanan dengan kebenaran proposisi yang diungkapkan sering merupakan paksaan itu sendiri yang ada di balik penggunaan implikatur. Dengan mengimplikasikan bukannya mengeksplikasikan suatu asumsi, penutur terbebas dari keharusan untuk mematuhi informasi yang mungkin tidak dia inginkan dalam mengemban tanggung jawab penuh terhadapnya. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dalam ujaran Josh (30):
(30) JS: Can I use my old Marker M48 or Tyrolia 590 racing bindings on
new skis?
Bisakah saya menggunakan racing bindings Marker M48 atau Tyrolia
590 saya yang lama pada ski yang baru?
JOSH: … My personal recommendation? Well, I could tell you what to do, but then you’d go out and bust your leg up like a ceramic mermaid figurine in an anvil-testing machine and sue me. No way I’m telling, because Skiing Magazine doesn’t indemnify me.
...Rekomendasi pribadi saya? Nah, saya bisa memberitahu Anda apa yang harus Anda lakukan, tetapi Anda harus keluar dan memukulkan kaki Anda ke atas patung duyung dari keramik dalam mesin pengetesan dan menuntut saya. Tidak begitu saya cara memberitahu Anda, karena Skiing Magazine tidak menjamin saya.
(“Ask Josh” column, Skiing Magazine, Desember, 2001)
Di sini penulis (Josh) tidak mengeksplikasikan jawaban afirmatif, ‘yes, you can use your old Marker M48 or Tyrolia 590 racing bindings on new skis,’ karena takut terhadap konsekuensi hukum mungkin harus dia tanggung.
Jadi, implikatur secara fungsional tidak terikat dengan makna semantik dan dengan proposisi yang diekspresikan. Bagaimana dengan eksplikatur bila dibandingkan dengan makna semantik? Eksplikatur secara fungsional tidak terikat dengan makna semantik. Eksplikatur bisa melibatkan makna semantik: ‘I ate a house turkey sandwich recently today’ melibatkan ‘I ate a house turkey sandwich’ (dan simak ujaran (16) lagi, di mana ‘she has a substantial amount of money’ yang dieksplikasikan melibatkan ‘she has some nonzero amount of money’ yang di-enkode). Eksplikatur (untuk sebagian besar) hanyalah merupakan perkembangan representasi konseptual tak lengkap yang disediakan oleh analisis semantik linguistik kita. Eksplikatur dibentuk dari materi yang di-enkode secara eksplisit, biasanya dengan pengayaan yang membuat ujaran menjadi lebih khusus. Itulah sebabnya mengapa ujaran (26a), eksplikatur, terasa seperti makna intuitif dari (25A2), meskipun kenyataannya ia mengandung beberapa aspek yang diinferensikan.
Berikut kami sajikan beberapa ujaran tambahan tentang bagaimana inferensi yang dieksplikasikan berkombinasi dengan makna semantik untuk membentuk representasi yang holistik (eksplikatur), yakni inferensi yang dieksplikasikan memberikan kontribusi terhadap kondisi kebenaran proposisi yang diungkapkan.
(31)a. There is a difference between taking fire and taking fire.
Ada perbedaan antara taking fire and taking fire.
(Originally Hebrew, Israeli TV, Channel 10, 23 Maret, 2007)
b. But most Israelis are happy to see that the bulldozeri ((Ariel Sharon – MA)) has done the ((dirty/hard)) work for them. They are willing to close their eyes ((pretend not to see)) if he/iti goes through a red light ((commits an illegal action)), or tramples on ((brutally ignores)) the decisions of the party that elected him.
Tetapi sebagian besar orang Israel senang mengetahui the bulldozeri (Ariel Sharon – MA) telah melaksanakan pekerjaan ((kotor/berat)) bagi mereka. Mereka mau menutup mata (berpura-pura tidak melihat)) jika dia telah melanggar lampu merah ((melakukan tindakan yang melawan hukum), atau menginjak-injak ((mengabaikan secara brutal)) keputusan partai yang telah memilihnya.
(Haaretz edisi bahasa Inggris, 1 April, 2005)
Apa yang dimaksudkan oleh tentara yang diwawancarai dalam ujaran (31a) adalah bahwa tingkat penembakan musuh tertentu lebih sulit dilakukan daripada tingkat penembakan musuh yang lain. Yang jelas, kita perlu menginterpretasikan kedua peristiwa ‘menembak’ saling berbeda satu dari yang lain, dengan mengatakan ‘taking firelight’ versus ‘taking fireheavy.’ Tipe tembakan yang diinferensikan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proposisi yang diungkapkan dan kondisi kebenaran dari proposisi yang diungkapkan di sini harus membuat acuan pada sifat tembakan yang diinferensikan.
Persis sebagaimana inferensi yang dieksplikasikan dalam ujaran (31a) memberikan kontribusi terhadap proposisi itu sendiri yang kita nilai untuk mengetahui nilai kebenaran, begitu juga halnya inferensi-inferensi yang ditarik dalam ujaran (31b), Dengan kata lain, orang yang berpikir Sharon tidak mengambil tindakan illegal (eksplikatur goes through a red light), atau bahwa dia tidak mengabaikan secara brutal (inilah eksplikatur dari tramples) keputusan partainya, paling besar kemungkinannya untuk menganggap ujaran (31b) salah hanya karena proposisi-proposisi ini adalah salah (dan bukan karena Sharon secara harfiah bukan bulldozer, tidak menginjak-injak apapun secara fisik, dan mungkin tidak menghadapi lampu merah apapun). Jika demikian, maka inferensi yang ditarik di sini dieksplikasikan bukan diimplikasikan. Itulah sebabnya mengapa inferensi yang dieksplikasikan bersifat implisit pada apa yang dikatakan penutur, sedangkan implikatur diimplikasikan oleh tindakan untuk menyampaikan pesan yang di-enkode.
Berikut adalah cara intuitif untuk menterjemahkan kriteria independensi fungsional ke dalam heuristik praktis untuk menentukan status inferensi yang dikomunikasikan. Kita bisa bertanya dalam hati apakah inferensi putatif merupakan interpretasi yang menarik bagi penutur untuk disampaikan (secara tidak langsung) di samping isinya yang implisit. Jika jawabannya positif, ia merupakan implikatur (eksternal). Tetapi jika ia merupakan sepenggal informasi yang tidak bisa dilihat sebagai unsur tambahan yang independen, karena tampak tidak bisa dipisahkan dari pesan yang di-enkode, inferensi tersebut dieksplikasikan. Dalam berbagai kasus semacam ini kita tidak melihat penutur menyampaikan makna yang eksplisit maupun makna yang diperoleh di atas makna yang eksplisit. Bahkan, makna yang diperoleh merupakan eksplikatur yang dikomunikasikan secara langsung. Dengan kata lain, meskipun implikatur maupun inferensi yang dieksplikasikan bersifat implisit, implikatur tambahan memiliki status sekunder tidak langsung dalam wacana, sedangkan inferensi yang dieksplikasikan merupakan bagian dari pesan yang ditegaskan secara langsung. Perhatikan kasus-kasus pertama yang melibatkan inferensi yang dieksplikasikan menurut analisis kami sejauh ini. Kita boleh saja berasumsi bahwa tentang ujaran (16), kita tidak akan menggambarkan secara khusus penutur telah berkata bahwa (a) ‘she has a nonzero amount of money,’ dan di samping itu bahwa (b) ‘possibly she has a substantial amount of money.’ Sebaliknya, kita bisa melihat penutur telah menyampaikan satu pesan saja ‘she has a substantial amount of money.’ Hal yang sama berlaku untuk ujaran (25A2) dan (31b). Dengan demikian, masalahnya bukanlah bahwa pembaca (31b) menginterpretasikannya sebagai: (i) ‘… the bulldozer (=machine) has done the work…’ (‘apa yang dikatakan’), dan di samping itu, (ii) ‘Sharon is like bulldozer, i.e. ruthless’ (Sharon seperti bulldozer, yakni tak berperasaan) (diimplikasikan) atau bahwa (i) ‘it (the bulldozer = machine) goes through a red traffic light’ (‘apa yang dikatakan’), dan, di samping itu, (ii) ‘Sharon is like bulldozer and he takes illegal actions’ (diimplikasikan), dan lain sebagainya. Sebaliknya, kita menggabungkan interpretasi yang diinferensikan di sini ke dalam satu eksplikatur, di mana bulldozer bukan mesin, tidak lampu merah yang benar-benar dilanggar, dan lain sebagainya.
Bandingkan hasil tes “di samping itu” untuk inferensi yang dieksplikasikan dengan hasil untuk kasus-kasus implikatur percakapan klasik (yang dikhususkan). Dalam ujaran (28a) di atas, penutur sedang mengimplikasikan bahwa lebih sulit diterima di akademi keguruan tertentu yang diiklankan daripada di universitas. Kira-kira dengan kata lain kita bisa mengatakan bahwa penutur di sini ‘mengatakan’ bahwa ‘jika Anda tidak … cobalah universitas itu,’ dan di samping itu secara tidak langsung mereka mengkomunikasikan ‘mata kuliah yang diajarkan di akademi tersebut lebih sulit, dan lain sebagainya.’ Dengan jelas kita bisa memisahkan implikatur dari eksplikatur. Demikian juga, Josh dalam ujaran (30) tidak sedang mengeksplikasikan jawabannya kepada JS. Dia sedang mengimplikasikannya. Yang dia eksplikasikan adalah ‘I could tell you…’ Dan di samping itu dia mengimplikasikan bahwa ‘yes, you can use your old…’ Kembali ke ujaran (25), bukan berarti bahwa penutur berkata ‘I ate a house turkey sandwich,’ dan di samping itu secara tidak langsung mengatakan bahwa ‘the eating took place recently today’ ((tindakan) makan terjadi baru saja hari ini). Sebaliknya, dia mengatakan ‘I ate a house turkey sandwich recently today,’ dan di samping itu secara tidak langsung dia mengkomunikasikan ‘I am not hungry and not interested in eating now’ (Saya tidak lapar dan tidak tertarik untuk makan sekarang). Dengan kata lain, meskipun kenyataannya eksplikatur mengandung pengayaan pragmatik, eksplikatur memainkan peran yang berbeda dari peran implikatur.
Dengan demikian eksplikatur dan implikatur juga berbeda dalam pengertian bahwa eksplikatur langsung dikomunikasikan oleh penutur, tetapi implikatur merupakan makna yang bersifat tidak langsung. Bagi para ahli teori Relevansi, inferensi yang dieksplikasikan berperan sebagai asumsi-asumsi yang dikomunikasikan secara eksplisit (di sini Bach tidak sependapat). Ada beberapa temuan psikolinguistik yang sesuai dengan perbedaan ini. Gibbs (2004) melaporkan waktu membaca yang berbeda untuk kalimat yang sama, di mana dalam satu konteks hanya inferensi yang dieksplikasikan saja yang dituntut (yang relevan), dan dalam konteks yang lain, yang disampaikan dengan kuat adalah implikatur percakapan (hanya saja implikatur tersebut menganggap ujaran penutur relevan). Dia menemukan bahwa ketika implikatur diperlukan bagi pertautan wawancara (hal ini dibuktikan dalam eksperimen yang berbeda), waktu membaca lebih lama. Dengan kata lain, para subyek menggunakan waktu tambahan untuk memproses implikatur, dan mereka membutuhkan waktu lebih lama daripada yang mereka perlukan untuk memproses eksplikatur, meskipun mereka juga melibatkan pengambilan inferensi pragmatik.
