Mengapa Indofood Gagal Menghadang Mie Sedaap?


Mengapa Indofood Gagal Menghadang Mie Sedaap?


   

mengapa indofood gagal menghadang mie sedap di pasaran - Pusing tujuh keliling.  Mungkin begitulah  kondisi manajemen Indofood  melihat sepak terjang Wingsfood dengan produk mi instan andalannya, Mie Sedaap.  Memang, sejak Wingsfood meluncurkan Mie Sedaap pada awal 2003, para petinggi Indofood boleh jadi tak bisa tidur nyenyak lagi. Lihat saja,  hanya dalam tempo dua tahun produk yang relatif baru itu diperkirakan sudah menggaet pangsa pasar mi instan sebesar 15%-20%. Padahal, Indofood sang pemimpin pasar adalah penguasa yang amat dominan dan bertahan selama puluhan tahun di posisi ini. Bahkan, pada 2002 pangsa pasar perusahaan milik Salim ini di bisnis mi instan mencapai 90% dengan nilai sekitar Rp  8 triliun.

ÂÂ

Indofood memang tidak tinggal diam, bahkan sudah mencoba berbagai cara.   Mulanya, untuk melawan kehadiran Mie Sedaap, Indofood mengeluarkan Mie Sayap, yang ternyata gagal. Berikutnya, Indofood  mengeluarkan Sarimi Ekstra, yang sayangnya juga tak berhasil.  Selanjutnya, perusahaan andalan Grup Salim ini meluncurkan SuperMie Sedaaap. Alhasil, puluhan merek mi instan telah dikeluarkan Indofood.  Padahal, Wingsfood cuma menerjunkan Mie Sedaap dengan lima variannya.

ÂÂ

Bukan hanya meluncurkan beragam produk mi instan,  Indofood  juga melancarkan langkah promosi dengan memberi hadiah berupa gelas atau mangkuk dan hadiah satu bungkus setiap membeli lima bungkus.  Reaksi Indofood juga menyentuh aspek distribusi.  Dalam pengamatan Yadi Budi Setiawan. Direktur Pengelola Force One, Indofood memang telah menata ulang manajemen distribusinya.  Sekarang,  Indofood tak lagi hanya melayani pelanggan besar  (sekelas hypermarket) dengan pembelian minimal 5 juta bungkus, tapi juga yang lebih kecil.ÂÂ

ÂÂ

Meski sudah melakukan berbagai upaya,  kerisauan tampaknya belum pergi dari benak manajemen Indofood.  Sampai-sampai para petinggi Indofood merasa perlu  mendengar pandangan koleganya dari industri berbeda.  Dari proses pencarian second opinion dari kalangan eksternal inilah, kabarnya manajemen Indofood menyadari kesalahannya memborbardir pasar dengan puluhan merek mi instan, dan akan segera menarik kembali puluhan mereknya itu dari pasar.  Memang, yang gampang ditebak, kehadiran banyak merek malah membuat sulit Indofood baik dalam hal strategi komunikasi maupun evaluasi keberhasilannya.  Begitu juga, peluncuran fighting brand SuperMie Sedaaap malah  menaikkan pamor Mie Sedaap yang sudah lebih dulu hadir di pasar.ÂÂ

ÂÂ

Budi Handojo, pengamat dan praktisi pemasaran,  menilai kesalahan Indofood pada langkahnya yang ofensif, menyerang ke mana-mana dengan memperbanyak rasa dan merambah berbagai segmen. Akibatnya, konsumen mudah bergeser antara satu rasa Indomie dengan rasa mi instan produknya yang lain. “Nah, kalau konsumen sudah bisa bergeser ke rasa lain, meski masih satu merek, berarti ia juga bisa bergeser ke mi rasa lain di luar Indomie,” kata  Budi menganalisis.  Di sinilah kerusakan merek terjadi, dan berakibat benteng pertahanan Indofood menjadi rapuh. Di saat seperti ini,  Mie Sedaap bisa menyerbu masuk dengan menawarkan rasa yang tidak kalah nikmat.