Tes lain untuk membedakan antara inferensi yang dieksplikasikan dan implikatur yang diajukan oleh Carston (1988, 2002a: bab 2) dan Recanati (1989, 2001) adalah kriteria penyematanlingkup (embedding/scope), yang telah kami sebutkan dalam bagian 3.1. Inferensi putatif dieksplikasikan jika ia termasuk dalam lingkup operator logika. Dasar pemikirannya adalah bahwa operator logika memiliki lingkup hanya pada materi yang dinyatakan secara eksplisit. Ternyata meskipun implikatur tidak menunjukkan kepekaan interpretatif semacam ini, inferensi yang dieksplikasikan benar-benar berada di bawah lingkup operator logika, yang menunjukkan bahwa mereka menunjukkan kehadiran “langsung”, meskipun bersifat implisit. Kita telah melihat bahwa beberapa inferensi yang berkaitan dengan and (dan) lulus tes ini. Perhatikan lagi ujaran (14) dari bab 3, yang merupakan penyematan dari ujaran (24a) di bawah operator kondisional:
(32) ~If I eat local food and get deathly ill I should stop going to Mexico.
Jika saya makan makanan setempat dan terkena sakit parah, saya harus membatalkan pergi ke Meksiko.
Pertanyaan ini menyangkut status interpretasi kausal yang kadang-kadang berkaitan dengan klausa yang digabungkan oleh and. Jelas sekali, alasan yang diberikan oleh penutur (dalam anteseden) bahwa dia harus membatalkan bepergian ke Meksiko (sebagai akibatnya) merupakan hubungan kausal yang diinferensikan antara makan makanan setempat dan terkena sakit parah. Itulah sebabnya mengapa ujaran ini kira-kira sama dengan ujaran (33a), di mana kita melekatkan proposisi yang diperkaya di bawah kalimat kondisional yang sama, namun berbeda dari ujaran (33b), di mana kita melekatkan susunan konstituen yang terbalik di bawah kalimat kondisional yang sama:
(33) a. ~If I eat the local food and as a result I get deathly ill I should stop going to
Mexico.
Jika saya makan makanan setempat dan terkena sakit parah, saya harus
membatalkan pergi ke Meksiko.
b. ~I I get deathly ill and eat the local food I should stop going to Mexico.
Jika saya terkena sakit parah dan makan makanan setempat saya harus
membatalkan pergi ke Meksiko.
Berbagai kenyataan ini menunjukkan status interpretasi kausal yang secara potensial dieksplikasikan (bukan diimplikasikan) di sini. Isi anteseden kalimat kondisional di sini mencakup hubungan kausal yang diinferensikan.
Sekarang mari kita periksa apa yang kami usulkan untuk mempertimbangkan inferensi yang diimplikasikan JS dalam ujaran (33a). Untuk melihat perilaku implikatur percakapan di bawah kalimat kondisional, perhatikan versi ujaran (30) yang lebih singkat di atas:
(34) ~JS: Can I use my old Marker M48 bindings on new skis?
JOSH: Skiing Magazine doesn’t indemnify me.
Dalam ujaran (34) tampaknya Josh mengimplikasikan (35):
(35) I don’t dare tell you that you can use your old Marker M48 bindings on new
skis .
Saya tidak berani berkata bahwa Anda bisa menggunakan Marker M48
bindings Anda yang lama.
Sekarang, mari kita lihat apakah implikatur ini melekat di bawah kalimat kondisional:
(36) ??If Skiing Magazine doesn’t indemnify Josh, he’s a coward.
Jika Skiing Magazine tidak menjamin Josh, maka dia seorang pengecut.
Skiing Magazine tidak memberikan jaminan. Ujaran (36) tidak bisa dimengerti karena konsekuen (‘he’s a coward’) hanya relevan dengan implikaturnya (‘Josh doesn’t dare tell JS that he can use his old bindings’). Karena kalimat kondisional tidak bisa diterapkan pada implikatur, ujaran tersebut tidak bertalian secara logis. Agar kalimat kondisional tersebut bisa diterapkan pada ujaran (35), kita harus mengeksplikasikan implikaturnya, sebagaimana dalam ujaran:
(37) If Josh doesn’t dare tell JS that he can use his old Marker M48 bindings on
new skis, he’s a coward.
Jika Josh tidak berani berkata kepada JS bahwa dia bisa menggunakan Marker M48 bindings-nya yang lama pada ski-ski yang baru, maka dia seorang pengecut.
Dengan kata lain, karena eksplikatur mewakili makna semantik maupun inferensi yang dieksplikasikan, ia tidak mewakili implikatur. Itulah sebabnya mengapa ketika konsekuen relevan dengan inferensinya, kasus eksplikatur menjadi bertalian secara logis (37), tetapi kasus implikatur (36) tidak demikian.
Kita mendapatkan hasil yang serupa jika kita menyerahkan kedua interpretasi di atas kepada penyangkalan (simak karya Carston, 2004a). Bandingkan ujaran-ujaran berikut:
(38) a. ~KEN: So I eat the local food and get deathly ill.
Jadi saya makan makanan setempat dan terkena sakit parah.
JOANNE: No, you don’t eat the local food and get deathly ill.
Tidak, kau tidak makan makanan setempat dan terkena sakit
parah.
~JS: Can I use my old Marker M48 bindings on new skis?
Apakah saya bisa menggunakan old Marker M48 bindings
saya pada perlombaan ski yang baru?
JOSH: Skiing Magazine doesn’t indemnify me.
Skiing Magazine tidak menjamin saya.
MAYA: No! Skiing Magazine does indemnify you.
Tidak! Skiing Magazine benar-benar menjamin Anda.
Perhatikan bahwa dalam ujaran (38a) penolakan Joanne terhadap ujaran Ken juga bisa berlaku untuk hubungan kausal tersebut. Tetapi penolakan Maya terhadap ujaran JS dalam ujaran (38b) tidak bisa diterapkan pada hubungan yang dieksplikasikan ‘Josh tidak berani mengatakan bahwa JS boleh menggunakan old Marker M48 bindings pada perlombaan ski yang baru.’ Jadi, Joanne bisa melanjutkan penolakannya dengan (39a), tetapi Maya tidak bisa melakukannya dengan (39b):
(39) ~a. There is no connection between your eating the local food and your
getting deathly ill.
Tidak ada kaitannya antara kau makan makanan setempat dengan kau
terkena sakit parah.
~b. You do dare tell JS that he can use his old Marker M48 bindings on
new skis.
Anda benar-benar berani berkata bahwa JS boleh menggunakan
old Marker M48 bindings pada perlombaan ski yang baru.
Pertalian logis rangkaian ujaran (38a) dan (39a) dengan pertalian yang tidak logis rangkaian ujaran (38b) dan (39b) sekali lagi membuktikan kebenaran bahwa hubungan kausal dalam ujaran (24a) merupakan bagian dari proposisi yang diekspresikan, sedangkan inferensi dari ujaran (34) tidak. Yang pertama dieksplikasikan, sedangkan yang kedua adalah implikatur.
Berikut kami sajikan ujaran yang telah dibuktikan kebenarannya di mana inferensi yang dieksplikasikan dan dianggap telah memberikan alasan otherwise (jika tidak), sekaligus tekanan kontrastif pada I:
(40) J: ^Youi slised the ^bread.
Kau telah memotong roti itu.
Mi: Of ^course, otherwise ^Ii would have had to slice it.
Tentu saja, jika tidak, saya harus memotongnya sendiri.
Bagaimana ujaran M I would have … merupakan alternatif yang berbeda dari ujaran You sliced ... bila keduanya mengacu pada M yang memotong roti itu? M baru saja kembali dari toko roti dengan sebongkah roti. Apa yang dieksplikasikan J adalah bahwa M memotong roti itu secara tidak langsung (dia telah meminta pegawai toko untuk memotong roti itu dengan mesin potong mereka). Dengan demikian, M memperlakukan interpretasi ini bertentangan dengan (perbuatannya) memotong roti (dengan tangan, di rumah). Yang penting bagi kita adalah bahwa interpretasi yang diinferensikan terhadap slice (‘slice indirectly’ (memotong secara tidak langsung)) membenarkan penggunaan kata otherwise. Dengan demikian, ada alasan yang tepat untuk membedakan antara inferensi yang dieksplikasikan dan inferensi yang diimplikasikan.
Ringkas kata, kita telah mengetahui bahwa (i) proposisi yang diungkapkan harus memainkan peran wacana dan inferensi yang independen, (ii) inferensi yang dieksplikasikan tidak bisa dipisahkan dari makna semantiknya tetapi (iii) implikatur berada di luar makna semantik. Asumsi ini dan berbagai tesnya yang praktis, berbagai macam cara pengetesan apakah inferensi tertentu mempengaruhi/tidak mempengaruhi isi kondisi kebenaran proposisi yang diungkapkan, tes “in addition” (di samping itu), intuisi penutur mengenai ketidakberpisahan kembali (re (in)separability), dan lain sebagainya, semuanya memberikan prediksi yang agak baik tentang apakah suatu inferensi (dalam konteks tertentu) diimplikasikan atau dieksplikasikan.
Bahkan, para peneliti tidak lagi melihat tingkat-tingkat inferensi begitu saling berbeda satu dari yang lain seperti semula. Meskipun Recanati merupakan salah satu orang pertama yang berpendapat bahwa saturasi pun (penyelesaian yang diperlukan untuk ‘apa yang dikatakanmin’) benar-benar harus mengakses maksud penutur (“konteks yang luas”), terakhir dia berpendapat bahwa inferensi yang dieksplikasikan tampaknya mungkin hanya mengandalkan pada maksud penutur. Alih-alih menggunakan proses penalaran yang telah matang, Recanati (khususnya 2002a) justru berpendapat bahwa inferensi yang dieksplikasikan (sebagai proses yang paling penting baginya) merupakan inferensi yang tidak sadar dan bersifat otomatis karena inferensi-inferensi tersebut sebenarnya bertumpu pada hubungan. Aktivasi penyebar (Spreading activation) konon dianggap bertanggungjawab atas inferensi yang dieksplikasikan. Inferensi-inferensi ini bersifat inferensial hanya dalam pengertian yang sangat luas, dalam pengertian yang sama di mana persepsi bersifat inferensial. Gagasan ini, yang tetap didukung oleh bukti psikolinguistik, agaknya mereduksir perbedaan antara gagasan minimalis dan gagasan maksimalis tentang inferensi yang membentuk bagian dari ‘apa yang dikatakan.’ Inferensi yang tidak sadar dan bersifat otomatis secara kognitif tidak sesulit memperkirakan maksud penutur. Dalam hal ini, inferensi ini tampak lebih dekat dengan penyelesaian konteks otomatis yang tidak penting seperti yang diasumsikan oleh kalangan minimalis.
Di samping itu, sekarang argumen komplementer menyatakan bahwa inferensi yang diimplikasikan bagaimanapun juga tidak begitu berbeda dari inferensi yang dieksplikasikan. Recanati (2002a) tidak percaya bahwa implikatur selalu lambat, tertatih-tatih, dan tidak bebas. Implikatur juga bersifat spontan dan kurang lebih bersifat otomatis. Carston (2002b) mengambil pendapat yang bahkan lebih radikal tentang implikatur. Pertama, sejak Blakemore (1987), para ahli teori Relevansi berpendapat bahwa upaya untuk menghasilkan implikatur tidaklah terbatas seperti kelihatannya: minimal kadang-kadang upaya ini dibimbing oleh ekspresi linguistik (prosedural) (misalnya after all). Yang lebih akhir, mereka berpendapat bahwa implikatur tidak dicapai secara sadar oleh mitra tutur. Sebaliknya, implikatur diperoleh secara otomatis dalam modul bidang khusus (simak karya Wilson, 2005). Menurut teori Relevansi, tidak ada perbedaan kognitif antara inferensi yang dieksplikasikan dan yang diimplikasikan: keduanya bertumpu pada jenis konteks (luas) yang sama, keduanya dibimbing (dibatasi) oleh prinsip Relevansi, kedua tidak selalu tegas (Carston, 2002a: bab 5). Di samping itu, keduanya tidak selalu diperoleh secara berurutan (eksplikatur mendahului implikatur), tetapi sebaliknya, secara simultan, keduanya saling membatasi satu sama lain (simak karya Wilson, 2003, Wilson & Sperber, 2004). Namun demikian, terlepas dari pandangan yang berubah ini, tetap saja ada perbedaan nyata antara implikatur dan inferensi yang dieksplikasikan baik untuk teori Relevansi maupun bagi Recanati. Implikatur dan inferensi yang dieksplikasikan memainkan peranan yang berbeda dalam kehidupan mental kita dan dalam wacana. Logisnya, menurut teori Relevansi, eksplikatur terjadi sebelum implikatur.
Tabel 7.1 merangkum perbedaan antara inferensi yang diimplikasikan dan inferensi yang dieksplikasikan, karena semuanya memiliki ciri-ciri yang sama (sama-sama implisit, sama-sama bisa dibatalkan, dan sama-sama tidak tegas). Perbedaan antara implikatur yang lemah dan yang kuat (simak lagi bagian 1.3) telah ditambahkan untuk kelengkapan.
Tabel 7.1 Cara Membedakan inferensi yang diimplikasikan dan yang dieksplikasikan
Inferensi yang dieksplikasikan Implikatur yang kuat Implikatur yang tidak kuat
Eksplisit
Dapat dibatalkan
Tidak tegas
Langsung/tidak
dapat dipisahkan
Secara
interaksional
Perlu
Kondisi kebenaran –
+
+
+
+
+ –
+
+
–
+
+/– –
+
+
–
–
–
Perbedaan penting antara inferensi yang diimplikasikan dan yang dieksplikasikan merupakan ciri yang di sini disebut “directness” (kelangsungan), yang dihubungkan dengan ketidakterpisahan inferensi yang dieksplikasikan dari makna semantik yang dikomunikasikan secara langsung. Ini merupakan refleks lingkup dan prinsip independensi fungsional. Kedua ciri selanjutnya juga membedakan antara implikatur yang kuat dan implikatur yang lemah. Implikatur yang kuat adalah seperti inferensi yang dieksplikasikan dalam pengertian bahwa mereka diperlukan dalam interaksi (ujaran sebaliknya tidak bisa dipandang relevan – simak ujaran (51), (52) di bawah). Tidak demikian halnya dengan implikatur yang lemah. Tetapi perhatikan bahwa bahkan ketika implikatur (yang kuat) itulah yang memberikan kontribusi yang relevan terhadap wacana, eksplikaturnya harus dihitung. Pertama, eksplikatur berfungsi sebagai premis dalam memperoleh implikatur. Kedua, sebagaimana ditunjukkan oleh hasil penelitian Gibbs (2004) (simak di bawah), para subyek yang ditanya tentang ‘apa yang dikatakan’ selalu memilih eksplikatur maupun implikatur, bukan hanya implikatur dalam kasus-kasus implikatur yang kuat saja. Akhirnya, karena inferensi yang dieksplikasikan memberikan kontribusi terhadap kondisi kebenaran proposisi yang dikemukakan, implikatur yang lemah tidak memberikannya. Namun demikian, implikatur yang kuat bisa memiliki pola yang sama dengan inferensi yang dieksplikasikan terhadap masalah ini (simak hasil-hasilnya untuk ujaran (52) di bawah).
Hasil dari pokok bahasan 7.3.2 adalah bahwa pendapat kalangan maksimalis secara intuitif bukan hanya memuaskan, tetapi juga bertalian secara logis dan sesuai dengan perbedaan antara ‘apa yang dikatakan’ dan implikatur.
7.4 ‘Apa yang dikatakan’ mini-maks
Pendekatan maksimalis, sebagaimana telah kita ketahui, lebih memilih merepresentasikan isi ujaran yang dimaksudkan secara intuitif (daripada mengesampingkan implikatur). Ongkos yang harus mereka tanggung adalah “pengacauan” pragmatik yang berat terhadap makna tingkat dasar yang kita asumsikan sebagai ‘apa yang dikatakan.’ Pendekatan yang dibahas dalam pokok bahasan 7.4 menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada ongkos yang harus ditanggung untuk mengasumsikan ‘apa yang dikatakanmaks.’ Para ahli berpendapat bahwa meskipun konsep yang relevan merupakan proposisi intuitif (maksimalis) yang diungkapkan, penyelesaian kontekstual yang diperlukan semuanya harus bersifat gramatikal (termasuk kasus-kasus yang dikelompokkan sebagai ‘pengayaan bebas’). Sebenarnya, penyelesaian itu merupakan saturasi, sehingga penyelesaian yang diperlukan untuk mengisi kesenjangan (gap) yang agak lebar antara makna semantik dan makna yang bisa dibuktikan kebenaran, bagaimanapun juga, benar-benar merupakan bagian dari konsep minimalis ‘apa yang dikatakan’. Pendekatan ini sebenarnya menolak bahwa ada konflik yang selalu terjadi antara ‘apa yang dikatakan’ minimalis dan ‘apa yang dikatakan’ maksimalis, karena kontribusi kontekstual minimalis dapat memberikan konsep ‘apa yang dikatakan’ yang secara intuitif dapat memuaskan. Keuntungan pendekatan ini adalah karena ia mempertahankan prinsip komposisionalitas (compositionality) makna (yang menurutnya, makna secara keseluruhan merupakan gabungan dari semua komponen linguistik yang ada) pada tingkat ‘apa yang dikatakan¬maks’ dan (tidak hanya pada tingkat semantik linguistik). Hal ini tidak mungkin bisa terjadi pada pendekatan ‘apa yang dikatakanmaks’, di mana beberapa pengayaan didasarkan pada konstituen yang tidak diartikulasikan (yakni aspek interpretatif yang hilang yang penyelesaiannya merupakan bagian dari proposisi yang diungkapkan, meskipun tidak dipicu oleh grammar – simak karya Perry, 1993).
Ingat bahwa pendekatan inklusif semacam ini merupakan strategi yang diadopsi oleh Grice sebagai jalan keluar acuan dan ketaksaan. Sebenarnya, ada kesepakatan dalam bidang yang harus kami asumsikan minimal sebagai “konstituen yang tidak diartikulasikan” secara gramatikal, yakni konstituen interpretasi semantik yang karena keberadaan interpretasi tersebut maka tidak muncul konstituen yang terang-terangan dan kaidah linguistik tidak mewajibkan untuk memperolehnya kembali (tetapi perhatikan bahwa para peneliti yang berbeda menerapkan analisis ini pada fenomena yang agak berbeda). Dengan kata lain, ada beberapa kasus di mana inferensi kontekstual menyediakan konstituen semantik yang tidak sesuai dengan “Syntactic Correlation Constraint” (ingat kriteria yang diajukan Bach). Satu ujaran yang memicu gerakan ini adalah ujaran Perry (1993: 206) It is raining (Sekarang hujan), di mana secara kontekstual kita harus menyediakan lokasi bagi terjadinya hujan, meskipun tidak dihipotesiskan refleks gramatikal dari nilai ini. Jika tidak, pernyataan tersebut hampir selalu benar (di manapun pasti terjadi hujan pada saat tertentu dalam waktu – Recanati, 2002b). Bach (1994), Recanati (2001), and Carston (2002a) semuanya telah mengacu pada penyelesaian semacam ini, meskipun pada tingkat yang berbeda-beda.
Stanley (2000) telah menyajikan versi pendekatan inklusif Grice yang ekstrem, dengan menurunkan derajad pada penyelesaian yang dimandatkan oleh grammar terhadap berbagai macam interpretasi kontekstual yang oleh sebagian besar peneliti dipandang bersifat opsional dan pragmatik (pengayaan bebas). Sesungguhnya, bagi Stanley (2000: 431), “seluruh efek kondisi kebenaran konteks bisa dilacak pada bentuk logika (cetak tebal sebagai penekanan).” Inilah bagaimana ‘apa yang dikatakan’ dipastikan mencakup semua kondisi kebenaran proposisi yang secara intuitif relevan sekali (‘apa yang dikatakanmaks’). Tentu saja, agar analisis ini bisa efektif, banyak variabel tersembunyi yang harus dikenakan pada representasi linguistik. Memanfaatkan inferensi sistem bahasa yang hanya dimandatkan secara konseptual/pragmatik secara teoretis bukanlah langkah yang remeh. Agar bisa memaksa analisis yang sangat abstrak ini, Stanley menunjukkan bahwa, sebenarnya, konstituen-konstituen yang tidak diartikulasikan ini berinteraksi dengan operator kalimat (ingat prinsip lingkup sebagai kriteria untuk inferensi yang dieksplikasikan). Dengan kata lain, konstituen yang diperkirakan tidak diartikulasikan ini berperilaku seolah-olah tidak diartikulasikan secara khusus, seolah-olah mereka berada di bawah lingkup operator yang terang-terangan. Berikut kami sajikan satu ujaran yang relevan:
(41) But um, basically, it’s like ultimately each time I’ve been a nice guy this
year I’ve been stung. (LSAC)
Tetapi, em, pada dasarnya, akhirnya seolah-olah saya terdorong untuk
menjadi anak yang manis tahun ini.
Perhatikan bahwa saat-saat ‘terdorong’ (tidak ada indikator waktu) pasti berbeda dari saat-saat ‘menjadi anak yang manis’ (penutur mengaku merasa terdorong setiap saat mengikuti masing-masing kesempatan menjadi anak yang manis). Hubungan yang mengikat semacam ini konon membuktikan adanya penetapan waktu (nilai yang diberikan secara kontekstual untuk variabel linguistik) untuk ujaran ‘I’ve been a nice guy’ dalam bentuk logika (representasi makna semantik linguistik) kalimat tersebut. Karena konstituen yang tidak diartikulasikan berinteraksi dengan konstituen kalimat yang terang-terangan, maka argumennya adalah bahwa konstituen ini memainkan peranan gramatikal, dan bukan hanya peran pragmatik. Oleh karena itu, derivasinya harus dipandang sebagai saturasi, bukan sebagai ‘pengayaan bebas.’
Namun demikian, baik kelompok minimalis maupun maksimalis secara meyakinkan menentang proposisi ini, dan mengajukan analisis alternatif untuk data-data yang diajukan Stanley. Bach menunjukkan bahwa pengayaan kontekstual bukanlah tipe pemerolehan kembali konteks otomatis yang diperkirakan orang berasal dari makna semantik. Wilson dan Sperber menunjukkan bahwa tidak ada batas terhadap jumlah variabel yang tersembunyi yang mungkin perlu kita perkirakan (mereka menunjukkan bagaimana masing-masing konteks harus mengandalkan pada “variabel” yang berbeda), yang membuat usulan tersebut secara psikologis menjadi tidak mungkin. Perhatikan ujaran berikut:
(42) JD: We can walk to Erez,
and have breakfast there.
Kita bisa jalan kaki ke Erez,
dan makan pagi di sana.
MA: But we’re having lunch at my parents,
and we’re going out with RG tonight. ((BARIS DIHILANGKAN)
Tapi kita akan makan siang di rumah orang tuaku,
dan kita akan keluar jalan-jalan bersama RG malam nanti.
JD: Okay, We’ll have breakfast another day.
Baiklah, Kita akan makan pagi hari yang lain.
MA: Maybe tomorrow.
Barangkali besok. (7 September, 2005, 7:20 pagi)
Meskipun lokasi tidak wajib dengan ujaran have breakfast, jelas sekali bahwa JD dan MA di sini tidak mengambil keputusan untuk makan pagi pada hari yang lain tetapi tidak pada hari terjadinya percakapan tersebut. Yang mereka putuskan untuk dilakukan adalah makan pagi di luar (di Erez café) pada hari yang lain dan bukan hari itu. Alih-alih melibatkan pengayaan otomatis yang bersifat wajib terhadap begitu banyak variabel yang tersembunyi (inilah analisis Stanley diberikan kepada kita), Sperber & Wilson mengusulkan bahwa penyelesaian semacam ini harus dilakukan secara selektif sesuai kebutuhan, sebagaimana dalam ujaran (42) (yang ditentukan oleh pertimbangan Relevansi). Pengayaan lokatif yang sama benar-benar tidak bisa dimengerti dalam ujaran berikut:
(43) A: You should eat sometime today, you know.