ÂÂ

Sebagai seorang praktisi (saat ini Budi menjabat Direktur PT Sari Ayu Martha Tilaar),  ia  sendiri mengaku iri atas keberanian Wingsfood. Pasalnya,  di saat yang lain menghindari persaingan langsung dengan berlindung di balik dalih Blue Ocean Strategy, Wingsfood malah menantang sang pemimpin pasar. Hasilnya tidak mengecewakan, karena Mie Sedaap berhasil mencuri pasar Indofood yang diperkirakan mencapai  20%. “Padahal Indofood memiliki brand yang telah generik,” ujarnya.

ÂÂ

Budi juga melihat, selain berhasil melakukan terobosan pada aspek rasa, Mie Sedaap pun mampu menghajar Indofood dari sisi distribusi. Ia melihat, ketika pertama kali penetrasi  ke pasar,   Mie Sedaap menerobos pasar modern dulu. Setelah itu baru masuk ke jalur yang susah ditembus, yakni kalangan pedagang kelontong dan grosir. “Sebab, untuk masuk ke sini harus banyak  melakukan promo dan memberikan hadiah,” tuturnya. Dalam praktiknya, Mie Sedaap memang tidak segan-segan memberi term of payment atau jangka waktu pembayaran  30-60 hari. Langkah seperti ini mengingatkan ketika Indofood pada masa awal berkiprah berani memberikan hadiah emas dan lain-lain apabila penjualnya berhasil mencapai target yang ditetapkan. Hebatnya lagi, sekarang warung-warung mi  pinggir jalan juga berhasil ditembus Mie Sedaap. Padahal dulu warung-warung pinggir jalan itu turut memperkokoh benteng pertahanan Indofood.ÂÂ

ÂÂ

Trik Wingsfood  juga dinilai jitu dalam hal menciptakan merek. “Kekuatan Indofood di mereknya yang sudah menjadi generik, mi instan ya Indomie. Lalu, Wingsfood mencari nama yang generik juga, yaitu sedap. Karena orang menilai makanan yang nikmat, pasti sedap. Tapi kata umum tak boleh dipatenkan, maka “a”-nya ditambah satu, sedaap,” Budi menguraikan.

ÂÂ

Mencermati soal iklannya, menurut Budi, dalam teori periklanan dikenal  5M: mission,  message, media, money and measurement. Dari sisi misi, Wingsfood ingin menggantikan nama generik Indomie dengan merek sedap.   Dari sisi message, iklan-iklannya mengandung pesan yang jelas, sedap, dengan slogan citra (tag line): Begitu nyoba langsung suka, semua orang langsung suka. Kemudian pemilihan medianya, iklannya hampir di semua media dan di program-program  TV yang rating-nya tinggi. Bahkan sebelum peluncuran ada soft launching, dengan billboard-billboard di tepi jalan dipenuhi kalimat misterius: Sebentar lagi, nantikan yang satu ini. Kalau mie instan sudah biasa. “Ini membuat orang bertanya-tanya apa nih yang akan keluar,” ujar Budi.

ÂÂ

Tak kalah menarik, dana iklannya (money) menurut perhitungan Budi, luar biasa. Dari durasi dan intensitas iklannya bisa diraba besarnya investasi yang digelontorkan Wingsfood. Lalu terakhir, measurement atau  alat ukurnya. “Wings pasti punya marketing intelligence sendiri untuk mengukur pasarnya setelah beriklan. Dan hal ini diimbangi lagi dengan consumer promo yang gila-gilaan,” papar Budi.  Ia sendiri mengaku mendengar Grup Wings sampai merasa perlu membeli pabrik piring demi menopang langkahnya terjun ke bisnis mi instan.  “Saya sempat mendengar hal ini. Entah benar atau tidak,” ujarnya buru-buru mengoreksi.

ÂÂ

Budi menduga kebiasaan Wingsfood berani melawan market leader justru karena ada keuntungan yang bisa dipetik.  “Pasarnya sudah besar dan pemimpin pasarnya lengah,” kata Budi.  “Karena sering berhasil, ini seperti sudah jadi trademark-nya,” sambungnya.