Kau harus makan kapan saja hari ini.
B: I will eat at some point. I had breakfast.
Aku akan makan nanti. Aku telah makan pagi. (LSAC)
Di samping itu, menurut Carston (2003b), kita tidak mungkin bisa menjelaskan seluruh ‘pengayaan bebas’ dengan mengacu pada konstituen yang tidak diartikulasikan yang ditandai secara gramatikal untuk penyelesaian. Bagaimana pengadaptasian konsep (sebagaimana dibahas di atas tentang ujaran-ujaran dalam (21)) bisa dipandang sebagai isian wajib (obligatory filling) dalam nilai untuk variabel linguistik, ketika kadang-kadang denotasi yang sangat leksikal itu harus fleksibel? Akhirnya, Carston (2004b) menunjukkan bahwa Stanley (2000) tidak bisa menjelaskan ujaran subkalimat seperti dalam ujaran (44), yang kami isi dengan sesuatu seperti materi yang ditetapkan dalam tanda kurung:
(44) … I am indebted to those attending either that presentation or the later one in Lansing, and to ((13 names follow – MA)) for their comments, suggestions, and complaints. Needless to say, … ((all remaining errors are my own – MA))
… saya berterima kasih sekali kepada orang-orang yang menghadiri presentasi tersebut atau presentasi yang terakhir di Lansing, dan kepada ((13 nama berikut – MA) atas komentar, saran, dan keluhan yang mereka berikan. Sudah pasti, … ((semua kesalahan lainnya adalah kesalahan saya sendiri – MA)) (Horn, 2006
Penyelesaian tersebut sangat terbuka. Perhatikan bahwa bahkan ketika kita mengetahui apa isinya secara umum, tidak ada penyelesaian khusus yang dimaksudkan dengan jelas, atau minimal, diperoleh kembali:
(45) M: Grey. (abu-abu) (28 April, 2007)
Konteks untuk ujaran (45) adalah bahwa mitra tutur sedang berdiri di depan pintu, ragu-ragu kunci mana yang harus digunakan. Bisakah kita memutuskan mana yang dimaksudkan oleh M berikut?
(46) a. It’s the grey key for this door.
Kunci abu-abu untuk pintu ini.
b. Use the grey key to open this door.
Gunakan kunci abu-abu untuk membuka pintu ini.
c. The grey key opens this door.
Kunci abu-abu membuka pintu ini.
Kemungkinan yang paling besar adalah kita tidak bisa memutuskan. Jika kita tidak bisa menentukan apa yang dimaksud M, maka kalimat itu tidak gramatikal. Dengan demikian, upaya untuk menghilangkan kesenjangan antara pemahaman maksimalis dan minimalis dalam konsep ‘apa yang dikatakan’ tampaknya tidak berhasil.
Dengan demikian, konsep minimalis-maksimalis ‘apa yang dikatakan’ tidak mungkin terjadi. Dengan adanya argumen-argumen yang menentang ‘apa yang dikatakanmin’ (pokok bahasan 7.2), tampaknya yang tersisa bagi kita adalah konsep ‘apa yang dikatakanmaks’ sebagai satu-satunya opsi yang memungkinkan untuk konsep ‘apa yang dikatakan.’ Bahkan, dalam pokok bahasan 7.6, kita akan melihat bahwa sementara konsep ‘apa yang dikatakan¬maks’ merupakan kesalinghubungan umum antara grammar dan pragmatik, representasi yang lain, baik yang lebih minimal maupun yang lebih maksimal juga merupakan poin-poin kesalinghubungan yang fungsional. Pokok bahasan 7.6 membahas berbagai upaya yang berbeda untuk berpegang pada konsep minimalis dan maksimalis dari ‘apa yang dikatakan.’ Tetapi terlebih dahulu mari kita beralih pada sepasang keputusan yang berbeda in inklusi dan eksklusi (pokok bahasan 7.5).
7.5 ‘Apa yang dikatakan’ sebagai makna yang kurang semantis
Hingga sekarang ini, kita telah berkonsentrasi pada berbagai kasus di mana ‘apa yang dikatakan’ jelas lebih kaya daripada makna semantik yang di-enkode. Tetapi ada kesenjangan lain antara makna semantik dan ‘apa yang dikatakan,’ yakni kesenjangan yang juga diasumsikan oleh kalangan minimalis dan kalangan maksimalis, dan ini berlawanan arah. Sebagaimana disebutkan pada permulaan dalam pokok bahasan 7.1, Grice (1989) dan para ahli teori lain yang mengikutinya mengeluarkan implikatur konvensional dari konsep ‘apa yang dikatakan.’ Implikatur konvensional merupakan kategori makna yang luar biasa bagi sebagian besar peneliti, yang cenderung menyamakan hal-hal yang konvensional dengan segala sesuatu yang mengandung kondisi kebenaran (simak karya Ariel, yang akan datang: bab 2). Implikatur konvensional, seperti interpretasi kontrastif yang berkaitan dengan but, menetapkan korelasi konvensional antara bentuk dan fungsi (dan oleh karena itu bersifat semantis), tetapi tidak dipandang memberikan kontribusi terhadap kondisi kebenaran proposisi yang diekspresikan. Implikatur konvensional digunakan untuk menghasilkan implikatur, dan oleh karenanya bersifat ekstragramatikal. Perhatikan ujaran berikut:
(47) LYNNE: (H) That’s not bad,
but sometimes you can get it really bad. (SBC: 001)
Itu tidak buruk,
tetapi kadang-kadang Anda mendapatinya benar-benar buruk.
Asumsi yang diterima tentang ‘apa yang dikatakan’ Lynne adalah bahwa konsep ini dibatasi pada kata sambung dari kedua proposisinya, yakni, ‘that’s not bad, and sometimes you can get it really bad’. Kontras antara kedua proposisi ini hanya direpresentasikan pada tingkat yang disampaikan, di mana implikatur dikombinasikan dengan ‘apa yang dikatakan.’ Karena implikatur tidak memberikan kontribusi terhadap kondisi kebenaran proposisi yang diungkapkan, dan karena interpretasi yang terlibat bersifat implisit, mereka dikeluarkan dari ‘apa yang dikatakan,’ terlepas dari statusnya yang di-enkode. Dengan demikian, implikatur konvensional merupakan ujaran kasus di mana ‘apa yang dikatakan’ lebih kuat daripada makna semantiknya (seperti yang diterangkan di sini).
Baru-baru ini Bach (1999) menentang analisis ini. Menurut pendapatnya, tidak ada implikatur konvensional. Kontras but, misalnya, benar-benar memberikan kontribusi terhadap kondisi kebenaran proposisi yang diungkapkan, karena ia berfungsi sebagai proposisi (tambahan0, dan oleh karena itu, berfungsi sebagai bagian dari ‘apa yang dikatakan.’ Sebagaimana ditunjukkan oleh Bach, bahkan pendapat ini lebih jelas dalam kasus kata therefore:
(48) A: There are some people who just don’t read those things and therefore don’t build up those expectations but there are other people who do read them and still don’t build up the expectations and that’s a different question. Why do some people build them up.
Ada sebagian orang yang tidak mau membaca dan oleh karena itu mereka tidak mengembangkan harapan-harapan itu dan ada orang-orang lain yang sebenarnya membaca dan masih tidak mengembangkan harapan-harapan itu dan itu soal lain. Mengapa sebagian orang mengembangkan harapan-harapan itu
B: Mhm.
A: and other people not build them up?
dan orang lain tidak mengembangkannya? (LSAC)
Interpretasi konsekuensi yang berkaitan dengan therefore di sini tampaknya mempengaruhi kondisi kebenaran proposisi. Sebenarnya maksud yang terkandung dalam ujaran A berkembang di seputar hubungan konsekuensi antara ‘(not) reading those things’ dan ‘building up expectations.’ Therefore tidak memberikan kontribusi terhadap kondisi kebenaran proposisi A, dan oleh karena itu harus merupakan bagian dari ‘apa yang dikatakan.’ Dengan demikian, untuk beberapa interpretasi yang implisit, Bach berbeda dari sikap Grice yang mengesampingkan implikatur konvensional, dan mengusulkan sikap inklusif (simak karya Ariel, yang akan datang: bab 9 untuk menemukan bukti pendukung).
Tetapi bagi Bach pun ada interpretasi konvensional yang dikeluarkan dari ‘apa yang dikatakan.’ Jadi sekali lagi, untuk kasus-kasus semacam ini, ‘apa yang dikatakan’ lebih minimal daripada makna semantik. Perhatikan kata penjelas (modifier) ujaran (misalnya, confidentially, between you and me), seperti dalam ujaran:
(49) Just between you and me, oh you don’t need a, you don’t need a collateral.
Di antara Anda dan saya, oh Anda tidak memerlukan, Anda tidak membutuhkan jaminan pinjaman (LSAC)
Di sini Bach mengusulkan strategi mengesampingkan, karena kata penjelas ujaran tidak memodifikasi isi proposisi ujaran. Meskipun secara sintaktis merupakan bagian dari kalimat, namun secara semantis penjelas ujaran berada di luar kalimat. Bagi Bach, penjelas ujaran melakukan tindak tutur urutan kedua (sesuatu seperti ‘I’m telling you confidentially’ (Saya memberitahu Anda secara rahasia) untuk ujaran (49)). Wilson dan Sperber (1993) memiliki celah yang alami untuk penjelas ujaran dalam eksplikatur tingkat yang lebih tinggi, di mana proposisi yang diekspresikan dilekatkan di bawah deskripsi tingkat yang lebih tinggi, yang seringkali berupa indikator daya ilokusi. Jadi, bagi Wilson dan Sperber, penjelas ujaran merupakan bagian dari eksplikatur tingkat yang lebih tinggi.
Meskipun berbagai solusi ini mungkin mampu menjelaskan fakta sinkronik yang jelas tentang interpretasi penjelas ujaran, harus kita catat bahwa tidak semua kasus benar-benar jelas. Dalam beberapa kasus, penjelas ujaran dapat dianalisis baik sebagai sesuatu yang berada di dalam maupun di luar konsep ‘apa yang dikatakan,’ dan hal ini bisa dijelaskan dengan mengacu pada sejarah penggunaannya. Penjelas ujaran eksternal biasanya berkembang dari ‘apa yang dikatakan’ yang ada dalam keterangan kalimat (simak karya Traugott, 1982, 1989; Traugott dan Dasher, 2002 tentang jalur semantisisasi dari makna berdasarkan situasi dunia nyata ke makna berdasarkan situasi metalinguistik). Kita perlu bisa menjelaskan perkembangan ini. Tampaknya solusinya adalah bahwa ketika bersifat internal, keterangan-keterangan ini merupakan bagian dari ‘apa yang dikatakan’ (bagi Bach ‘apa yang dikatakanmin’, eksplikatur untuk teori Relevansi). Secara berangsur-angsur, ungkapan ini dianalisis kembali sebagai metalinguistik dan berada di luar ‘apa yang dikatakan,’ kata kerja tindak tutur orang pertama yang memberikan hubungan langsung paling mungkin. Perhatikan ujaran (50):
(50)a. Well I knew her from back when we were in Junior High and I’m just, this is just between you and me, she was mean, I remember her (LSAC)
Ya aku tahu dia dari belakang ketika kami duduk di bangku SMA dan aku hanya, ini hanya antara kau dan aku, dia pelit, aku ingat dia.
b. He was all, all but I’ll tell you, between you and me, (LSAC)
Dia …, kecuali saya beritahu Anda, antara Anda dan saya,
Sebagaimana kita tahu dengan jelas bahwa between you and me merupakan penjelas ujaran dalam ujaran (49), kita juga tahu dengan jelas bahwa penjelas ujaran merupakan bagian dari ‘apa yang dikatakan’ (siapa saja) dalam ujaran (50a). Mungkin ujaran (50b), di mana between you and me masih merupakan bagian dari ‘apa yang dikatakan,’ merupakan penggunaan yang bersifat sebagai perantara. Kita harus memastikan bahwa kesalinghubungan antara grammar dan pragmatik kita asumsikan mampu menjelaskan semantisisasi, dan apa yang kita ketahui tentang perkembangan penjelas ujaran adalah bahwa mereka berkembang dari keterangan yang ada dalam kalimat, yang berarti bahwa penjelas ujaran sejak awal telah membentuk bagian dari ‘apa yang dikatakan.’ Dengan kata lain, penjelas ujaran tidak bisa mulai sebagai bagian dari eksplikatur tingkat yang lebih tinggi. Tetapi begitu menjadi eksplikatur tindak tutur/eksplikatur yang lebih tinggi, secara linguistik penjelas ujaran merupakan unsur-unsur yang di-enkode secara linguistik yang tidak (selalu) membentuk bagian dari ‘apa yang dikatakan.’ Di samping itu, penjelas ujaran menunjukkan bahwa ‘apa yang dikatakan’ bisa lebih minimal daripada makna yang di-enkode.