ÂÂ

Ia melihat tampaknya tim Wingsfood daripada  repot-repot berpikir inovasi, lebih baik mempelajari kunci sukses dan kekuatan sang pemimpin pasar lalu dicari kelemahannya. “Itu salah satu teori hardball, ” ujar Budi.ÂÂ

ÂÂ

Yadi Budi Setiawan memberi catatan khusus pada aspek strategi yang digelar Wingsfood, yang dilihatnya memiliki strategi regional:  Indonesia Timur dan Indonesia Barat.  Ini bukan cuma dari sisi penjualan, tapi juga sisi pemasaran dan promosi.  Contoh implementasi strateginya, di Indonesia Timur (Jawa Timur sampai Sulawesi),  distribusi produknya lebih ke akar rumput. “Mereka menjual ke gerobak dorong, rombong, depot dan melayani pembelian mi yang hanya 300-500 ribu bungkus,” paparnya. Sementara di Indonesia Barat Wingsfood lebih fokus ke pasar modern dan grosir menengah. “Indofood seolah-olah menghadapi dua pasukan, padahal mereka dari satu perusahaan,” kata Yadi  melukiskan.

ÂÂ

Agaknya strategi Wingsfood ini juga didukung timing yang pas. Pasalnya, Mie Sedaap hadir pada waktu monopoli terigu Indofood sudah runtuh. Di saat yang sama pula pemain-pemain lain  berguguran.

ÂÂ

Meski tergolong berhasil, pihak Wingsfood tak mau banyak berkomentar tentang Mie Sedaap. Namun, sebuah sumber di Wingsfood  buka kartu bahwa dalam menciptakan citarasa Mie Sedaap, Wingsfood sebelumnya melakukan survei dan testing. Mereka melakukannya  di beberapa kota besar di Indonesia seperti Surabaya dan Jakarta yang prosesnya memakan waktu sampai 6 bulan. “Kami tidak khawatir sekalipun Indofood mengeluarkan SuperMie Sedaap. Begitu dibuka persaingan bebas, mereka kaget. Yang namanya orang berdagang yang penting kan pasar yang menerimanya,” ujarnya dengan santai.  Diceritakannya, dulu saat Wingsfood memberi hadiah piring, pihak Indofood kesal. “Sekarang justru mereka yang masih tetap mempraktikkan pola beli lima gratis satu,” ia menambahkan.  Mengomentari langkah Indofood, “Buat apa (Indofood) promosi, kalau barangnya tidak ada yang cari,” katanya rada jumawa.

ÂÂ

Melihat kemunduran Indofood, Budi menyarankan Indofood untuk menata lagi produk-produknya dengan cara mengurangi baik merek maupun varian produknya. Selanjutnya Indofood  bisa juga melakukan cross branding atau cross promotion dengan berbagai produknya, dengan mencontoh praktik yang dilakukan Unilever pada produk  Citra dan Hazeline.   “Tapi mesti hati -hati. Karena masing-masing berdiri sebagai unit bisnis sendiri,” ucap Budi.

ÂÂ

Sementara itu, Hermawan Kartajaya menyarankan agar Indofood siaga satu. Pasalnya, pasar Indofood kini semakin tergerogoti. “Indofood mestinya bermain defensif. Caranya dengan membuktikan bahwa rasa Indofood lebih baik. Misalnya dengan blind test, mengeluarkan rasa baru dan lain-lain,” kata Hermawan.

ÂÂ

Budi  juga menyarankan agar Indofood membentengi diri. Caranya, “Indofood harus kukuhkan diri dengan melihat siapa konsumennya. Pertahankan konsumen loyalnya. Jangan sampai ada trial, karena konsumen makanan tidak terlalu loyal,” ujarnya. Satu-satunya cara untuk menghindari trial sebenarnya Indofood dari dulu sudah memiliki dua kekuatan. Pertama jaringan warung-warung makan Indomie dan distribusi yang kuat. “Nah yang harus dibenahi, produk, kekuatan korporasi, strategi distribusi dan   jaringan warung makannya,” tutur Budi. Ia menambahkan, Indofood juga bisa mengekspose produknya sebagai mi yang sehat, berkualitas dan higienis yang berbeda dari mi instan yang lain.

ÂÂ

Sayangnya, pihak Indofood tak bersedia berkomentar banyak seputar gebrakan Wingsfood di pasar mi instan. Evelyn L. Atmaja, GM Pemasaran dan Penjualan PT Indofood Sukses Makmur hanya mengklaim kini pangsa pasarnya mencapai 80% dengan pendapatan  per tahunnya menembus angka Rp 6 triliun. Namun, diakuinya, tak semua konsumennya loyal. Dari 80% pangsa pasar yang digenggamnya, diperkirakan 10% konsumen suka “berselingkuh” dengan pesaingnya. “Itulah yang menjadi dasar peluncuran berbagai rasa lokal,” ucapnya memberi alasan.

ÂÂ

Sebuah kesetiaan memang mahal. Untuk itu, Indofood rela melakukan berbagai upaya, seperti menjual lebih murah.  Contohnya, di Kecamatan Banyumanik, Semarang. Menurut Evelyn, harga Rp 800 per bungkus Indomie masih dianggap mahal di daerah itu. Akhirnya, kini setiap hari Sabtu dan Minggu Indomie menggelar semacam acara keramaian untuk menjual Indomie dengan harga khusus.

ÂÂ

Langkah lainnya, dengan  sering melakukan riset di daerah. Tujuannya untuk mengetahui seberapa parah tingkat “perselingkuhan” konsumen sekaligus keinginan mereka. Menurut Evelyn, sekali terungkap, maka Indofood akan langsung melakukan treatment khusus. Yang tak kalah penting, perlakuan kepada para pedagang. Dijelaskannya, Indofood juga menyesuaikan kembali besarnya margin keuntungan yang diberikan ke pedagang.

ÂÂ

Budi sendiri mengaku tak yakin Mie Sedaap sanggup bertahan jika Indofood menyerang balik. Alasannya, meskipun kini sedang kecolongan, kekuatan Indofood tak bisa diremehkan.  Pasalnya,  dominasi Indofood di tingkat grosir masih kuat. Hal itu terlihat dari dominannya produk mi instan Indofood di  toko-toko grosir.  “Kalau dulu rajanya masih tidur, sekarang rajanya sudah bangun dan tahu ada semut masuk ke kupingnya. Memang sudah berdarah-darah, tapi jangan berharap ada pertumbuhan spektakuler lagi,” kata Budi seraya mengingatkan Wingsfood.

ÂÂ

Hampir sepandangan, Yadi mengatakan saat ini Indofood masih dominan dan diperkirakan punya sekitar 76% pangsa pasar mi instan di Indonesia. Sementara pangsa pasar Mie Sedaap di Indonesia Timur baru mencapai 16%, sedangkan di Jakarta dan kota-kota sejenis pangsanya malah  hanya 11%.

ÂÂ

Dominasi produk mi instan Indofood memang masih kelihatan di pasar.  Ambil contoh di Alfamart, Cipayung. Frans Setiawan, Merchandiser Alfamart Cipayung Hankam, mengatakan sampai saat ini Indomie masih dominan di gerainya. Hal ini terlihat dari data penjualan sementara bulan ini yakni penjualan Indomie mencapai 70 bungkus per hari, sedangkan Mie Sedaap  20 bungkus per hari, dengan rekor tertinggi hingga 39 bungkus.

ÂÂ

Meskipun penguasaan pasar Indofood masih dominan,  Budi memperingatkan Indofood agar tetap waspada. Ia menilai kondisi Indofood saat ini seperti rumah yang disatroni maling. “Jangan lantas malingnya diteriaki. Mestinya, mereka dilawan diam-diam tanpa disadari malingnya,” ujar Budi beranalogi


Dengan adanya informasi yang kami sajikan tentang  mengapa indofood gagal menghadang mie sedap di pasaran

, harapan kami semoga anda dapat terbantu dan menjadi sebuah rujukan anda. Atau juga anda bisa melihat referensi lain kami juga yang lain dimana tidak kalah bagusnya tentang Nilai Edukasi dalam Iklan TV Nutrilon Royal 3-Life Is An Adventure (Analisis Semiotika Roland Barthes) 

. Sekian dan kami ucapkan terima kasih atas kunjungannya.


buka contoh marketing : http://swa.co.id/swa/listed-articles/mengapa-indofood-gagal-menghadang-mie-sedaaptanya
buzz marketing, guerilla marketing, integrated marketing, integrated marketing communications, marketing, marketing mix, marketing news, niche marketing, sports marketing, word of mouth marketing
 Mengapa Indofood Gagal Menghadang Mie Sedaap?

No comments:

Post a Comment