Silverstein (2001) menarik perhatian kita terhadap jenis kasus yang berbeda di mana fungsi yang secara linguistik tampak aneh mungkin tidak harus dianggap sebagai bagian dari ‘apa yang dikatakan.’ Dia mencatat bahwa meskipun para penutur Kiksht bisa menunjukkan sikap negatif dan positif dengan menggunakan bentuk-bentuk yang mengekspresikan diminutif atau penambahan (augmentation) (melalui berbagai macam perubahan fonologis dalam cara bagaimana mereka mengucapkan kata-kata tertentu), makna semacam ini tidak bisa dimanfaatkan oleh setiap wacana metapragmatik secara sadar pada pihak penutur. Upaya Silverstein untuk meminta para informannya mengulangi bentuk-bentuk tersebut tidak berhasil, bahkan ketika dia memutar kembali rekamannya kepada mereka. Hal yang sama juga berlaku untuk pembedaan kelas dalam pengucapan. Meskipun ini semuanya merupakan korelasi konvensional antara bentuk dan fungsi, tampaknya mereka tidak masuk ke dalam representasi ‘apa yang dikatakan.’ Jika demikian, ada kasus-kasus (yang agak jarang) di mana ‘apa yang dikatakan’ lebih minimal daripada kode linguistiknya.
7.6 Pendekatan sinkretik terhadap ‘apa yang dikatakan’
Pendekatan sinkretik merupakan upaya lain untuk mempersatukan konsep minimalis dan maksimalis ‘apa yang dikatakan.’ Sementara Stanley (2000) berpendapat bahwa ‘apa yang dikatakanmaks’ merupakan konsep dengan ‘apa yang dikatakanmin, pandangan sinkretik melihatnya berbeda jauh. Mereka mengambil pendapat bahwa di samping representasi semantik dasar, pada satu pihak, dan tingkat kesalinghubungan total makna yang disampaikan pada pihak yang lain, representasi makna yang ada bukan hanya satu. Menurut versi Bach (1994), ada konsep minimalis ‘apa yang dikatakan’ dengan semangat usulan-usulan dalam pokok bahasan 7.2 dan tataran makna maksimalis, yakni implikaturnya, dalam semangat usulan dalam pokok bahasan 7.3. Sebenarnya, sebagaimana ditunjukkan oleh Recanati (2004), paling tidak ada beberapa pendapat minimalis yang sesuai dengan sebagian pendapat kalangan maksimalis. Juga menurut analisis saya, meskipun kesalinghubungan antara kegagalan grammar dan pragmatik adalah ‘apa yang dikatakanmaks’, ada sejumlah tingkat kesalinghubungan dengan berbagai derajad pengayaan inferensial yang berbeda-beda (Ariel, 2002b).
Bach (1994, 2001) dan, dengan mengikutinya, Horn (2004, 2006) telah mengadopsi strategi eksklusif Grice bagi konsep mereka tentang ‘apa yang dikatakan,’ sehingga strategi mereka sendiri adalah berupa pendapat minimalis, sebagaimana disajikan dalam pokok bahasan 7.2. Namun demikian, dengan sepenuhnya mengetahui luas kesenjangan antara makna semantik linguistik dan makna kondisi kebenaran, bukannya mengembangkan ‘apa yang dikatakan’ untuk menyesuaikan konsep intuitif maksimalis kami, mereka memilih menurunkan lebih jauh lagi tuntutan-tuntutan yang mereka buat terhadap ‘apa yang dikatakan,’ pada satu pihak, dan membatasi tataran makna yang terpisah, yakni implikaturnya, sebagai tataran makna yang benar-benar dikomunikasikan oleh penutur pada pihak yang lain. Sebagai ujaran, untuk kalimat yang diinterpretasikan secara figuratif (kiasan), makna harfiah yang tidak mungkin adalah ‘apa yang mereka katakan,’ meskipun dengan jelas itu tidak dimaksudkan (Bach, 2006). Interpretasi figuratif yang dimaksudkan adalah implisitur (bukan implikatur, sebagaimana Grice melihatnya). Oleh karena itu ‘apa yang dikatakan’ dan implisitur perkembangan dari kalimat yang sama (dalam konteks yang sama) bisa memiliki kondisi kebenaran yang berbeda. Sesungguhnya, konsep ‘apa yang dikatakan’ Bach tidak perlu selalu mengekspresikan proposisi yang lengkap dan dapat dibuktikan kebenarannya. Dengan demikian, untuk kasus-kasus semacam ini seperti ujaran (3) (sekaligus untuk and yang diinterpretasikan sebagai ‘and then’ (dan kemudian)), Bach berpendapat bahwa ‘apa yang dikatakanmin’ yang tidak lengkap diperkaya dengan bagian-bagian kontekstual yang hilang untuk menciptakan implisitur. Persis seperti eksplikatur, implisitur mungkin juga bukan hanya perkembangan dari ‘apa yang dikatakanmin, mereka bisa menggantikannya ketika maksud penutur adalah untuk mengkomunikasikan sesuatu selain konsepnya ‘apa yang dikatakanmin.’ Namun demikian, tidak seperti para ahli teori Relevansi, Bach menegaskan bahwa setiap materi yang diinferensikan tidak dinyatakan dengan jelas (inexplicit) (oleh karena itu ia memilih istilah implisitur).
Singkat kata, pandangan Bach mengasumsikan dua konsep ‘apa yang dikatakan: konsep minimalis ‘apa yang dikatakan’ (sebagaimana dibahas dalam pokok bahasan 7.2) dan implisitur maksimalis (sebagaimana dibahas dalam pokok bahasan 7.3). (Pendukung lain pendekatan ini adalah Soames, 2002: bab 3.) Dengan menentang upaya Stanley (2000) untuk menggabungkan konsep ‘apa yang dikatakan’ minimalis dan maksimalis, Bach bersikeras bahwa kedua ini merupakan tataran makna yang berbeda dengan berbagai sifat dan fungsi yang berbeda yang keberadaannya saling berdampingan satu sama lain. Kita telah mengulas argumen Recanati (1989, 2001) dan para ahli teori Relevansi (utamanya Carston, 1988 dan seterusnya) yang menentang penempatan konsep ‘apa yang dikatakan’ minimalis. Lantas, adakah alasan untuk mengadopsi konsep ‘apa yang dikatakan’ yang minimalis dan maksimalis kedua-keduanya? Interaksi alamiah mengajari kita bahwa memang ada alasannya.
Konsep yang akan kita bahas dalam bab ini adalah interpretasi tingkat dasar. Tetapi apa yang dimaksud dengan dasar? Bagaimana kita bisa mengatakan apa yang diprediksikan oleh “Prinsip Ketersediaan” Recanati tentang ‘apa yang dikatakan’? Satu cara untuk menentukan apa yang dimaksud dengan tingkat dasar adalah beralih ke interaksi alamiah (Ariel, 2002b). ‘Apa yang dikatakan’ mungkin harus mengikuti tingkat dasar makna yang dikomunikasikan dalam interaksi yang sesungguhnya. Privileged Interactional Interpretation adalah makna yang terhadapnya penutur secara minimal selalu dipandang mematuhinya, yakni makna yang digunakan untuk menilai penutur sebagai orang yang mengatakan kebenaran atau bersikap tulus. Makna jugalah yang mengandung pesan bahwa mitra tutur harus dianggap memberikan kontribusi yang relevan yang dibuat oleh penutur. Inilah informasi yang mungkin tidak akan disepakati oleh mitra tutur ketika menjawab dengan jawaban ya atau tidak. Perhatikan bahwa ini tidak selalu berupa makna yang paling minimal (meskipun bisa jadi begitu, tetapi juga bisa diperkaya secara tidak kooperatif). Makna itulah yang memiliki status interaksi yang signifikan, karena makna inilah yang berfungsi sebagai landasan bagi efek kontekstual ujaran. Sekarang, jika konsep ‘apa yang dikatakan’ harus sesuai dengan Privileged Interactional Interpretation, konsep mana yang sejauh ini dianggap sesuai dengan rancangannya? Meskipun kita bisa membatasi ‘apa yang dikatakan’ sesuka kita (sebagaimana di atas), jika kita mencari konsep yang dipaksakan, kriteria Privileged Interactional Interpretation memberikan batasan yang alami untuk konsep ‘apa yang dikatakan.’
Tidak seperti berbagai macam konsep ‘apa yang dikatakan’ yang dibahas sejauh ini, Privileged Interactional Interpretation tidak disusun secara ‘one size fits all’ (satu ukuran untuk semua). Tidak ada rumusan yang tetap untuk konstruksinya, sebagaimana untuk konstruksi ‘apa yang dikatakanmin’ atau ‘apa yang dikatakanmaks’. Interpretasi semacam ini bersifat subyektif dan berbeda-beda di antara para penutur dan konteks. Privileged Interactional Interpretation merupakan interpretasi yang secara kontekstual dianggap sesuai oleh partisipan tertentu (baik berupa penutur maupun mitra tutur), namun tidak selalu oleh semua partisipan. Sebagaimana kita lihat di bawah, lawan bicara tampaknya tidak mengikuti salah satu batasan tentang ‘apa yang dikatakan’ secara benar-benar konsisten. Kita perlu menentukan tempat baik bagi konsep minimalis maupun maksimalis ‘apa yang dikatakan,’ karena Privileged Interactional Interpretation bisa minimalis ataupun maksimalis. Di samping itu, bahkan satu konsep minimalis ‘apa yang dikatakan’ dan satu konsep maksimalis ‘apa yang dikatakan’ tidak menghabiskan semua opsi yang tersedia bagi para lawan bicara. Baik Privileged Interactional Interpretation minimalis maupun Privileged Interactional Interpretation maksimalis tidak muncul dalam satu cetakan. Jadi, harus ditekankan bahwa Privileged Interactional Interpretation yang umum adalah ‘apa yang dikatakanmaks’ (simak lagi putusan hakim tentang pengalaman tiga tahun dan warna negara Israel). Tetapi masalahnya tidaklah selalu demikian. Sebagai ujaran, meskipun keputusan pengadilan distrik tentang kasus Steinbein merupakan konsep maksimalis, dalam pengertian bahwa dia dinyatakan bukan warna negara Israel menurut definisi istilah yang diperkaya, mahkamah agung kemudian menarik kembali keputusan tersebut, dan mengubahnya menjadi konsep minimalis. Meskipun jarang terjadi seperti itu, Privileged Interactional Interpretation benar-benar menunjukkan potensi ketersediaan representasi lebih bersifat minimalis maupun maksimalis daripada ‘apa yang dikatakanmaks’ (bukti psikolinguistik juga mendukung asumsi semacam ini). Itulah sebabnya mengapa kita harus memilih pendekatan yang bersifat sinkretik. Mari kita ulas beberapa kasus wacana semacam ini.
Pertama, Privileged Interactional Interpretation mungkin (jarang) melibatkan implikatur yang diimplikasikan secara kuat, yang dikeluarkan bukan hanya dari konsep minimalis ‘apa yang dikatakan’ tetapi juga dari konsep maksimalis ‘apa yang dikatakan.’ Perhatikan ujaran (51):
(51) R: And Haim Getzl (=John Doe) who is a company director pretends to know that the balance sheet is going to be good so he starts buying
Dan Haim Getzl (=John Doe) yang menjabat sebagai direktur perusahaan berpura-pura tahu bahwa neraca pembayarannya akan membaik sehingga dia mulai melakukan pembelian
S: OK that’s a criminal offence
Ya, itu pelanggaran pidana
R: Eh…
S: It’s a bit of a criminal offence
Itu sedikit pelanggaran pidana
R: So he has a mother-in-law
Jadi dia punya ibu mertua
S: For this you go to jail.
Oleh karena inilah kau masuk penjara. (Lotan 1990: 16)
Perhatikan bahwa this dalam giliran tutur S yang terakhir mengacu pada proposisi yang diimplikasikan dari giliran tutur R yang terakhir yakni, ‘Heim Getzl might (illegally) buy shares under his mother-in-law’s name’ (Heim Getzl (secara melanggar hukum) mungkin membeli saham atas nama ibu mertuanya). Jelasnya ini merupakan implikatur dan bukan inferensi yang dieksplikasikan (oleh kriteria independensi). Tetapi bahkan, apa ‘yang dikatakan’ S bukanlah ‘you go to jail for having a mother-in-law’ (kau masuk penjara karena punya ibu mertua). Inilah implikaturnya dan bukan eksplikatur yang direspon oleh reaksi S. Implikatur yang kuat dalam ujaran (51) merupakan Privileged Interactional Interpretation, dan konsep ‘apa yang dikatakan’ S mendukung pendapat ini. Berikut kami sajikan ujaran lain (yang telah dikutip dalam bab 1) di mana implikatur yang sangat kuat merupakan Privileged Interactional Interpretation terhadap ujaran. Dalam hal ini, kita juga bisa melihat konsekuensi status Privileged Interactional Interpretation untuk pembuktian kebenaran:
(52) BOSS: You have small children. How will you manage the long hours of the job?
Kau punya anak-anak kecil. Bagaimana kau akan mengatur jam kerja yang panjang?
HD: I have a mother.
Saya punya seorang ibu.
(Originally Hebrew, 14 Juni, 1996)
Eksplikatur HD adalah benar (dia punya seorang ibu), tetapi implikaturnya yang sangat kuat (‘ibu HD akan mengurus anak-anaknya ketika dia perlu bekerja dengan jam kerja yang panjang’) kebetulan tidak benar di sini. (Ibunya tidak pernah membantunya mengurus anak-anak.) Fakta ini menjadikan ujaran penutur salah lebih dari separoh (15/27, 55,5 persen) dari para subyek saya (11/27, 40,7 persen mengatakan bahwa ujaran HD tidak bohong). Yang menarik, HD sendiri memasukkan ujaran (52) sebagai cerita tentang bagaimana dia berbohong agar mendapatkan pekerjaan tersebut. Jadi, di sini implikaturlah yang membawa pesan yang relevan (memiliki seorang ibu sangat tidak relevan), dan bahkan menentukan nilai kebenaran ujaran tersebut bagi banyak orang. Dengan demikian, meskipun menurut definisi (yakni menurut cara memperolehnya) ‘my mother will take care of the children …’ merupakan implikatur, dengan status interaksionalnya ia berfungsi seperti ‘apa yang dikatakan.’ Dalam buku Ariel (2004b) saya mengutip hasil angket tentang percakapan berikut, di mana Maya dengan kuat mengimplikasikan ‘tidak semua’ (not all):
(53) IDDO: Dana solved all the problems.
Dana memecahkan semua persoalan.
MAYA: More than half of them.
Lebih dari separoh persoalan.
Meskipun sebagian besar subyek menentukan bahwa ujaran Maya adalah benar ketika mereka mengatakan bahwa kenyataannya adalah bahwa ‘Dana memecahkan semua persoalan’ (karena more than half adalah hampir sama (compatible) dengan ‘all’). Para subyek yang terakhir pasti telah menempatkan implikatur ‘not all’ yang sangat kuat tersebut pada status interaksional istimewa yang mempengaruhi pembuktian kebenarannya.
Eksperimen berikut menunjukkan bahwa makna yang disampaikan, yakni eksplikatur dan implikatur secara bersama-sama, (kadang-kadang) bisa merupakan Privileged Interactional Interpretation. Jika demikian, sekali lagi, maka implikatur bisa merupakan bagian dari Privileged Interactional Interpretation. Gibbs (2004) bertanya kepada para subyek mengenai apa yang mereka pahami dari kalimat semacam ini seperti I drive a sports utility vehicle (saya mengendarai mobil sport) dalam konteks di mana implikatur dari proposisi ini, bahwa ‘dalam cuaca yang sering terjadi badai, yang aman adalah mengendarai mobil semacam ini,’ adalah amat sangat relevan, lebih dari eksplikaturnya. Sebagai jawabannya, para subyek memilih eksplikatur (‘Saya mengendarai mobil jenis tertentu yakni sports utility vehicle’), implikatur (‘mobil semacam itu mampu mengatasi cuaca yang sering terjadi badai’), dan kombinasi keduanya (‘Saya mengendarai mobil jenis tertentu yakni sport utility vehicle, yang mampu mengatasi cuaca yang sering terjadi badai’). Para subyek memiliki kecenderungan yang sangat kuat untuk memilih opsi kombinasi (92 persen pertanyaan). Eksplikatur dan implikaturnya sendiri masing-masing dipilih dalam kasus-kasus yang sangat kecil jumlahnya (masing-masing 3 dan 5 persen). Dengan demikian, di sini implikatur diperlakukan sederajad dengan eksplikaturnya.
Sebenarnya, Carston (2002a: bab 5) mengakui bahwa baik eksplikatur maupun implikatur bisa dikomunikasikan dengan lebih banyak atau lebih sedikit komitmen, dan bahwa bukan hanya eksplikatur, tetapi juga implikatur yang bisa merupakan maksud utama ujaran (sebagai sumber afek kognitif). Untuk sementara waktu dia menegaskan bahwa itu merupakan kekuatan asumsi-asumsi yang dikomunikasikan, sekaligus seberapa Relevan asumsi-asumsi itu, yang penting dalam wacana, jauh lebih penting daripada perbedaan teknis antara implikatur dan eksplikatur. Kenyataan bahwa para subyek Gibbs dan Moise (1997) lebih memilih eksplikatur (daripada ‘apa yang dikatakanmin’) sebagai paraphrase untuk ‘apa yang dikatakan’ bisa dipandang sebagai bukti bahwa eksplikatur sangat sering menjadi Privileged Interactional Interpretation, tetapi tidak lebih dari itu. Sebagaimana dijelaskan oleh Nicolle dan Clark (1999: 337), para subyek “cenderung memilih parafrase yang paling dekat dengan pencapaian efek kontekstual yang dikomunikasikan dalam derajad yang sama seperti ujaran aslinya.” Ini merupakan Privileged Interactional Interpretation. Jadi, ketika yang dipandang sebagai pesan utama yang dimaksudkan oleh penutur adalah implikaturnya, bukannya eksplikatur, penutur harus mencakupnya di bawah ‘apa yang dikatakan.’ Inilah yang ditemukan oleh Nicolle dan Clark. Implikatur yang kuat seringkali dipilih oleh para subyek sebagai ‘apa yang dikatakan’ (simak juga karya Bezuidenhout dan Cutting, 2002). Parafrase ini (baik yang sesuai dengan interpretasi yang dieksplikasikan maupun interpretasi yang diimplikasikan) mencerminkan Privileged Interactional Interpretation, bukan eksplikatur atau implikatur semata. Jika kita membahas “Prinsip Ketersediaan” Recanati (1989) secara serius, kita melihat bahwa intuisi lawan bicara tidak selalu menunjukkan definisi tunggal untuk ‘apa yang dikatakan.’
Perhatikan bahwa masalahnya tidaklah selalu demikian bahwa Privileged Interactional Interpretation lebih kaya daripada eksplikatur, sebagaimana yang telah kita ketahui sejauh ini. Representasi yang lebih minimal kadang-kadang juga bisa menjadi Privileged Interactional Interpretation. Ingat bahwa Recanati (2001) berpendapat bahwa tidak ada realitas psikologis bagi konsepsi yang sebagian mengandung pragmatik. Meskipun biasanya memang tidak ada gunanya merepresentasikan ujaran yang diinterpretasikan secara pragmatik hanya sebagian saja dengan diri kita, namun kadang-kadang itulah yang benar-benar kita lakukan. Lawan bicara yang kembali pada interpretasi ‘anak manis’ mungkin tidak berhasil menarik inferensi, atau jika tidak, “menguliti,” sebagaimana biasanya, lapisan-lapisan makna pragmatik, dan memperoleh interpretasi yang tidak sesuai dengan konteks/tidak dimaksudkan sebagai Privileged Interactional Interpretation (simak bagian 1.3 dan Ariel, 2002b). Dengan demikian, mereka mungkin memilih konsep minimalis ‘apa yang dikatakan.’ Perhatikan bahwa ujaran (54) ((54b)) telah dikutip dalam bagian 1.30):
(54)a. MA (San Francisco): I’d like to leave a message for X
Saya ingin meninggalkan pesan untuk X
Operator Hotel (New York): I’ll connect you to their room.
Saya akan menghubungkan Anda ke kamar
mereka.
MA: No, no. I don’t want to wake them up. It’s
midnight in New York!
Jangan, jangan. Saya tidak ingin mereka
terbangun. Sekarang tengah malam di
New York!
Operator: No, it’s not.
Bukan.
MA: What time is it there?
Jam berapa sekarang di sana
Operator: It’s 11:53. (13, Oktober, 1998)
b. Peraturan kota praja menentukan bahwa setiap properti yang tetap kosong dibebaskan dari pajak kota selama enam bulan. A, seorang pengacara yang telah pindah ke kantor baru, heran ketika pengawas bangunan kota menolak menyatakan kantor lamanya kosong karena beberapa kursinya tidak ikut dibawa pindah. “Apa yang kosong,” dia heran, “bila keramik lantainya telah dibongkar?” … kepala BAPEDA (the city income department) menjelaskan … ((bahwa)) formalnya, kosong ya kosong, dan kita bisa saja mengatakan bahwa meskipun hanya ada karpet dalam kantor, ia dianggap ada isinya.
(Originally Hebrew, dilaporkan dalam majalah Tel Aviv, 14 Mei, 1993)
Perhatikan bahwa operator dalam ujaran (54a) memaksakan makna semantik midnight (tengah malam) (jam 12 dini hari), dengan menolak makna yang diinferensikan secara lebih sesuai dengan konteksnya, ‘sekitar (hampir) tengah malam, terlalu larut untuk menelpon orang.’ Dalam ujaran (54b), pejabat kota mempertahankan interpretasi yang tidak diperkaya dari kata kosong, dan dalam buku Ariel (200b) saya mengutip beberapa ujaran yang serupa di mana hakim menegaskan interpretasi konsep merah yang tidak dipersempit. Dengan demikian, meskipun kenyataannya merah mengalami penyempitan interpretasi yang khas berkenaan dengan mobil (‘merah cerah’), hakim menetapkan bahwa menyediakan mobil rwarna burgundy ketika yang dipesan adalah mobil merah adalah langkah yang sah pada pihak dealer mobil, yang harus diterima oleh pembeli. Alasannya adalah bahwa mobil warna burgundy adalah ujaran ‘mobil merah.’ Demikian juga, dalam kasus yang berbeda, polisi memutuskan untuk tidak menjatuhkan denda terhadap aktivis saya kanan yang telah melancarkan ancaman terhadap aktivis sayap kiri, karena tindak tutur yang dia gunakan secara harfiah memang berupa rekomendasi/saran (simak karya Ariel, 2002a: 4.1 untuk menemukan penjelasan yang terperinci). Semua ini adalah kasus di mana interpretasi yang secara kontekstual mungkin bisa dibuat (eksplikatur) mengalami penolakan berkat adanya interpretasi yang tidak diperkaya dan tidak masuk akal, hanya karena interpretasi yang tidak masuk akal tersebut bisa didukung oleh makna semantik linguistik. Perhatikan bahwa pejabat kota dalam ujaran (54b) memiliki alasan yang baik untuk menjadi interpreter anak-manis. Tetapi tidak demikian halnya dengan operator hotel dalam ujaran (54a), atau hakim atau polisi. Dan juga jangan lupa bahwa sebagian kecil subyek saya sebenarnya menetapkan HD tidak berbohong dalam ujaran (52). Hanya saja tidak (selalu) ada satu Privileged Interactional Interpretation (simak karya Ariel, 2002b untuk menemukan ujaran-ujaran tambahan untuk membedakan Privileged Interactional Interpretation di antara lawan bicara).
Berikut kami sajikan kasus (yang aslinya dikutip dalam buku Ariel, 2002b), di mana seorang penutur (Lewinsky) menemukan bahwa representasi minimalis ‘apa yang dikatakan’ pun terlalu kaya:
(55) LEWINSKY: You know, he ((Vernon Jordan – MA)) asked me point-blank
if I, you know, had a thing with him.
Anda tahu, dia ((Vernon Jordan – MA) meminta saya untuk
berkata blak-blakan, apakah saya memiliki hubungan
dengan-nya.
TRIPP: He asked you point-blank. No, he didn’t.
Dia meminta Anda bicara blak-blakan. Tidak, pasti tidak.
LEWINSKY: Yes, he did.
Ya, sungguh.
TRIPP: What did he say?
Apa katanya?
LEWINSKY: He said, ‘Did you have an affair with him?”
Dia bertanya, “Apakah Anda punya hubungan asmara
dengan-nya?”
TRIPP: He said, “Did you have an affair with the President?” You
are kidding.
Dia bertanya, “Apakah Anda punya hubungan asmara dengan
Presiden?” Ah, Anda bercanda.
LEWINSKY: Not “the P,” but with him. I mean, obviously that’s what
he meant, he just didn’t say the name.
Bukan “the P,” tetapi dengan-nya. Maksud saya, jelasnya
Itulah yang dia maksud, dia hanya tidak menyebut
namanya.
(16 Oktober, 1997: New York Times, 4 Oktober, 1998)
Dengan kata lain, bahkan menyediakan rujukan yang dimaksudkan (‘Presiden Clinton’), kasus yang jelas dari ‘apa yang dikatakanmin’ setiap orang, menjadikan representasi Tripp terhadap ujaran Jordan (sebagaimana dikutip oleh Lewinsky) sebagai parafrase yang tidak bisa dipercaya. Dan ingat ujaran (15), di mana anak yang manis menggunakan rujukan yang sebagian salah untuk permen karet (gum).
Perhatikan bagaimana penutur berikut bersikap selektif dan tidak konsisten dalam hal pengayaan apa yang dia terima dan pengayaan apa yang dia tolak. Ujaran (56) menunjukkan bagaimana lawan bicara anak manis bisa menolak memilih pengertian yang sesuai dan jelas (tentang look here, yang dimaksudkan di sini dalam fungsi penanda wacananya), yang diperkirakan dia terima menurut konsep ‘apa yang dikatakanmin’, tetapi dia menerima jalan keluar rujukan yang dimaksudkan (bahwa look here berlaku bagi dirinya):
(56) BEN: What are you doing, criticizing me?
Apa yang sedang kau lakukan, mengkritik aku?
GUS: No, I was just …
Tidak, saya hanya …
BEN: You’ll get a swipe round your ear hole if you don’t watch your step.
Kau akan terkena pukulan di sekitar lobang telingamu jika kau tidak
memperhatikan jalanmu.
GUS: Now look here, Ben…
Sekarang lihat sini, Ben…
BEN: I’m not looking anywhere!
Aku tidak melihat kemana pun!
(Harold Pinter, The Dumb Waiter, hal. 15-16, dikutip dari Yus Ramos,
1998: 87)
Yang penting dari interpretasi ‘anak manis’ adalah bahwa interpretasi itu menunjukkan bahwa makna semantik dasar (atau minimal, lebih kecil daripada ‘apa yang dikatakanmin’) kadang-kadang tidak memiliki realitas psikologis. Bagi penutur, untuk menciptakan interpretasi ‘anak manis’ mereka harus menyadari makna semantik linguistik. Perhatikan bahwa interpretasi ‘anak manis’ bukan hanya interpretasi yang tidak tepat. Interpretasi semacam ini tidak tepat dalam cara yang sangat khusus: mereka tidak berhasil mencakup inferensi yang dimaksudkan penutur. Anak manis bisa saja menolak melakukan pengayaan terhadap makna semantik, atau mereka melakukan pengayaan terhadapnya dengan inferensi yang tidak tepat, atau mereka mengambil pengertian yang salah tentang bentuk yang taksa. Namun demikian, semua penyimpangan ini diikuti oleh makna ujaran yang sah, dan menuntut akses pada makna semantik linguistik yang diambil dari inferensi-inferensi yang ditambahkan, baik inferensi ‘apa yang dikatakanmin’ maupun ‘apa yang dikatakanmaks’. Interpretasi ‘anak manis’ bisa diterima (tentu saja secara enggan) hanya karena sesuai dengan makna semantik linguistik tertentu (simak karya Ariel, 2002b tentang bagaimana interpretasi lain yang tidak sesuai tidak bisa diterima).
Oleh karena itu, meskipun Recanati (2001) dan Carston (2002a: bab 5) tidak salah dalam mengamati bahwa adalah suatu keputusan yang semena-mena bila lawan bicara berhenti menarik inferensi hanya untuk menciptakan konsep ‘apa yang dikatakanmin’, hanya kemudian terus mengambil inferensi dan menciptakan ‘apa yang dikatakanmaks’, kadang-kadang mereka memilih melakukan langkah yang pertama saja, dan bahkan kurang dari itu. kadang-kadang kita berhenti pada tingkatan yang lebih rendah daripada ‘apa yang dikatakanmin.’ Pada saat yang lain, kita bisa mengambil lebih dari satu perspektif sekaligus tentang Privileged Interactional Interpretation. Sebagai ujaran, ibu dalam ujaran (7) dan (8) tampaknya melihat ‘apa yang dikatakanmin’ maupun ‘apa yang dikatakanmaks’. Pada satu pihak, dalam ujaran (7) dia berpikir Iddo berkata benar, karena eksplikatur dari kata-katanya benar, tetapi di lain pihak, dia tidak menunjukkan bahwa konsep Iddo tentang ‘apa yang dikatakanmin’ adalah salah. Demikian juga, meskipun maksud MS dalam ujaran (6) adalah berbohong, konsepnya ‘apa yang dikatakanmin’ adalah benar. Di sini lawan bicara secara simultan menyadari kedua representasi tersebut.
Ujaran berikut (stiker Yahudi pada bemper mobil yang dimuat pada 20 Maret, 2007) menunjukkan relevansi simultan antara makna harfiah dan yang dieksplikasikan:
(57) Gilead Shalit Ehud Ulmert
Uri Goldvaser HA-BAYTA Amir Peretz
Eldad Regev THE-HOME.TO Dan Chalutz
Ha-baita secara harfiah berarti ‘to the home,’ yakni gerakan ke rumah. Namun demikian, makna yang dieksplikasikan berbeda pada masing-masing sisi stiker. Pada sisi kiri, kita menemukan nama-nama para serdadu Israel yang diculik oleh orang-orang Palestina dan Hisbullah. ‘Home’ di sini dieksplikasikan ke ‘come home’ atau ‘bring them home,’ yang mengimplikasikan ‘kami rindu kalian, kami cinta kalian, kami ingin kalian kembali bersama kami.’ Pada sisi kanannya kita menemukan nama-nama ketiga pimpinan Israel yang bertanggungjawab atas Perang Lebanon Kedua (2006), yang dianggap sebagai kegagalan pada pihak Israel. ‘Home’ dalam hubungan ini dieksplikasikan pada ‘go home’ atau ‘send them home,’ yang justru mengimplikasikan sebaliknya, ‘kami tidak menginginkan kalian sebagai pimpinan kami, kami tidak ingin melihat kalian di depan umum,’ dan lain sebagainya. Dengan kata lain, meskipun makna harfiahnya identik untuk kedua sisinya, makna yang dieksplikasikan adalah sebaliknya. Jadi, kenyataan bahwa penulis secara simultan bisa menggunakan satu predikat dan predikat yang sama untuk dua makna berbeda yang dieksplikasikan tampaknya bisa membuktikan kebenaran para pendukung konsep ‘apa yang dikatakan¬min, karena pasti makna harfiah yang umum itulah yang memungkinkan adanya kedua makna yang berlawanan ini bersama-sama. Namun demikian, perhatikan bahwa ujaran (57) terasa agak menyerupai permainan kata (hal ini dipastikan dengan jumlah penutur). Satu-satunya alasan mengapa terasa seperti permainan kata, begitulah yang kami rasakan ketika ekspresi yang relevan terkesan taksa secara semantik, adalah karena makna yang dieksplikasikan tidak seperti makna yang diinferensikan. Meskipun tidak eksplisit, makna ini bisa berfungsi seolah-olah eksplisit. Begitu kita baca kolom bagian kanan, kita merasa perlu untuk menginterpretasikan kembali kata ha-bayta.
Singkat kata, ujaran-ujaran yang dibahas dalam pokok bahasan 7.6 menunjukkan bahwa kadang-kadang eksplikatur yang diperkaya mungkin tidak cukup maksimalis, dan pada saat-saat yang lain, konsep minimalis ‘apa yang dikatakan’ pun tidak cukup minimal sebagai Privileged Interactional Interpretation yang berfungsi dalam wacana yang alami. Meskipun begitu jarang, implikatur (yang lebih dari ‘apa yang dikatakanmaks’) dan makna semantik dasar (yang kurang dari ‘apa yang dikatakanmin’) merupakan Privileged Interactional Interpretation. Dengan kata lain, sementara ada konstruksi otomatis Privileged Interactional Interpretation dalam wacana, tidak ada jaminan bahwa pengayaan yang dimaksudkan oleh penutur, dan/atau pengayaan yang diinferensikan oleh berbagai macam mitra tutur, akan selalu menjadi eksplikatur/’apa yang dikatakanmaks’ yang ditentukan oleh teori Relevansi dan Recanati. Kenyataan itu sendiri bahwa kadang-kadang kita memperlakukan tataran makna yang kurang atau lebih diperkaya berarti bahwa kita bisa mengakses berbagai macam representasi makna. Agar ‘apa yang dikatakan’ memiliki landasan intuisi, konsep ini tidak bisa diletakkan dalam satu definisi tunggal. Tampaknya kesalinghubungan antara grammar dan pragmatik dalam wacana tidak terjadi dalam rumusan tunggal, yang secara tepat menetapkan seberapa jauh pengambilan inferensi pragmatik harus diperkenalkan ke dalam representasi tingkat dasar. Namun demikian, harus ditekankan di sini bahwa lebih sering daripada tidak, eksplikaturlah yang menjadi Privileged Interactional Interpretation yang relevan. Bukan hanya data sinkronik saja yang menunjukkannya. Dalam bagian yang akan datang saya akan membicarakan para ahli bahasa yang membahas kemungkinan bahwa semantisisasi juga menunjuk ke arah ini.
7.7 Kesimpulan: pembagi dan kesalinghubungan antara grammar dan
pragmatik
Dalam bagian I kita telah membahas berbagai implikasi teoretis perbedaan antara kode dan inferensi. Dengan mengadopsi perbedaan kode versus inferensi, kita menerapkannya bukan hanya pada kasus-kasus implikatur percakapan yang sudah jelas, tetapi utamanya juga pada berbagai macam kasus di mana pengambilan keputusan apakah korelasi antara bentuk dan fungsi dikodekan atau diinferensikan dilakukan secara tidak langsung. Seperti yang kita lihat, meskipun kenyataannya ada kesepakatan umum dalam bidang tentang perbedaan kode versus inferensi, para peneliti tidak selalu menggolongkan fenomena khusus dengan cara yang sama. Apa yang dianalisis sebagai kode oleh sebagian peneliti, para peneliti yang lain menganalisisnya sebagai inferensi. Di samping itu, karena sekarang kita memiliki asumsi bahwa ada lebih dari satu jenis inferensi yang dimaksudkan (implikatur dan inferensi yang dieksplikasikan), sekaligus inferensi yang sesuai dengan kebenaran, kita perlu membedakan antara jenis-jenis inferensi, dan bukan hanya antara kode dan inferensi. Inilah tugas bagian I.
Tetapi setelah kita menganalisis penggunaan ujaran ke dalam berbagai proses berbeda yang masuk ke dalamnya (bagian I), kita harus mengembalikan semua komponen ini bersama-sama lagi. Inilah tujuan bagian II dan III. Terlepas dari adanya struktur kognitif kode yang berbeda pada satu pihak, dan inferensi pada pihak yang lain, dalam bagian II kami sajikan argumen bahwa kode dan inferensi saling berhubungan, jika tidak berhubungan, kita tidak akan bisa menjelaskan banyak hal tentang perubahan sejarah. Kenyataan bahwa begitu banyak kode linguistik dapat dipaksa secara pragmatik bermula dari asal-usul grammar, berbagai faktor ekstralinguistik yang membimbing lawan bicara. Pada umumnya kode berkembang dari inferensi yang dimaksudkan penutur (yang menonjol, sering muncul) dan berkaitan dengan bentuk-bentuk khusus. Arena tempat terjadinya proses ini adalah pola wacana yang menonjol. Pola atau profil wacana yang menonjol disebabkan oleh penggunaan grammar terbaru yang terus-menerus oleh penutur. Jika pola yang muncul cukup menonjol, ia bisa menjadi bentuk yang baru dan korelasi yang baru antara bentuk dan fungsi, dengan kata lain, grammar yang baru.
Dalam bagian III kita membahas dua hal penting dalam representasi kesalinghubungan antara grammar sinkronik dan pragmatik: yakni makna yang disampaikan dan ‘apa yang dikatakan.’ Terlebih dahulu kita mengulas paksaan untuk membedakan antara inferensi yang diimplikasikan dan yang dieksplikasikan. Kita melihat bahwa kedua hal penting ini memainkan peranan wacana yang berbeda, dan oleh karena itu keduanya harus tetap terpisah. Kemudian kita menyediakan sebagian besar bab 7 untuk memperkenalkan konsep ‘apa yang dikatakan’ yang berbeda untuk representasi kesalinghubungan antara grammar Interaksional dan pragmatik. Kesimpulan yang ditarik dari pokok bahasan 7.6 adalah bahwa meskipun ‘apa yang dikatakanmaks’ paling mungkin merupakan konsep yang keliru yang bisa dimanfaatkan oleh lawan bicara, representasi lain yang lebih minimal sekaligus yang lebih maksimal memainkan peranan, minimal kadang-kadang.
Sebagai makanan bagi pikiran, saya ingin mengakhiri buku ini dengan memohon para ahli bahasa untuk memeriksa kembali asumsi umum bahwa (hanya) tataran makna yang disampaikan itulah yang berpotensi menyebabkan gramatisisasi/semantisisasi. Dengan mengikuti “Prinsip Ketersediaan” Recanati, para ahli bahasa harus mempertimbangkan kemungkinan bahwa inferensi yang terutama dieksplikasikan berkali-kali (bukan implikaturnya, atau inferensi yang ditimbulkan) merupakan sumber langsung bagi inovasi gramatikal (semantik). Hal ini sama sekali tidak berarti bahwa implikatur tidak memiliki peran dalam wacana dan dalam semantisisasi. Sangat bertolak belakang. Kadang-kadang penutur lebih suka menyampaikan interpretasi secara tidak langsung karena berbagai macam alasan (tanggung jawab yang lebih ringan, efek humor, dan lain sebagainya). Namun demikian, ‘apa yang dikatakan’ dan ‘apa yang diimplikasikan’ tetap dipisahkan (makna yang disampaikan hanyalah jumlah dari keduanya). Keduanya tidak selalu bergabung menjadi satu makna yang utuh, sebagaimana halnya untuk makna semantik dan inferensi yang dieksplikasikan, yakni ‘apa yang dikatakan.’ Oleh karena itulah, lokus utama untuk kesalinghubungan antara grammar dan pragmatik mungkin berupa ‘apa yang dikatakan,’ itulah sebabnya mengapa kita bisa menarik hipotesis bahwa inferensi yang dieksplikasikan, bukan yang diimplikasikan, berfungsi sebagai daya dorong langsung bagi sebagian besar semantisisasi dan gramatisisasi. Berikut kami sajikan dua ujaran mengapa kami melibatkan pemikiran ulang ini.
Since sering dikutip sebagai ujaran klasik untuk semantisisasi implikatur yang potensial. Traugott dan König (1991) telah menguraikan perkembangan makna kausal tambahan dari since yang aslinya berkaitan dengan waktu sebagai proses konvensionalisasi inferensi dibuat secara berulang. Sebenarnya, mula-mula memang masuk akal sekali mengaitkan status yang diimplikasikan (atau seperti yang lebih disukai Traugott & Dasher, 2002) dengan interpretasi kausal yang berkaitan dengan since. Pada tahap ini, eksplikatur yang berkaitan dengan since harus dibatasi pada interpretasi temporal (waktu), dan dengan implikatur itulah lawan bicara memperoleh proposisi tambahan yang independen, sejauh hubungan kausal bisa dilibatkan. Dalam kasus-kasus semacam ini, inferensi kausal dikomunikasikan secara tidak langsung di samping eksplikatur dan sangat mudah dibatalkan. Hal ini serupa dengan interpretasi terhadap ever since dalam ujaran (58), di mana penutur tampaknya mengimplikasikan (bukannya mengeksplikasikan) bahwa anjing itu telah sedang mendengkur karena (because) dia makan (sangat sedikit), dan bukan hanya dia mendengkur sejak (since) waktu dia makan:
(58) And she’s been snoring ever since she ate. (LSAC)
Dia telah mendengkur bahkan sejak dia makan.
jadi, begitu since dapat berfungsi sebagai ‘because’ tanpa perantaraan inferensi dari rangkaian waktu hingga rangkaian peristiwa yang dijelaskan, interpretasi kausalnya harus menjadi makna konvensional yang independen. Perhatikan bahwa ever since tidak bisa menggantikan since dalam ujaran (59), karena tepatnya, tidak seperti since, ia tidak mengalami semantisisasi:
(59) Since/~?? Ever since you’re not gonna do the paperwork today, I need to get
you sign this. (LSAC)
Karena/~?? Karena kamu tidak mau mengerjakan pekerjaan administrasi hari ini, aku perlu kamu menandatangani ini.
Yang jelas, inilah dua tahap dalam perkembangan kata since kausal. Tetapi kita bisa menegaskan fase tambahan antara yang diimplikasikan dan yang dikodekan, yakni fase inferensi yang dieksplikasikan, di mana ‘because’ telah ‘dikatakan’ secara langsung ketika since digunakan, tetapi masih bisa dibatalkan (simak tabel 7.1 di atas). Intinya adalah bahwa pada tahap lanjutan ini, interpretasi kausal tidak lagi dipersepsikan sebagai interpretasi independen yang berada di luar ‘apa yang dikatakan’ sementara. Sebaliknya, para penutur cukup sering diketahui mengatakan ‘because’ secara langsung, dan tidak ‘mengatakan’ ‘temporal since’ dan mengimplikasikan ‘because.’ Namun demikian, ini masih bisa dibatalkan, sebagaimana halnya dengan semua inferensi yang dieksplikasikan, meskipun tidak semudah pembatalan implikatur. Di bawah usulan ini, bisa jadi ketidakterpisahan interpretasi ‘because’ dari ujaran since (status eksplikatur) itulah yang merintis jalan untuk bagi interpretasi ulang terhadap makna since.
Selanjutnya, mari kita teliti inferensi yang bisa berubah menjadi konvensional, yang dieksplikasikan, bukannya diimplikasikan tepat dari awal. Gourmet dalam Gourmet Garage (tanda pada garasi yang dipasang di Manhattan, Mei 2005) merupakan sumber inovatif terkini untuk interpretasi metafora. Sebagai inovasi yang terkini, ujaran ini bisa menunjukkan lebih jelas peran potensial eksplikatur dalam semantisisasi. Makna leksikal gourmet adalah ‘connoisseur in eating and drinking” (ahli dalam menilai makanan dan minuman) (The Shorter Oxford Dictionary) , tetapi interpretasi yang relevan dalam kasus yang ada mungkin tidak begitu. Makna gourmet di sini perlu menghilangkan aspek makan dan minum, dengan menggeneralisir interpretasi terhadap ‘connoisseur’ yang tidak khusus, atau ‘kelas atas.’ Dalam ujaran yang inovatif ini, interpretasi yang diinferensikan (‘kelas atas’) mungkin tidak bisa dikomunikasikan secara tidak langsung oleh penutur di samping upaya mereka untuk mengkomunikasikan (sebagai eksplikatur langsung) makna semantik linguistik, yakni ‘gudang yang terdapat seorang ahli dalam hal makanan dan minuman.’ Sebaliknya, makna yang diinferensikan dari gourmet garage (‘a high-class garage’ atau ‘bengkel kelas atas’) menggantikan makna harfiahnya, dan oleh karena itu dieksplikasikan, bukan diimplikasikan. Jika gourmet cukup sering digunakan dengan makna yang longgar semacam ini (sebagai interpretasinya yang dieksplikasikan) ia sangat mungkin bisa mengarah pada semantisisasi interpretasi ‘kelas atas’. Inilah yang terjadi pada pembedaan bahasa Yahudi antara sug aleph ‘kelas A’ dan sug bet ‘kelas B,’ yang pertama kali bisa diterapkan pada barang-barang pabrik, tetapi sekarang bisa diterapkan pada apapun dengan kualitas dan harga yang lebih tinggi atau lebih rendah. Perkembangan serupa juga terjadi dalam bahasa Inggris untuk first/second rate (kelas/peringkat pertama/kedua).
Sekarang pembahasan kita telah selesai. Dengan usulan ini, kami telah menyelesaikan misi yang dilakukan dalam buku teks ini, yakni, memisahkan grammar dan pragmatik, dan untuk mempersatukan keduanya lagi. Kami memulai dengan menarik pembagian kerja grammar dan pragmatik untuk kasus-kasus bisa diperdebatkan (bagian I). Kami memulai bekerja dengan menjelaskan secara garis besar mekanisme diakronik yang kadang-kadang digunakan oleh pola-pola pragmatik untuk menerobos garis pemisah tersebut menjadi bagian dari grammar (bagian II). Kemudian kami meneliti tingkat representasi kesalinghubungan antara grammar dan pragmatik (bagian III). Kami menyimpulkan bab 7 dengan mengusulkan agar penelitian masa depan memperhatikan kemungkinan bahwa representasi kesalinghubungan antara grammar dan pragmatik yang sangat sama dan bersifat fungsional pada masa wacana yang sangat singkat juga merupakan input bagi transfer diakronik pragmatik menjadi transfer gramatikal.
Dengan adanya informasi yang kami sajikan tentang arti kata kata pada iklan wafer tango
, harapan kami semoga anda dapat terbantu dan menjadi sebuah rujukan anda. Atau juga anda bisa melihat referensi lain kami juga yang lain dimana tidak kalah bagusnya tentang BIOINDUSTRI: Pemasaran Produk Bioindustri
. Sekian dan kami ucapkan terima kasih atas kunjungannya.
buka contoh marketing : https://endonesa.files.wordpress.com/2008/11/bab-71
No comments:
Post a Comment